Browsing Tag

Olimpiade Seoul

Tunai sudah 3 Srikandi

Tunai sudah perjalanan film ini, ketika akhirnya diputar dalam Gala Premiere tanggai 27 Juli kemarin. Sebelum penayangan untuk tamu undangan, ‘ 3 Srikandi ‘ diputar secara khusus untuk media pada siang harinya. Saya diam diam mengintip untuk melihat reaksi para jurnalis. Terus terang ini seperti hari penghakiman. Bagaimana tidak, dari mereka kelak akan keluar resensi atau review film yang ujung ujungnya kalau bagus menjadi lokomotif promosi.

Saat saya melihat ada yang diam diam terisak menangis sampai bertepuk tangan ketika anak panah Lilies menghujam di tengah papan target – sebagai pamungkas kemenangan team Indonesia melawan team Amerika Serikat – disana saya merasa kerja keras selama hampir 2 tahun itu tidak sia sia. Inilah esensi yang lebih penting, yang saya katakan dalam sesi wawancara, yakni bagaimana membawa penonton kembali ke bioskop. Masalah film ini ternyata laku adalah bonus.

Perasaan saya kembali membuncah saat melihat 3000 tamu undangan memberikan apresiasi setelah melihat film selesai. Saya benar benar bertanya, apakah kalian menyukai ? Terus terang saya belum bisa tidur nyenyak sampai film itu tayang secara nasional di bioskop bioskop mulai tanggal 4 Agustus nanti.

Sejak proses development bersama Swastika Nohara, Hanifah Musa, Adi Nugroho dan Anirudya Mitra, saya selalu menegaskan bahwa film dibuat bukan sekedar idealisme sang sutradara, tapi jauh lebih penting adalah bisa menghibur penonton. Tentu saja, karena latar belakang saya sebagai pembuat iklan televisi, maka kompromi kompromi seperti ini bukan hal yang tabu. Dalam pembuatan film iklan, sutradara harius berkompromi dengan advertising agency dan klien dalam menyampaikan pesan kepada target market. Bagi saya, no hard feelings.

Continue Reading

Olahraga sebagai bagian dari Revolusi Indonesia ?

Potret buram pembinaan olahraga nasional, memang jadi cerita yang tak habis habisnya. Indonesia selalu terengah engah mengejar prestasi, jangankan tingkat dunia. Tingkat regional setara Asia Tenggara saja sudah kepayahan. Ada yang salah dalam sistem pembinaan dan menentukan cabang olah raga priotas. Pada Asian Games tahun 1962, cabang atletik sudah menyumbang medali medali emas.

Periode 70an dan awal 80an, selain Bulutangkis, cabang Tenis lapangan juga penyumbang rutin medali emas. Untuk itu Korea Selatan memohon, agar kita mengirim pelatih yang bisa mengajari mereka bermain Bulutangkis. Jadilah kita mengirim Olih Solichin ke negeri ginseng. Kini gantian, kita yang kerepotan jika menghadapi pebulutangkis Korea.

Tapi semuanya tidak penting. Jauh lebih penting mengurusi sepak bola, karena hanya sepak bola yang ‘ suatu saat ‘ mampu membawa keharuman nama Indonesia di pentas dunia. Tak perduli sepak bola gajah, tak perduli carut marut PSSI dan Pemerintah, tak perduli mafia. Ini adalah suara rakyat. Sepak bola adalah suara rakyat.

Suratin ketika mendirikan PSSI tahun 1930, dengan motivasi mewujudkan Sumpah Pemuda 1928 dengan berbasis nasionalisme. Ia selalu menekan kepada klub pribumi jangan sampai kalah bertarung dengan klub orang Eropa. Ini tidak salah, kita memang butuh semangat nasionalisme dalam kejayaan prestasi olahraga. Tapi dalam konteks kekinian, kita juga butuh uang. Mulai dari pembinaan sampai pensiun.

Bagaimana Cina yang tahun 70an bukan siapa siapa ? Kini begitu menakutkan negara negara adidaya olahraga di ajang Olimpiade. Mereka mendidik bibit bibit sejak usia dini, konsisten. Begitu pula apresiasi dari negara ketika mereka pensiun. Hidupnya dijamin seumur hidup. Gurnam Singh, peraih medali emas lari jarak jauh di Asian Games 1962, menghabiskan hari tuanya, dengan menggelandang di jalanan kota Medan.

Continue Reading

Tiga Srikandi

“ Bang Pandi sangat keras dalam melatih kami. Ia sangat disiplin dan tak pernah mengenal belas kasihan. Jangankan melawan. Mendengar suara mobil VW kombinya dari kejauhan, sudah membuat kami mengkeret ketakutan “

Demikian Yana, bersama Kusuma dan Lilies menceritakan pengalamannya dilatih salah satu pemanah putra terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, Donald Pandiangan. Mereka – Nurfitriyana, Kusuma Wardhani dan Lilies Handayani – adalah trio pemanah puteri Indonesia yang merebut perak beregu di Olimpiade Seoul 1988, sekaligus atlit pertama negeri ini yang meraih medali di Olimpiade.

Saat itu ketiga remaja putri tersebut tak membayangkan, masa masa mudanya yang tercabut karena harus menjalani pusat pelatihan nasional di Sukabumi. Jangan dibayangkan sebuah pusat pelatihan yang mewah dan penuh dengan fasilitas kebugaran. Hanya sebuah rumah tua dengan rumput rumputnya yang setinggi dada di halaman. Mereka para atlet perempuan harus ikut memotong rumput rumput itu agar halaman bisa menjadi tempat latihan.

Selama setahun mereka iri melihat remaja putri lainnya bisa bercanda tawa, jalan jalan menonton film ‘ Catatan si Boy ‘, sementara mereka menjalani hari hari yang membosankan. Bangun pagi, latihan, latihan dan latihan. Skripsi Yana yang tertunda. Lilis yang terpisah dengan kekasihnya di Surabaya, atau Kusuma yang tak bisa membantu orang tuanya mencari nafkah tambahan.

Continue Reading