Browsing Tag

Lembah Baliem

Upacara bakar batu

Suara anak babi itu menjerit jerit menyayat ketika dipanggul oleh Rumbe, seorang warga suku Dani, Lembah Baliem. Suaranya terdengar seperti lengkingan anjing.
Mungkin si babi itu sudah mencium bau kematian. Yali Mabel sang kepala suku sudah bersiap di ujung sana, dengan anak panahnya yang terhunus. Dua anjing mengkuti terus Rumbe ke tempat penjagalan yang dikelilingi warga Dusun Jiwika. Sementara berhadapan dengan mereka – di sisi seberang – beberapa orang sudah menyelesaikan tumpukan batu terakhir, sebagai tempat pembakaran.

Rumbe memegang kaki babi itu, sementara temannya memegang telinga babinya. Mereka membuat jarak untuk merenggangkan tubuh sang babi sambil menunggu Kepala suku membidik dengan panahnya. Suara babi terus melengking tak henti. Anjing anjing terus mengendus ngendus tanah. Suara warga mendadak senyap saat anak panah melesat, menembus jantung babi malang itu.
Ia terus meronta ronta ketika Yali Mabel menarik sambil memutar mutar anak panahnya, dari tubuh. Anjing anjing berebutan menjilat darah babi yang berceceran di tanah. Begitu anak panah tercabut, tubuh babi dilepas terjerembab di tanah. Mati, diam tak bersuara.
Seketika, orang orang menyanyikan lagu lagu pesta. Hari ini upacara bakar batu telah dimulai prosesinya.

Continue Reading

Koteka menatap modernisasi

“ Wah wah wah wah “ suara itu bersahut sahutan memenuhi perkampungan Suku Dani di desa Jiwika – distrik Kurulu, Lembah Baliem – menyambut kedatangan kami. Artinya, terima kasih atas kedatangannya. Dusun yang luas ini terletak di dilereng bukit yang tinggi, dengan sebuah sungai kecil membelah hutan kecil disisinya.

Para lelaki keluar satu per satu dari pondok kayu berbentuk bulat dengan atap rerumputan yang disebut Honai, langsung menjabat erat tangan kami. Hangat dan sangat bersahabat. Semua lelaki dewasa tinggal bersama sama di pondok honai yang disebut Pilamo. Beberapa pasang mata tampak hanya menyelidik dari dalam kegelapan honai.

Sementara kaum wanita duduk duduk bersama anak anaknya di depan rumah pondok kayu memanjang. Rumah ini merupakan tempat tinggal wanita dan anak anak sekaligus berfungsi sebagai rumah dapur. Lebih tepatnya sebagai penyimpanan logistik bahan makanan, karena mereka memasak di halaman. Pondok bagi wanita dan anak anak disebut Ebeaila.

Yali Mabel, sang kepala suku menyeringai lebar sambil menghisap rokok tembakau local cap “ Anggur Kupu “. Wajahnya keras dan tatapannya tajam. Berambut keriting dan sebagian wajah hitamnya dicat hitam dari arang. Ia tetap mengenakan holim ( koteka ), bertelanjang dada, tanpa alas kaki dan kepalanya dihiasi hiasan bulu bulu burung. Ada hiasan kerang kerang yang menjuntai di dadanya. Satu satunya produk modern yang melekat di badannya hanya sebuah jam tangan stainless steel di pergelangan tangannya.

Continue Reading