Browsing Tag

SOEKARNO

Pidato Bung Karno saat melantik Ali Sadikin

Saudara-saudara sekalian, beberapa saat yang lalu, Alhamdulillah Saudara Mayjen KKO Ali Sadikin telah mengucapkan sumpah menjadi gubernur/kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya, menjadi gubernur Jakarta.
Wah, itu bukan satu pekerjaan yang mudah. Dalam hal mengangkat walikota-walikota daripada beberapa kota, saya sering mengalami kekecewaan. Sesudah saja angkat yang tadinya saya kira dan saya anggap walikota itu dapat menjalankan tugasnya sebagai walikota dengan cara yang baik, kiranya tidak memuaskan.

Misalnya, saya pernah mengangkat seorang walikota yang dia dulu sebelum saya jadikan walikota, wah, seorang pamongpraja yang gemilang, yang baik sekali, seorang bupati yang sebagai bupati, boleh dikatakan jempol sekali. Diusulkan kepada saya supaya orang ini saya angkat menjadi walikota daripada sesuatu kota. Saya angkat. Kemudian sesudah beberapa bulan dia menjalankan pekerjaan sebagai walikota, ternyata amat atau setidak-tidaknya, mengecewakan. Oleh karena menjadi walikota itu lain, Saudara-saudara, dengan sekadar memamongprajai penduduk daripada kota itu.

Walikota daripada sesuatu kota harus memenuhi beberapa syarat teknis yang amat sulit. Harus mengetahui hal, misalnya, city-planning, harus mengetahui hal accijnering, harus mengetahui hal persoalan-persoalan lalu-lintas; harus mengetahui hal architectuur, harus mengetahui hal hygiene, harus mengetahui hal sampah; harus mengetahui hal selokan; harus mengetahui hal pertanaman; etc., etc…

La, ini walikota yang saya angkat, yang saya ambil sebagai contoh tadi itu, yaitu sebagai pamongpraja bukan main bagus sekali. Tetapi sebagai walikota dia gagal. Sebab dia itu tidak tahu menahu tentang city planning. City Planning yaitu mana tempat industri, mana tempat kediaman, mana tempat pasar, mana tempat etc., etc. .. Tidak tahu tentang urusan accijnering, tidak tahu tentang urusan selokan-selokan, tidak tahu tentang hal verkeersproblem, tidak tahu tentang hal hygiene. Jadi dia gagal sebagai walikota.

Saya ganti. Barangkali ini baik saya ambil dari militer. Kiranya si militer itu pun gagal. Hij snapt er geen lor van. Sebagai walikota. Sebagai militer dia orang yang gemilang, tetapi untuk menjadi walikota hij snapt er geen lor van.

Nah, mengenai Jakarta ini bukan saja ibukota daripada Republik Indonesia. Ibukota yang– saya lo yang menetapkan beberapa tahun yang lalu, bukan saja itu ucapan saya ini– satu kota yang penduduknya 4 juta. Sama Hong kong barangkali, total jendral, penduduknya masih banyak Jakarta.

Jakarta ini adalah satu political centre. Jakarta ini adalah communication centre. Jakarta ini adalah membawa problem-problem yang hebat sekali. Problem-problem yang saya sebutkan tadi itu. Mana selokan, mana sampah mana city planning, mana lalu-lintas, etc., etc., etc. Saya cari-cari orang, cari-cari orang.

Continue Reading

Bagaimana Bung Karno memaknai fotografi sebagai kekuatan citra

Sering dibicarakan bahwa pencitraan dianggap menjadi sebuah berhala baru. Banyak tokoh di republik ini dianggap menggunakan pencitraan visual untuk mendongkrak popularitas. Karena ini multimedia maka sebuah momen dengan mudah terekam dalam sebuah medium fotografi yang kemudian tersebar secara viral. Padahal fotografi sebagai medium pencitraan tidak melulu salah. Ini adalah alat yang paling sering digunakan oleh tokoh publik.

Pertanyaannya apakah boleh melakukan setingan? Sebagai tukang pembuat film iklan, saya jawab, sepanjang tidak dianggap foto foto jurnalistik. Boleh saja dan bahkan perlu. Apalagi berhubungan dengan pencitraan si tokoh. Ini hal yang biasa, dalam pekerjaan fotografer professional. Bahwa ada orang atau para pihak yang terganggu dengan foto tersebut, ya lain masalah.

Kalau sudah demikian kita bicara 2 hal. Pertama dari sisi fotografernya ( teknis, metode ) dan Kedua, dari sisi obyek ( gaya / style, kesadaran dipotret ). Sejarah membuktikan bahwa kolaborasi antara fotografer dengan obyek ( tokoh ) akan menghasilkan gambar gambar yang secara visual menjadi bungkus branding penokohan.

Coba kita lihat foto ini. Kisah Stalin lebih menyerupai monster pembunuh berdarah dingin, yang membunuh rakyatnya. Dari dokumenter yang pernah dibuat, digambarkan Stalin bukan orang yang mudah tertawa. Ia kaku dan serius. Para pejabat pejabat sering dipanggil ke peristirahatannya, hanya untuk dipaksa menari dengan lagu yang diputar. Mereka menari dengan ketakutan ,karena ada kemungkinan bisa dikirim ke kamp Siberia jika gagal menyenangkan Stalin.
Bisa jadi ini sebuah setingan ketika Stalin bisa tertawa lepas, membaca surat sambil membiarkan rakyat memegang pundaknya. Dalam keseharian jangankan memegang pundak, melihat mata sang diktaktor saja, rakyat kebanyakan tidak berani.Disini Stalin punya keberanian untuk keluar dari zona cap kesehariannya untuk beracting, dengan tertawa. Artinya ada kerjasama, kolaborasi antara juru potret dengan obyek. Sebuah foto propaganda memang memerlukan seting seperti itu.

Namun tak ada yang memahami tentang kekuatan fotografi seperti Sukarno. Sudah menjadi kesaksian para wartawan, bahwa Bung Karno tak pernah mau pergi kemana mana tanpa ditemani fotografer. Lagipula Presiden pertama Republik Indonesia selalu mengizinkan fotografer memotretnya dari dekat, sementara wartawan tulis hanya berdiri dipojokan. Sukarno tak ragu menghentikan mobil kepresidenan di pinggir jalan sekadar untuk memberikan tumpangan kepada juru kamera yang tertinggal angkutan. Baginya lebih baik ketinggalan seorang Menteri, daripada fotografer.

Continue Reading

Berkepribadian dalam budaya

Ketika era kolonialisme pendudukan sebuah bangsa secara fisik berakhir, seorang intelektual Italia Antonio Gramsci pernah menjelaskan, bahwa kekuasaan yang menindas berupaya menguasai seluruh keadaan melalui cara yang paling kuat yaitu hegemoni, baik dalam tataran nilai ataupun tindakan. Hegemoni ini bisa mempengaruhi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi dan budaya. Ini yang membuat Bung Karno memiliki gagasan untuk menghadapi gelombang hegemoni dari pihak luar .

Tudingan Bung Karno anti dengan produk barat, tidak sepenuhnya benar. Bahwa Bung Karno melarang ikon barat – misalnya musik Beatles – lebih karena sebagai bagian dari kebijakan politik melawan Nekolim saat itu. Namun Bung Karno tidak serta merta anti musik asing, karena dia juga menyukai lagu lagu soprano dari Itali misalnya.

Ketika itu Bung Karno memang sedang ngambek berat pada negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika, karena sikap dua negara itu bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia. Ia membutuhkan sebuah simbol untuk dilawan, sehingga Bung Karno perlu menegaskan identitas kebangsaannya melalui Trisakti, salah satunya adalah ideologi berkepribadian dalam budaya.

Kalau melihat sejarah masa mudanya, Bung Karno tumbuh dan besar bersama film film Hollywood, jadi hampir tidak mungkin dia anti film film Amerika. Bung Karno mengakui belajar bahasa Inggris dari kebiasaannya nonton film Hollywood. Bisa dikatakan ia memuja film Hollywood. Sewaktu muda, ia memiliki bintang film idaman bernama Norman Kerry. Seperti remaja Indonesia saat ini yang berusaha meniru penampilan bintang K Pop Korea. Bung Karno juga mencoba memelihara kumis tipis melintang – ala Norman Kerry – yang ujungnya melengkung ke atas. Namun, usahanya gagal. Ternyata, kumis Bung Karno tidak melengkung. Ia akhirnya menghentikan usaha meniru aktor pujaan banyak orang saat itu.

Ketika melakukan kunjungan pertama ke Amerika tahun 1956, hal pertama yang dilakukan Bung Karno adalah mengunjungi Hollywood. Ini merupakan impian masa muda yang akhirnya terwujud. Berbicara dengan bintang film kondang disana.
Kecintaannya pada film film Amerika tak menghalangi kebijakan politiknya untuk berpihak pada film nasional. Era orde lama hampir seperti saat ini, ketika film film Amerika mendominasi layar layar bioskop. Film nasional, yang mulai bangkit tahun 1950, tak bisa masuk bioskop kelas satu. Sehingga Pemerintah harus melobi Bill Palmer, bos AMPAI ( American Motion Picture Association of Indonesia ) agar film Krisis, garapan Usmar Ismail bisa tayang dan bertahan selama 35 hari di bioskop Metropole, Jakarta. Insan film juga berhasil meyakinkan Walikota Jakarta Soediro agar mengeluarkan “wajib putar” film Indonesia di bioskop Kelas I, walau pelaksanaannya kurang lancar.

Continue Reading

Apakah Bung Karno seorang marxis ?

Apakah Bung Karno seorang Marxis ? Dari karangan karangannya jelas dia sangat terpesona dengan ajaran Marxis. Jika kita melihatnya berdasarkan perspektif sejarah pada masa sebelum kemerdekaan, khususnya uraian Sukarno tentang ekploatasi negara negara jajahan oleh Pemerintahan kolonial, Bung Karno dapat dikatakan seorang marxis.

Era tahun 1920an, hampir semua tokoh pergerakan saat itu, termasuk Tjokroaminoto, sangat terpengaruh marxisme. Banyak ulama dan pemuka agama juga menjadi marxis, seperti Haji Misbach, Haji Datuk Batuah, KH Tubagus Achmad Chatib, Natar Zainuddin, dan lain-lain.
Fenomena ini juga dikatakan oleh Dawam Raharjo dalam sebuah diskusi tentang Marxisme, bahwa pertautan Islam dan Marxis tersebut sebagai “ pertemuan di jalan “. Islam dan Marxis bergandeng tangan untuk satu tujuan. Kemerdekaan. Jadi memang para ulama memakai marxis sebagai ideologi perjuangan, karena di Islam sendiri tidak ada ideologi yang dibutuhkan seperti bagaimana melepaskan penjajahan.

Bung Karno mengaku belajar marxisme sejak usia 16 tahun, saat mondok di rumah HOS Tjokroaminoto. Awalnya, ia mempelajari marxisme dari para penafsir marxisme seperti Semaun, Alimin, Muso atau Sneevliet. Setelah itu, ia mulai membaca karya-karya Marx dan Engels. “Pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi,” kenang Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams.

Dalam artikel berjudul ‘ Menjadi Pembantu “Pemandangan”. Sukarno, oleh…Sukarno sendiri’ di Surat Kabar Pemandangan tahun 1941, Bung Karno menganggap marxisme sebagai teori yang paling kompeten untuk memecahkan soal sejarah, politik, dan sosial-kemasyarakatan. Dengan menjadikan marxisme sebagai alat analisanya, Bung Karno berusaha menganalisa situasi dan perkembangan masyarakat Indonesia. Hasilnya adalah penemuan : Marhaenisme.

Continue Reading

Olahraga sebagai bagian dari Revolusi Indonesia ?

Potret buram pembinaan olahraga nasional, memang jadi cerita yang tak habis habisnya. Indonesia selalu terengah engah mengejar prestasi, jangankan tingkat dunia. Tingkat regional setara Asia Tenggara saja sudah kepayahan. Ada yang salah dalam sistem pembinaan dan menentukan cabang olah raga priotas. Pada Asian Games tahun 1962, cabang atletik sudah menyumbang medali medali emas.

Periode 70an dan awal 80an, selain Bulutangkis, cabang Tenis lapangan juga penyumbang rutin medali emas. Untuk itu Korea Selatan memohon, agar kita mengirim pelatih yang bisa mengajari mereka bermain Bulutangkis. Jadilah kita mengirim Olih Solichin ke negeri ginseng. Kini gantian, kita yang kerepotan jika menghadapi pebulutangkis Korea.

Tapi semuanya tidak penting. Jauh lebih penting mengurusi sepak bola, karena hanya sepak bola yang ‘ suatu saat ‘ mampu membawa keharuman nama Indonesia di pentas dunia. Tak perduli sepak bola gajah, tak perduli carut marut PSSI dan Pemerintah, tak perduli mafia. Ini adalah suara rakyat. Sepak bola adalah suara rakyat.

Suratin ketika mendirikan PSSI tahun 1930, dengan motivasi mewujudkan Sumpah Pemuda 1928 dengan berbasis nasionalisme. Ia selalu menekan kepada klub pribumi jangan sampai kalah bertarung dengan klub orang Eropa. Ini tidak salah, kita memang butuh semangat nasionalisme dalam kejayaan prestasi olahraga. Tapi dalam konteks kekinian, kita juga butuh uang. Mulai dari pembinaan sampai pensiun.

Bagaimana Cina yang tahun 70an bukan siapa siapa ? Kini begitu menakutkan negara negara adidaya olahraga di ajang Olimpiade. Mereka mendidik bibit bibit sejak usia dini, konsisten. Begitu pula apresiasi dari negara ketika mereka pensiun. Hidupnya dijamin seumur hidup. Gurnam Singh, peraih medali emas lari jarak jauh di Asian Games 1962, menghabiskan hari tuanya, dengan menggelandang di jalanan kota Medan.

Continue Reading

Perda berbasis agama. Berkah atau Biang Kerok

Tragedi di Karubaga, kabupaten Tolikara, Papua pada hari Raya Idul Fitri kemarin membuat kita kembali merenung makna persatuan di negeri yang majemuk ini. Kita terkejut dengan tindakan intoleransi.
Bagaimanapun hak hak rakyat untuk menjalankan kewajiban agamanya, harus dihormati oleh warga serta dilindungi oleh negara. Dari beberapa sumber pemberitaan, bahwa peristiwa berdarah serta pembakaran musala itu dipicu dengan surat edaran dari GIDI ( Gereja Injili di Indonesia ) terhadap komunitas Muslim disana. Yang mencengangkan dalam butir butir surat edaran terdapat larangan merayakan hari raya di wilayah Kabupaten Tolikara, termasuk menggunakan jilbab.

Adanya statement Presiden GIDI Dorman Wadigbo, (dilansir dari Merdeka.Com), “Gereja tidak melarang kegiatan ibadah umat Muslim di Wilayah Toli. Ini hanya kesalahpahaman dan miss komunikasi antara petugas Polres Tolikara. Jika saja Polres Tolikara melakukan upaya pemberitahuan kepada umat muslim mengenai PERDA yang berlaku di Tolikara. Kejadian tersebut tak akan sampai sejauh ini ”.

Kita belum tahu, apakah Tolikara memiliki Perda yang mengatur tata cara bagaimana menjalankan kewajiban agama bagi umat Muslim disana. Jika ini benar, sungguh merupakan pelanggaran terhadap hak hak asasi. Perda perda intoleran ini muncul sejak era reformasi. Ini dimulai dengan munculnya perda perda syariah di beberapa wilayah Indonesia. Majalah Tempo pernah menulis, setidaknya ada 150 perda berdasarkan syariah Islam – ada juga yang perda Kristen tapi jumlahnya sedikit.
Dengan perkecualian di Aceh, sebenarnya Perda perda ini bertentangan dengan UU Pemerintah Daerah. UU ini dengan tegas mengatakan masalah luar negeri, pertahanan dan keamanan, bidang yudisial dan agama merupakan wewenang absolut Pemerintah pusat.

Sebagaimana dikutip dari Tempo. Kabupaten Manokwari pernah mengeluarkan Rancangan peraturan daerah pembinaan mental dan spiritual. Publik lebih mengenal sebagai rancangan peraturan daerah kota Injil, disingkat Raperda Injil. Gara gara peringatan kedatangan penginjil Carl Ottow dan Johann Geissler dari Jerman di pulau Mansinam – 3 kilometer dari pelabuhan Manokwari, sebagai tonggaknya masuknya Kristen di tanah papua. Maka sebutan kota Injilpun tersemat, disusul ramai ramai memajang Gambar Yesus berukuran 5 meter x 3 meter di simpang tiga pusat kota. “ Selamat datang di kota Injil “.

Continue Reading

Penguburan Bung Karno

Setelah dijebloskan dalam tahanan rumah di Wisma Yaso, akhirnya Bung Karno menhebuskan nafas terakhir di RSPAD, pagi dini hari tgl 21 Juni 1970. RRI menyiarkan berita sekitar pukul 7 pagi tentang kematiannya. Buruknya penanganan terhadap penyakit Bung Karno juga mempercepat kematiannya. Beberapa bulan di awal 1969, Bung Karno tidak boleh menerima tamu, termasuk keluarganya, karena harus menjalani serangkaian pemeriksaan dan interograsi. Keluarganya hanya bisa mengantar makanan melalui penjaga. Bung Karno yang suka keramaian dan selalu membutuhkan bicara menjadi makin depresi karena diasingkan. Sementara dulu penjajah Belanda saat membuang tahanan politik ke luar Jawa, tidak melarang mereka bergaul dengan lingkungannya.

Setelah keluarga boleh menengok. Itupun dengan pembatasan, harus mengantungi izin dan cap instansi militer Itupun tidak serta merta memudahkan. Rachmawati dibentak dan dimarahi penjaga, karena mengajak Bung Karno jalan jalan di halaman Wisma Yaso.
Jika penjaga sedang baik, keluarga boleh ke Wisma Yaso. Tapi kalau sedang tdak baik, mobl di tahan di gerbang. Sangat sering Ibu Hartini harus berjalan kaki menenteng rantang makanan melintasi halaman yang sangat luas.

Bung Karno sempat menulis surat ke Presiden Soeharto tgl 3 Nov 1968 untuk meminta kelonggaran agar keluarganya bisa mengunjungi. Ia juga meminta agar Ny. Sugio yang selama ini mengurusi rumah Wisma Yaso, dijinkan membantu lagi. Pembantu rumah tangganya tidak diijinkan masuk ke Wisma Yaso, sehingga untuk urusan dapur, Bung Karno harus mengurusnya sendiri.

Ketika akhirnya ia menembuskan nafas terakhirnya. Diantara sayup sayup suara seorang Ibu yang membacakan surat Yasin dekat jenasah Bung Karno, terdengar Ibu Wardoyo kakak kandung Sukarno terus meratap. “ Karno, kowe kok sengsoro men “.

Continue Reading

Bagaimana bisa Bung Karno menyetujui Peraturan rasis ?

Aksi demo ( sebagian ) mahasiswa terhadap Pemerintahan Jokowi, menarik perhatian karena ada organisasi KAMMI yang mengusung sentimen keberpihakan kepada pribumi. Ini dianggap sebuah kampanye rasis, sehingga ada yang mention saya di TL untuk memperbandingkan dengan kebijakan jaman Presiden Sukarno.
Tepatnya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 / 1959 dan ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.

Peraturan yang diberlakukan mulai 1 Januari 1960, serta merta mematikan para pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha ditingkat desa. Lebih jauh lagi, menggoncangkan sendi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia, karena saat itu UU Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga membuat kebingungan mana yang waga asli dan warga asing.

Orang Tionghoa tidak hanya tidak diperbolehkan berdagang, namun dilarang tinggal di tempat tersebut. Penguasa milter dengan sewenang wenang mengusir warga Tionghoa. Mereka yang diusir, bukan orang Tionghoa asing, tetapi juga orang orang Tionghoa yang berdasarkan UU Kewarganegaraan Tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia.

Dampak dari kebijakan ini, ada 136 ribu lebih warga Tionghoa menuju daratan Tiongkok, setelah Pemerintah RRT mengirim kapal dan mengundang mereka kembali ke tanah leluhur. Banyak kisah penderitaan mereka yang pindah akhirnya tidak betah, karena kendala bahasa serta budaya. Merasa tidak betah, mereka berusaha keluar dari daratan Tiongkok dan bermukim di Hongkong. Kisah kisah ini bergulir di Indonesia sehingga menurunkan minat mereka yang ingin pindah, sampai akhirnya surut sama sekali di akhir tahun 1960an.

Continue Reading

Supeni, diplomat andalan Bung Karno

Tahun 1949 Supeni diangkat menjadi anggota dewan Partai, dan langsung diserahi tugas untuk menyiapkan sistem pemilihan umum yang hendak dilakukan untuk pertama kalinya tahun 1955. Untuk mempelajari pengalaman pemilihan umum yang kondisi masyarakatnya tidak banyak berbeda dengan Indonesia, yakni masih banyak buta huruf, maka Supeni diikutsertakan dalam misi Indonesia untuk memantau pemilihan umum di India.

Selama 2 bulan ia tinggal dan mempelajari sistem pemiihan umum disana. Sepulangnya dari India, Supeni menulis buku “ Pemilihan Umum di India “ ( 1952 ). Kemudian Supeni juga diundang Pemerintah Amerika, untuk mempeajari pemilihan Presiden disana yang saat itu dimenangi Eisenhower.

Pengalamannya sebagai diplomat dimulai pada saat Konperensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Supeni ditugaskan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untul melobi negara negara peserta konperensi untuk mendukung Indonesia dalam masalah Irian Barat. Negara negara yang tadinya meragukan sikapnya akhirnya berbalik mendukung setelah lobby Supeni yang intensif.

Negara seperti Filipina, Pakistan dan Turki yang merupakan sekutu Amerika ( secara tidak langsung juga sekutu Belanda ) akhirnya mendukung Indonesia, walau secara pasif.
Setidaknya kesulitan kesulitan lobby yang dilakukan Supeni bisa menghasilkan rumusan “ The Asian African Conference support the position of Indonesia on West Irian “.

Walau mendapat dukungan dari Konperensi Asia Afrika, namun belum cukup untuk mendapatkan suara mayoritas dalam sidang sidang PBB untuk memaksa Belanda memasuki meja perundingan untuk penyerahan Irian Barat. Bung Karno sekali lagi mengutus Supeni untuk berbicara di Konperensi konperensi Uni antar Parlemen di London dan Rio De Janeiro. Lalu di Asia Pacific Relations Conference di Lahore, Pakistan serta sidang sidang di PBB.

Continue Reading

Kisah Supersemar yang tercecer

“ Harto, saya sudah diakui sebagai pemimpin dunia. Konsep Nasakom sudah saya jual kepada bangsa bangsa di dunia, Sekarang saya harus membubarkan PKI. Dimana muka saya harus ditaruh ? “

Bung Karno tentu bersikeras menolak untuk membubarkan PKI. Pertama ia juga tidak yakin PKI yang merencanakan kudeta ini. Ia lebih mempercayai bahwa hanya oknum oknum PKI yang keblinger bersama anasir kekuatan luar yang merancang semuanya. Soeharto sendiri sudah bosan dan hampir menyerah untuk membujuk Bung Karno membubarkan PKI. Posisinya sulit, karena disatu pihak, dia menghormati Presiden tapi disisi lain, para mahasiswa, demonstran, bahkan jenderal jenderal seperti HR Dharsono, Kemal Idris atau Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie juga mendesak untuk mengambil tindakan keras kepada Bung Karno.

Asisten Soeharto, Jend Alamsyah mempunyai usul untuk memakai orang non ABRI, orang sipil yang dikenal dekat dengan Bung Karno juga. Jadilah Alamsyah mengutus Hasyim Ning dan Dasaad untuk membujuk Bung Karno. Usaha ini juga gagal, bahkan Hasyim Ning harus terkena asbak yang dilempar Bung Karno
“ Kamu orangnya Soeharto “ Begitu Bung Karno berteriak.

Jenderal Amir Mahmud, Pangdam Jaya waktu mengakui bahwa semuanya serba khaos, bahkan bisa dibilang tidak ada disiplin militer. Karena ada tarik menarik kekuatan diantara ABRI sendiri. Mana yang pro Bung Karno dan mana yang mendukung Pak Harto. Waktu Bung Karno membetuk kabinet baru. Banyak nama nama jenderal yang sebenarnya tidak dalam ‘ persetujuan ‘ ABRI.
Jenderal Nasution misalnyanya juga memerintahkan untuk tidak mengijinkan Jend Moersid dan Jend Sarbini masuk ke Departemen Hankam untuk serah terima jabatan.

Pada pagi tanggal 11 Maret 1966, Jend Sabur sudah menelpon Pangdam Jaya, Amir Mahmud menanyakan jaminan keamaan pada sidang kabinet hari itu. Tentu saja Amir Mahmud menjamin keamanan, padahal dia juga tidak tahu bakal ada pasukan liar dari Jenderal Kemal Idris. Bahkan Pangdam Jaya juga ada di beranda Istana menemani Bung Karno bersama Waperdam Leimena, Subandrio dan Chaerul Saleh sebelum bersama sama ikut masuk ke dalam sidang.

Saat Bung Karno sedang membacakan pidato. Tiba tiba Jenderal Sabur mengirimi nota ke Amir Mahmud yang memintanya keluar sebentar. Nota itu didiamkan oleh Amir Mahmud, karena ia tidak mungkin main slonong boy keluar dari rapat yang dipimpin Presiden. Rupanya Brigjen Sabur tidak sabar dan tak mau ambil resiko, lalu dia menyampaikan sendiri nota ke Bung Karno.

Dalam catatan Amir Mahmud.
“ Saya lihat tangan Bung Karno gemetar membaca notanya, lalu berbicara dengan Subandrio. Setelah itu sidang diserahkan kepada Pak Leimena. Bung Karno dan tergopoh gopoh meninggalkan istana, diikuti Subandrio dan Chaerul Saleh “.

Continue Reading

Tantangan kelas menengah

“Kita doa bersama untuk Pak Sabam. Terima kasih Tuhan, ketika orang mengatakan politik itu kotor, kami bisa melihat Pak Sabam yang mengatakan politik itu suci,” kata Ahok dengan khusyuk.

Itu bukan basa basi Ahok. Ini memang diucapkan Wagub Jakarta saat ulang tahun sesepuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ini bisa jadi legitimasi, bahwa tidak ada yang salah dengan politik. Yang salah adalah orang orangnya. Persoalannya memang tak semudah itu ketika makin lama, rakyat ( baca : kelas menengah ) cenderung apatis dan tak perduli dengan politik. Berita korupsi, penyalahgunawaan jabatan, patgulipat oknum partai dan proyek menjadikan politik sebagai penyakit kusta yang harus dijauhi. Tingkat kepercayaan terhadap partai merosot drastis, sehingga angka Golput cenderung besar.

Tapi mungkin tidak sepenuhnya benar. Kelas menengah masih perduli jika ada ancaman terhadap keadilan dan pilar pilar demokrasi. Ini bisa dianalogikan sebagai koboi yang datang membela warga kota dari ancaman bandit bandit. Mereka akan pergi lagi ketika bandit bandit berhasil ditumpas, dan kota hidup aman.
Kita bisa melihat fenomena ini dalam hiruk pikuk di social media tentang kisruh KPK dan Polisi. Posisi kelas menengah dan kaum intelektual sebagai elit penjaga demokrasi dan keadilan semakin jelas. Dorongan kepada KPK untuk tetap kuat, membuat tidak mudah bagi mereka yang ingin mengancam KPK. Hastag #SaveKPK di twitter menjadi trending topics dunia. Ini tak bisa disalahkan, karena secara moral rakyat harus membela KPK.
Presiden Jokowi dan elite partai pendukung ( PDIP dan Nasdem ) menjadi tidak popular, karena dianggap melindungi koruptor. Kini mereka harus berhadapan dengan kelas menengah yang ironisnya adalah pendukung mereka dalam pemilu kemarin.

Continue Reading

Soerabaja

10 Nobember 1945, bom memborbardir Surabaya. Para pemuda yang keras kepala telah menolak ultimatum Inggris. Berbekal senjata rampasan dari Jepang dan bambu runcing,. Bung Tomo dan para pemuda melawan tentara Inggris dan Gurkha. Sampai sekarang kita mengenangnya sebagai peristiwa heroik dalam buku buku sejarah.
Idrus menulisnya dalam novelnya yang berjudul ‘ Surabaya ‘ yang dicetak Merdeka Press tahun 1947. Ia menjungkir balikan kesakralan peristiwa itu. Ia melukiskan pertempuran Surabaya sebagai pertempuran para bandit. Idrus mencuatkan kontroversi, karena ia mencemooh dan mengejek perjuangan rakyat Surabaya.

Dalam surat kabar Ra’yat, Idrus mengiklankan novelnya sebagai berikut.
Satu satunya roman Indonesia yang berderajat Internasional. Kritis realistis menegakkan bulu roma.
Sinisme yang menyayat, tetapi lepas dari sentimen sentimen chauvanisme.
Harus dipunyai oleh setiap peminat kesusasteraan dan seluruh bangsa Indonesia
Penerbit : Harian Merdeka. Harga R.3

Para pemuda dideskripsikan dengan revolver dan pisau terselip di pinggang, berjalan dengan pongahnya. Sesekali mengarahkan senjata ke atas dan menembak membabi buta tanpa tujuan jelas.
Bung Tomo tampil sebagai kepala pemberontak, dengan rambut gondrong dan mengenakan baju lusuh berbau apek. Mereka yang sebelumnya mabuk kemerdekaan, menjadikan senjata sebagai berhala baru. Demikian Idrus menceritakan kenangan buruk itu.

Tak kalah dasyat, kisah pengungsian setelah Inggris menggempur kota. Di tengah pengungsian, kejahatan merebak. Banyak massa pemuda yang melakukan tindak kriminal seperti menjarah, memperkosa perempuan serta membunuh berdarah dingin kepada orang orang Tionghoa dan Indo yang dicurigai sebagai mata mata musuh.

Continue Reading