Browsing Tag

Bung Karno

Bung Karno & TVRI

 

Ide tentang siaran Televisi sudah dipikirkan Bung Karno sebelum Pemilu tahun 1955. Hanya saja situasi politik saat itu masih belum mengijinkan pembentukan televisi nasional dan proyek itu masih dianggap terlalu mahal, sehingga harus ditunda. 

Tapi menjelang perhelatan Asian Games IV tahun 1962, mantan Menteri Olahraga Maladi mengingatkan kembali Bung Karno tentang pentingnya kehadiran televisi. Maladi percaya bahwa siaran olahraga melalui televisi akan membangkitkan nasionalisme dan kebanggaan bangsa yang sempat dikacaukan berbagai gejolak pada awal kemerdekaan Indonesia. 

Bung Karno saat itu melihat tidak ada masalah dengan pendanaan karena Indonesia memilki dana pampasan perang dari Jepang. Dengan televisi, masyarakat di pelosok tanah air tak cuma mendengar suara tapi bisa melihat bagaimana para atlet Indonesua berjuang di pentas olahraga terbesar Asia itu. 

Sebagai seorang yang sudah keliling dunia, tentu Bung Karno paham bagaimana peran televisi, sebagai sebuah sarana untuk menunjukan kebesaran bangsa Indonesia ke seluruh dunia. Ia menggambarkan televisi sebagai alat untuk pembangunan bangsa, revolusi, dan pembentukan manusia Indonesia.  

Continue Reading

Mengenal Kuba

Terik matahari menyengat begitu menjejakkan kaki di terminal kedatangan Bandara Jose Marti, Havana yang sepintas seperti bangunan tua Halim Perdana Kusumah. Udara panas yang menyentuh 38 derajat Celcius tak menghalangi antusias yang meluap luap karena akhirnya bisa mengunjungi negara Kuba.

Negara yang terletak di kawasan Karibia ini terasa akrab bagi karena hubungan sejarah kedua negara, terutama periode perang dingin. Gambar gambar keakraban Bung Karno dan Fidel Castro banyak memenuhi literatur sejarah. Bahkan Bung Karno adalah kepala negara pertama yang mengunjungi Kuba pada tahun 1960 sejak Fidel Castro menggulingkan Rezim Batista yang tiran dan didukung Amerika.

Perjalanan memasuki Ibu kota Havana, kita melihat dominasi bangunan dan rumah tua yang mengesankan negeri yang terbelakang. Jalanan sepi dengan mobil yang tak terlalu banyak, sehingga hampir tak pernah ada kemacetan. Beberapa warga tampak antri di pinggir jalan menunggu kendaraan umum. Perjalanan tak sampai 45 menit sudah memasuki pusat kota yang terbagi dua antara Old Havana dan New Havana.

Khususnya bagian Old Havana memang tidak banyak mengalami perubahan sejak dulu hingga saat ini. Sementara bagian New Havana mulai tumbuh dengan munculnya beberapa gedung baru seperti perkantoran atau Hotel. Namun menurut penuturan warga, secara umum tidak banyak yang berubah sejak era Batista.

Old Havana merupakan bagian dari sejarah panjang sejak era Spanyol di Kuba. Bangunan bangunan tua eksotis masih berdiri tegak dan menjadi denyut nadi kehidupan warga Havana. Fidel Castro tidak membangun atau mengubah struktur lingkungan dan arsitek di kawasan kota. Walau beberapa tempat terkesan kumuh, karena penduduk Kuba umumnya berada dalam garis kemiskinan, namun kawasan ini menjadi obyek wisata yang paling sering dikunjungi turis mancanegara.

Para penduduk menyewakan rumahnya untuk wisatawan yang ingin bermalam. Turis turis berjalan dengan nyaman dan aman, karena angka kriminal sangat rendah disini. Ada pameo di Kuba bahwa orang lebih takut dengan penjara daripada neraka. Beberapa polisi terlihat berjaga jaga di pojokan. Memang turisme menjadi sumber pendapatan utama setelah ambruknya Uni Sovyet yang menjadi penyokong utama perekonomian Kuba. Dengan embargo ekonomi dari Amerika saja, jumlah turis yang datang bisa mencapai 4 juta orang pertahun.

Continue Reading

Apakah Bung Karno mengetahui rencana G 30 S PKI ?

Ada beberapa analisa bersumber dari buku maupun kesaksian perwira militer seperti Brigjend Soegandhi atau Kolonel ( KKO ) Bambang Wijanarko yang mengatakan Gerakan G 30 S PKI sepengetahuannya Bung Karno. Dengan kata lain dirinya adalah dalang dari peristiwa penculikan Jenderal Jenderal. Secara logika hal itu tidak masuk akal jika Bung Karno yang menggerakan pemberontakan ini. Buat apa ? Saat itu kedudukan Bung Karno sangat kuat, dimana secara politis dia memegang kekuatan militer dan partai.

Sebagian besar AD ditambah AL, AU, Kepolisian praktis sangat loyal. Jika ada perwira seperti Soeharto yang dianggap kurang loyal, hanya memegang kesatuan Kostrad yang saat itu belum nerupakan pasukan pemukul seperti sekarang. Masih merupakan kesatuan cadangan Angkatan darat. Mayoritas seperti Brawijaya, Siliwangi, Diponegoro bahkan merupakan Soekarnois. Jadi buat apa dia melakukan kudeta untuk dirinya sendiri. Siapa yang diuntungkan? Lagian apa untungnya menghabisi Jenderal Yani, yang justru pagi itu sudah ditunggu di Istana untuk diberi tahu tentang proses alih jabatan.

Peran seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan berbanding lurus dengan keuntungan yang diperolehnya. Dalam peristiwa 1965 itu Sukarno adalah pihak yang dirugikan karena selanjutnya ia kehilangan jabatannya, sedangkan Soeharto sangat diuntungkan. Ia yang selama ini kurang diperhitungkan berpeluang meraih puncak kekuasaan karena para seniornya telah terbunuh dalam satu malam. Bagi Bung Karno, jangankan membunuh para jenderal. Membunuh nyamuk atau mengurung burung saja dia tidak tega.

Continue Reading

Dibalik malam Kudeta PKI

Banyak pertanyaan yang terus diulang ulang sehingga menjadi kebimbangan publik, yakni apakah Bung Karno mengetahui rencana G 30 S PKI terutama pada malam 30 September 1965. Narasi, dokumentasi yang diciptakan orde baru memang seolah olah Bung Karno mengetahui dan bahkan merestui penculikan para jenderal tersebut. Semua plot dimulai dengan kisah dalam acara Munastek di Istora Senayan, dimana Bung Karno menerima surat dari seorang tentara yang memberi tahu bahwa gerakan akan dimulai malam ini. Kemudian selanjutnya Bung Karno memberi wejangan soal wayang dalam episode Barata Yudha yang diartikan jangan ragu ragu untuk bertindak walau harus berhadapan dengan saudara sendiri.

Ternyata ada penjelasan yang luput dari scenario orde baru, yakni kesaksian Eddi Elison, reporter TVRI yang bertugas malam 30 September. Mendadak ia diperintahkan Kol Saelan untuk jadi MC dalam acara Munastek di Istora Senayan. Begitu memasuki Istora Senayan, ia langsung melihat spanduk di belakang mimbar yang berisi kutipan perintah Khresna kepada Arjuna dalam bahasa Sansekerta, yang mana Arjuna bimbang dalam perang Baratha Yudha karena harus berhadapan dengan saudara saudaranya sendiri.

Kutipan dari Bhagavad Gita, itu seharusnya ditulis Karmane Fadikaraste Mapalesyu Kadtyana ( kerjakan semua tugasmu tanpa menghitung untung rugi ).
Namun pada malam itu ditulis Karamani Evadi Karatse Mafealesui Kadatyana. Sebagai orang yang mengerti hikayat Barata Yudha, Eddi Elison mengetahui penulisannya salah. Presiden pasti cermat dalam membaca sesuatu.

Continue Reading

Asian Games ! Kebanggaan nasional

De mensleeft nietvan brood allen. Een volk leeft niet vanbroodallen. Een natie leeft niet van brood allen. Saja tidak mau membentuk bangsa yang dipikir itu cuma makanan, pangan, pangan saja. Saya akan bekerja mati-matian untuk memberi cukup pangan kepada bangsa Indonesia, bersama-sama dengan semua pimpinan-pimpinan dan pembantu-pembantu saya. Saya kerja mati-matian untuk memberi kepada bangsa Indonesia sandang yang secukupnya. Tetapi di samping itu juga satu bangsa yang leeft niet van brood allen, yang mempunyai harga diri, yang mempunyai isi mental yang tinggi, yang mempunyai national pride yang tinggi.

Pesan itu diucapkan Bung Karno ketika melantik Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta ditengah kritik kritik bahwa Presiden Sukarno gemar membangun proyek mercu suar. Ada suara suara saat itu daripada membangun Tugu Monas, lebih baik uangnya dipergunakan untuk keperluan irigrasi dan pertanian. Bung Karno sekaligus menjelaskan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar harus memiliki physical face. Suatu bangsa tidak cukup hanya dengan roti, tapi perlu simbol yang menjadi kebanggaan nasional.

Kisah ini menjadi relevan ketika Presiden Joko Widodo memutuskan mengambil alih hajatan Asian Games 2018 yang semestinya diselenggarakan di Vietnam. Saat itu banyak kritik untuk apa urgensinya menyelenggarakan hajatan berbiaya 6,5 Trilyun yang kemudian di revisi menjadi 4,5 Trilyun. Ini masih diluar biaya pembangunan infrastruktur seperti LRT, Wisma atlet, sarana lainnya sejak tahun 2015. Biaya yang dikeluarkan Kementrian terkait serta Pemprov DKI dan Sumsel yang bisa mencapai 34,5 Trilyun.

Bahkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengkritik pemerintah karena dinilainya terlalu jor-joran mengeluarkan anggaran untuk perbaikan infrastruktur untuk Asian Games 2018. Padahal, lanjut dia, masih banyak yang harus dikerjakan seperti mengutamakan kepentingan rakyat.

Kepala Bapenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, tahap persiapan dan pelaksanaan Asian Games 2018 memberikan dampak perekonomian Indonesia di antaranya meningkatkan sektor pariwisata, meningkatkan aktivitas ekonomi lokal, rnenciptakan lapangan kerja, dan mendorong pengembangan kota melalui pembangunan infrastruktur fasilitas olahraga.

Joko Widodo telah meneruskan mimpi Bung Karno untuk melanjutkan estafet menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar yang memilki kebanggaan nasional. Kita melihat demam Asian Games diseluruh negeri. Pencapaian prestasi di urutan 4 dan jumlah medali emas terbanyak yang dicapai Indonesia sepanjang sejarah keikutsertaan di Asian Games. Walau banyak disumbangkan oleh cabang cabang non olimpiade, namun kita tetap mensyukuri kerja keras para atlet.

Continue Reading

Pidato Bung Karno saat melantik Ali Sadikin

Saudara-saudara sekalian, beberapa saat yang lalu, Alhamdulillah Saudara Mayjen KKO Ali Sadikin telah mengucapkan sumpah menjadi gubernur/kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya, menjadi gubernur Jakarta.
Wah, itu bukan satu pekerjaan yang mudah. Dalam hal mengangkat walikota-walikota daripada beberapa kota, saya sering mengalami kekecewaan. Sesudah saja angkat yang tadinya saya kira dan saya anggap walikota itu dapat menjalankan tugasnya sebagai walikota dengan cara yang baik, kiranya tidak memuaskan.

Misalnya, saya pernah mengangkat seorang walikota yang dia dulu sebelum saya jadikan walikota, wah, seorang pamongpraja yang gemilang, yang baik sekali, seorang bupati yang sebagai bupati, boleh dikatakan jempol sekali. Diusulkan kepada saya supaya orang ini saya angkat menjadi walikota daripada sesuatu kota. Saya angkat. Kemudian sesudah beberapa bulan dia menjalankan pekerjaan sebagai walikota, ternyata amat atau setidak-tidaknya, mengecewakan. Oleh karena menjadi walikota itu lain, Saudara-saudara, dengan sekadar memamongprajai penduduk daripada kota itu.

Walikota daripada sesuatu kota harus memenuhi beberapa syarat teknis yang amat sulit. Harus mengetahui hal, misalnya, city-planning, harus mengetahui hal accijnering, harus mengetahui hal persoalan-persoalan lalu-lintas; harus mengetahui hal architectuur, harus mengetahui hal hygiene, harus mengetahui hal sampah; harus mengetahui hal selokan; harus mengetahui hal pertanaman; etc., etc…

La, ini walikota yang saya angkat, yang saya ambil sebagai contoh tadi itu, yaitu sebagai pamongpraja bukan main bagus sekali. Tetapi sebagai walikota dia gagal. Sebab dia itu tidak tahu menahu tentang city planning. City Planning yaitu mana tempat industri, mana tempat kediaman, mana tempat pasar, mana tempat etc., etc. .. Tidak tahu tentang urusan accijnering, tidak tahu tentang urusan selokan-selokan, tidak tahu tentang hal verkeersproblem, tidak tahu tentang hal hygiene. Jadi dia gagal sebagai walikota.

Saya ganti. Barangkali ini baik saya ambil dari militer. Kiranya si militer itu pun gagal. Hij snapt er geen lor van. Sebagai walikota. Sebagai militer dia orang yang gemilang, tetapi untuk menjadi walikota hij snapt er geen lor van.

Nah, mengenai Jakarta ini bukan saja ibukota daripada Republik Indonesia. Ibukota yang– saya lo yang menetapkan beberapa tahun yang lalu, bukan saja itu ucapan saya ini– satu kota yang penduduknya 4 juta. Sama Hong kong barangkali, total jendral, penduduknya masih banyak Jakarta.

Jakarta ini adalah satu political centre. Jakarta ini adalah communication centre. Jakarta ini adalah membawa problem-problem yang hebat sekali. Problem-problem yang saya sebutkan tadi itu. Mana selokan, mana sampah mana city planning, mana lalu-lintas, etc., etc., etc. Saya cari-cari orang, cari-cari orang.

Continue Reading

Tentang Raja Saudi dengan Presiden kita

Ketika melaksanakan ibadah haji tahun 1955, Bung Karno disambut sebagai tamu kehormatan oleh Raja Saudi, Saud bin Abdulaziz Al Saud. Berbagai cara dilakukan Raja Saudi untuk mengambil hati Bung Karno, salah satunya memberikan hadiah mobil.

“Ketika aku akan kembali ke tanah air, Raja Arab Saudi mengatakan, Presiden Soekarno, mobil Chrysler Crown Imperial ini telah Anda pakai selama berada di sini. Dan sekarang saya menyerahkannya kepada anda sebagai hadiah ” kata Soekarno menirukan ucapan Raja Saudi. Tentu saja Bung Karno girang kepalang dengan pemberian hadiah itu.
Pada jaman itu belum ada KPK sehingga ia tak perlu memberikan mobil itu ke KPK, seperti yang dilakukan Jokowi ketika mengembalikan bass gitar Metalica yang diterimanya ke KPK. Sebagai balasan, Bung Karno mengundang Raja Saudi untuk datang ke Indonesia.

Raja Saudi sangat mengagumi Bung Karno sebagai pendorong kemerdekaan negara negara Asia Afrika. Dia juga menemani saat Bung Karno berziarah ke makam Nabi di Madinah. Saat itu pula, Bung Karno melepaskan semua atribut-atribut dan pangkat kenegaraan yang digunakan. Kemudian Raja Saudi keheranan dan bertanya pada Bung Karno.
“ Disana hanya ada Rasulullah SAW yang memiliki pangkat yang jauh lebih tinggi dari kita, aku, dan dirimu “. Jawab Bung Karno.
Komitmen Bung Karno terhadap Islam tak pernah berhenti. Kelak Bung Karno menggagas Konperensi Islam Asia Afrika yang dilaksanakan di Bandung tahun 1964.

Continue Reading

Berkepribadian dalam budaya

Ketika era kolonialisme pendudukan sebuah bangsa secara fisik berakhir, seorang intelektual Italia Antonio Gramsci pernah menjelaskan, bahwa kekuasaan yang menindas berupaya menguasai seluruh keadaan melalui cara yang paling kuat yaitu hegemoni, baik dalam tataran nilai ataupun tindakan. Hegemoni ini bisa mempengaruhi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi dan budaya. Ini yang membuat Bung Karno memiliki gagasan untuk menghadapi gelombang hegemoni dari pihak luar .

Tudingan Bung Karno anti dengan produk barat, tidak sepenuhnya benar. Bahwa Bung Karno melarang ikon barat – misalnya musik Beatles – lebih karena sebagai bagian dari kebijakan politik melawan Nekolim saat itu. Namun Bung Karno tidak serta merta anti musik asing, karena dia juga menyukai lagu lagu soprano dari Itali misalnya.

Ketika itu Bung Karno memang sedang ngambek berat pada negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika, karena sikap dua negara itu bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia. Ia membutuhkan sebuah simbol untuk dilawan, sehingga Bung Karno perlu menegaskan identitas kebangsaannya melalui Trisakti, salah satunya adalah ideologi berkepribadian dalam budaya.

Kalau melihat sejarah masa mudanya, Bung Karno tumbuh dan besar bersama film film Hollywood, jadi hampir tidak mungkin dia anti film film Amerika. Bung Karno mengakui belajar bahasa Inggris dari kebiasaannya nonton film Hollywood. Bisa dikatakan ia memuja film Hollywood. Sewaktu muda, ia memiliki bintang film idaman bernama Norman Kerry. Seperti remaja Indonesia saat ini yang berusaha meniru penampilan bintang K Pop Korea. Bung Karno juga mencoba memelihara kumis tipis melintang – ala Norman Kerry – yang ujungnya melengkung ke atas. Namun, usahanya gagal. Ternyata, kumis Bung Karno tidak melengkung. Ia akhirnya menghentikan usaha meniru aktor pujaan banyak orang saat itu.

Ketika melakukan kunjungan pertama ke Amerika tahun 1956, hal pertama yang dilakukan Bung Karno adalah mengunjungi Hollywood. Ini merupakan impian masa muda yang akhirnya terwujud. Berbicara dengan bintang film kondang disana.
Kecintaannya pada film film Amerika tak menghalangi kebijakan politiknya untuk berpihak pada film nasional. Era orde lama hampir seperti saat ini, ketika film film Amerika mendominasi layar layar bioskop. Film nasional, yang mulai bangkit tahun 1950, tak bisa masuk bioskop kelas satu. Sehingga Pemerintah harus melobi Bill Palmer, bos AMPAI ( American Motion Picture Association of Indonesia ) agar film Krisis, garapan Usmar Ismail bisa tayang dan bertahan selama 35 hari di bioskop Metropole, Jakarta. Insan film juga berhasil meyakinkan Walikota Jakarta Soediro agar mengeluarkan “wajib putar” film Indonesia di bioskop Kelas I, walau pelaksanaannya kurang lancar.

Continue Reading

Apakah Bung Karno seorang marxis ?

Apakah Bung Karno seorang Marxis ? Dari karangan karangannya jelas dia sangat terpesona dengan ajaran Marxis. Jika kita melihatnya berdasarkan perspektif sejarah pada masa sebelum kemerdekaan, khususnya uraian Sukarno tentang ekploatasi negara negara jajahan oleh Pemerintahan kolonial, Bung Karno dapat dikatakan seorang marxis.

Era tahun 1920an, hampir semua tokoh pergerakan saat itu, termasuk Tjokroaminoto, sangat terpengaruh marxisme. Banyak ulama dan pemuka agama juga menjadi marxis, seperti Haji Misbach, Haji Datuk Batuah, KH Tubagus Achmad Chatib, Natar Zainuddin, dan lain-lain.
Fenomena ini juga dikatakan oleh Dawam Raharjo dalam sebuah diskusi tentang Marxisme, bahwa pertautan Islam dan Marxis tersebut sebagai “ pertemuan di jalan “. Islam dan Marxis bergandeng tangan untuk satu tujuan. Kemerdekaan. Jadi memang para ulama memakai marxis sebagai ideologi perjuangan, karena di Islam sendiri tidak ada ideologi yang dibutuhkan seperti bagaimana melepaskan penjajahan.

Bung Karno mengaku belajar marxisme sejak usia 16 tahun, saat mondok di rumah HOS Tjokroaminoto. Awalnya, ia mempelajari marxisme dari para penafsir marxisme seperti Semaun, Alimin, Muso atau Sneevliet. Setelah itu, ia mulai membaca karya-karya Marx dan Engels. “Pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi,” kenang Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams.

Dalam artikel berjudul ‘ Menjadi Pembantu “Pemandangan”. Sukarno, oleh…Sukarno sendiri’ di Surat Kabar Pemandangan tahun 1941, Bung Karno menganggap marxisme sebagai teori yang paling kompeten untuk memecahkan soal sejarah, politik, dan sosial-kemasyarakatan. Dengan menjadikan marxisme sebagai alat analisanya, Bung Karno berusaha menganalisa situasi dan perkembangan masyarakat Indonesia. Hasilnya adalah penemuan : Marhaenisme.

Continue Reading

Perda berbasis agama. Berkah atau Biang Kerok

Tragedi di Karubaga, kabupaten Tolikara, Papua pada hari Raya Idul Fitri kemarin membuat kita kembali merenung makna persatuan di negeri yang majemuk ini. Kita terkejut dengan tindakan intoleransi.
Bagaimanapun hak hak rakyat untuk menjalankan kewajiban agamanya, harus dihormati oleh warga serta dilindungi oleh negara. Dari beberapa sumber pemberitaan, bahwa peristiwa berdarah serta pembakaran musala itu dipicu dengan surat edaran dari GIDI ( Gereja Injili di Indonesia ) terhadap komunitas Muslim disana. Yang mencengangkan dalam butir butir surat edaran terdapat larangan merayakan hari raya di wilayah Kabupaten Tolikara, termasuk menggunakan jilbab.

Adanya statement Presiden GIDI Dorman Wadigbo, (dilansir dari Merdeka.Com), “Gereja tidak melarang kegiatan ibadah umat Muslim di Wilayah Toli. Ini hanya kesalahpahaman dan miss komunikasi antara petugas Polres Tolikara. Jika saja Polres Tolikara melakukan upaya pemberitahuan kepada umat muslim mengenai PERDA yang berlaku di Tolikara. Kejadian tersebut tak akan sampai sejauh ini ”.

Kita belum tahu, apakah Tolikara memiliki Perda yang mengatur tata cara bagaimana menjalankan kewajiban agama bagi umat Muslim disana. Jika ini benar, sungguh merupakan pelanggaran terhadap hak hak asasi. Perda perda intoleran ini muncul sejak era reformasi. Ini dimulai dengan munculnya perda perda syariah di beberapa wilayah Indonesia. Majalah Tempo pernah menulis, setidaknya ada 150 perda berdasarkan syariah Islam – ada juga yang perda Kristen tapi jumlahnya sedikit.
Dengan perkecualian di Aceh, sebenarnya Perda perda ini bertentangan dengan UU Pemerintah Daerah. UU ini dengan tegas mengatakan masalah luar negeri, pertahanan dan keamanan, bidang yudisial dan agama merupakan wewenang absolut Pemerintah pusat.

Sebagaimana dikutip dari Tempo. Kabupaten Manokwari pernah mengeluarkan Rancangan peraturan daerah pembinaan mental dan spiritual. Publik lebih mengenal sebagai rancangan peraturan daerah kota Injil, disingkat Raperda Injil. Gara gara peringatan kedatangan penginjil Carl Ottow dan Johann Geissler dari Jerman di pulau Mansinam – 3 kilometer dari pelabuhan Manokwari, sebagai tonggaknya masuknya Kristen di tanah papua. Maka sebutan kota Injilpun tersemat, disusul ramai ramai memajang Gambar Yesus berukuran 5 meter x 3 meter di simpang tiga pusat kota. “ Selamat datang di kota Injil “.

Continue Reading

Penguburan Bung Karno

Setelah dijebloskan dalam tahanan rumah di Wisma Yaso, akhirnya Bung Karno menhebuskan nafas terakhir di RSPAD, pagi dini hari tgl 21 Juni 1970. RRI menyiarkan berita sekitar pukul 7 pagi tentang kematiannya. Buruknya penanganan terhadap penyakit Bung Karno juga mempercepat kematiannya. Beberapa bulan di awal 1969, Bung Karno tidak boleh menerima tamu, termasuk keluarganya, karena harus menjalani serangkaian pemeriksaan dan interograsi. Keluarganya hanya bisa mengantar makanan melalui penjaga. Bung Karno yang suka keramaian dan selalu membutuhkan bicara menjadi makin depresi karena diasingkan. Sementara dulu penjajah Belanda saat membuang tahanan politik ke luar Jawa, tidak melarang mereka bergaul dengan lingkungannya.

Setelah keluarga boleh menengok. Itupun dengan pembatasan, harus mengantungi izin dan cap instansi militer Itupun tidak serta merta memudahkan. Rachmawati dibentak dan dimarahi penjaga, karena mengajak Bung Karno jalan jalan di halaman Wisma Yaso.
Jika penjaga sedang baik, keluarga boleh ke Wisma Yaso. Tapi kalau sedang tdak baik, mobl di tahan di gerbang. Sangat sering Ibu Hartini harus berjalan kaki menenteng rantang makanan melintasi halaman yang sangat luas.

Bung Karno sempat menulis surat ke Presiden Soeharto tgl 3 Nov 1968 untuk meminta kelonggaran agar keluarganya bisa mengunjungi. Ia juga meminta agar Ny. Sugio yang selama ini mengurusi rumah Wisma Yaso, dijinkan membantu lagi. Pembantu rumah tangganya tidak diijinkan masuk ke Wisma Yaso, sehingga untuk urusan dapur, Bung Karno harus mengurusnya sendiri.

Ketika akhirnya ia menembuskan nafas terakhirnya. Diantara sayup sayup suara seorang Ibu yang membacakan surat Yasin dekat jenasah Bung Karno, terdengar Ibu Wardoyo kakak kandung Sukarno terus meratap. “ Karno, kowe kok sengsoro men “.

Continue Reading

Bagaimana bisa Bung Karno menyetujui Peraturan rasis ?

Aksi demo ( sebagian ) mahasiswa terhadap Pemerintahan Jokowi, menarik perhatian karena ada organisasi KAMMI yang mengusung sentimen keberpihakan kepada pribumi. Ini dianggap sebuah kampanye rasis, sehingga ada yang mention saya di TL untuk memperbandingkan dengan kebijakan jaman Presiden Sukarno.
Tepatnya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 / 1959 dan ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.

Peraturan yang diberlakukan mulai 1 Januari 1960, serta merta mematikan para pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha ditingkat desa. Lebih jauh lagi, menggoncangkan sendi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia, karena saat itu UU Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga membuat kebingungan mana yang waga asli dan warga asing.

Orang Tionghoa tidak hanya tidak diperbolehkan berdagang, namun dilarang tinggal di tempat tersebut. Penguasa milter dengan sewenang wenang mengusir warga Tionghoa. Mereka yang diusir, bukan orang Tionghoa asing, tetapi juga orang orang Tionghoa yang berdasarkan UU Kewarganegaraan Tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia.

Dampak dari kebijakan ini, ada 136 ribu lebih warga Tionghoa menuju daratan Tiongkok, setelah Pemerintah RRT mengirim kapal dan mengundang mereka kembali ke tanah leluhur. Banyak kisah penderitaan mereka yang pindah akhirnya tidak betah, karena kendala bahasa serta budaya. Merasa tidak betah, mereka berusaha keluar dari daratan Tiongkok dan bermukim di Hongkong. Kisah kisah ini bergulir di Indonesia sehingga menurunkan minat mereka yang ingin pindah, sampai akhirnya surut sama sekali di akhir tahun 1960an.

Continue Reading