Browsing Tag

Caltex

Tentang kue yang dinamakan Indonesia

Pani ( 25 tahun ), seorang pemuda dayak Ngaju yang tinggal di sekitar Manggu, Kalimantan Tengah. Sehari hari ia bekerja menyadap karet di hutan yang disetor kepada pengumpulnya. Tapi untuk beberapa hari ia berhenti bekerja, karena menjalani side job, pekerjaan sampingan sebagai extra talent dalam produksi syuting saya di Kalimantan.

Perjalanan ke Kalimantan ini benar membuka mata hati tentang apa yang terjadi di negeri ini. Dengan total perjalanan sebelumnya, kurang lebih 2 minggu team kami menjejahi keluar masuk hutan mulai dari Kalimantan Tengah, Selatan sampai ke timur.

Sebagai ilustrasi untuk mencapai Manggu, kami harus menempuh perjalanan dengan mobil selama 5 jam dari Palangkaraya. Itupun harus dua kali menyeberangi sungai. Apa yang kita lihat selain secuil hutan tersisa serta tanah yang kosong menyisakan akar dan bekas pokok pohon. Truk truk logging mengangkut kayu hilir mudik dengan kecepatan tinggi menembus hutan. Meninggalkan pertanyaan besar pada orang seperti Pani. Apa yang terjadi kelak ketika hutan ini habis.
Disela sela syuting, Pani mengeluh tentang tanah adatnya yang tercabut karena masuk dalam kawasan eksplorasi perusahaan kayu. Ia tambah sulit melihat burung Enggang, yang semakin terdesak karena hutannya yang menipis.

Kini kue yang dinamakan Indonesia sudah semakin habis. Selama puluhan tahun tanah Indonesia yang diaduk aduk, dibongkar dan dibagi bagi untuk elite. Menyisakan potret buram tentang salah urus di negeri ini, karena mengabaikan amanat konstitusi , bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam buku “ The New Ruller of the World “, John Pilger menggambarkan konferensi di Geneva, Swiss November tahun 1967. Dikatakan, Menyusul diperolehnya hadiah terbesar ( baca : turunnya Bung Karno ). The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa yang dalam waktu 3 hari merancang mengambil alih kekayaan Indonesia.

Continue Reading