Sekali Lagi. Ini Jakarta

Jakarta kembali berbenah. Memilih Gubernur hari ini. Sungguh menyesal saya tidak bisa ikut menjalani hak warga untuk ikut pilkada, karena saat ini saya masih ‘ istirahat ‘ di Singapore. Tapi saya masih bisa menulis tentang harapan Ibu kota yang sebagaimana dikatakan Bung Karno kepada Ali Sadikin. Aku tanamkan kepadamu, cita citaku tentang Jakarta sebagai bandar perdagangan yang berdiri sejajar dengan kota kota besar di dunia.
Jakarta adalah kota kesayangan Bung Karno. Menjelang kematiannya, ketika Gubernur Ali Sadikin menengoknya. Ia hanya bisa berkata lirih. “ Ali,. Jakarta, Ali, Jakarta “. Sampai matipun ia tak pernah kehilangan harapan tentang Ibu Kota kebanggaannya.

Ali Sadikin terus menjaga amanat Bung Karno. Ia bekerja keras membangun Jakarta. Namun para penggantinya hampir tak ada yang bisa meneruskan untuk mewujudkan tata kota yang ideal.
Jakarta memang berubah, namun gagal menjadikan sebagai kota kebanggaan warganya. Kota yang kehilangan jiwanya. Sumpah serapah mereka yang terjebak macet dan banjir masih cerita yang tak habis habis. Manusia manusia apatis yang kehilangan ruang publiknya. Selain dirampas tembok mall, juga diserobot motor motor yang menggila melintas taman median dan trotoar.

Kini para Jakarta memiliki kandidat Gubernur terbanyak yang pernah ada. Semua menawarkan mengelola kota ini, walau beberapa sebenarnya kelihatan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan kelak.
Saya seperti menyesali pemilihan langsung yang digagas sebagai manifesto roh reformasi. Perhelatan pilkada sungguh membutuhkan dana yang luar biasa besar. Bagaimana para Gubernur akan bekerja dengan tulus dan jujur, jika belum belum sudah meghabiskan biaya puluhan milyar. Betapa tidak, Tiba tiba saya takut bahwa kandidat kandidat yang mumpuni tapi tidak memiliki ‘ amunisi ‘ uang yang banyak, bisa saja tersingkir. Sebagian wargapun tersandera dengan uang politik dan sangat pragmatis. Berani bayar berapa ?

Pertanyaan saya. Siapakah sesungguhnya yang merefleksikan warga yang perduli dengan Jakarta ? Kelas menengah yang menguasai sosial media atau kelas bawah yang tak perduli dengan kemacetan.
Terus terang, saya bingung, apa yang membedakan antara kampanye satu kandidat dengan kandidat lainnya. Rata rata penuh dengan janji. Dan gratis. Program kandidatpun tidak ada yang special. Hampir hampir mirip, tinggal di poles sana sini dengan pencitraan.

Inkumben seperti Foke tentu diuntungkan, tapi dia juga masih harus menjelaskan mengapa selama 5 tahun kepemimpinannya, Jakarta semakin semrawut. HNW malah menuai ketakukan sebagian warga, karena kampanye kota yang diurus santri. Alex, Jokowi masih harus membuktikan tidak sebagai orang luar yang hanya mencoba coba. Sementara Faisal hanya popular di kelas menengah. Hendardji ? Mungkin sekadar penggembira.

Tapi memang kita tidak boleh putus asa. Siapa tahu ada perubahan. Jakarta terlalu berharga untuk disia siakan dengan kebijakan Gubernur memble. Saya tak mungkin bisa menyebutnya dengan Jancukarta. Sebuah sebutan satire. Bagaimana mungkin saya membencinya ? saya tumbuh di dalamnya. Saya meraih begitu banyak kesempatan, mempelajari banyak arti hidup. Begitu banyak kenangan indah. Disini saya memeluknya erat dan sekaligus mencumbunya. Tak pernah berhenti.

Selain itu Pemerintah Pusat juga menyikapi bahwa kota seperti Jakarta layak dipimpin Gubernur dengan kekuasaan yang khusus. Jaman orde baru saja, Soeharto bisa mengeluarkan Kepres yang menyatakan Jakarta dipimpin Jenderal bintang tiga. Sementara Propinsi lain hanya bintang dua. Artinya Jakarta ( dulu ) dipandang memiliki sifat kekhususan sebagai ibu kota negara.

Bung Karno bercita cita membangun sebuah ibu kota yang multicultural dan bisa berdiri sebagai salah satu kota kota besar di dunia. Kecintaannya tidak main main terhadap kota ini. Baginya Jakarta adalah cerminan Indonesia mini, dimana Batak, Jawa, Ambon, Sunda dan semuanya bisa bangga dengan rumah besarnya.
Jadi siapa yang bisa mengklaim sebagai pemilik asli kota ini ? Bukan juga Forum Betawi Rempug atau FPI. Juga bukan monopoli sebuah agama tertentu. Kita bahkan juga harus menghargai hak hak komunitas minoritas Kristen Betawi di Kampung Sawah – Pondok Gede atau Kampung Tugu.

Hari ini warga yang tercatat akan menentukan nasib Jakarta ke depan. Pilihan bijak akan membuat perubahan. Pilihan pragmatis hanya membuat kota ini semakin terpuruk. Benar kata Bung Karno. Semua orang akan selalu mengingatnya. Inilah yang telah dilakukan Ali Sadikin. ‘ Dit heft Ali Sadikin gedaan “.
Hanya sejarah kelak yang akan mengatakan inilah yang dilakukan Foke, Alex, Hidayat, Faisal, Jokowi dan Hendradji
Selamat mencoblos !

You Might Also Like

14 Comments

  • Kunderemp
    July 11, 2012 at 6:22 am

    Saya sendiri berharap tidak kecurangan, Mas Iman. Karena dengan demikian, siapapun pemenangnya, akan jelas terlihat demografi penduduk Jakarta. Sebenarnya orang Jakarta itu kayak apa sih?

    Btw, pertamax kah ?

  • otsu
    July 11, 2012 at 6:58 am

    Ayok Jakarta semangat akan perubahan 🙂

  • Waterbomm
    July 11, 2012 at 7:15 am

    Sampai harinya pun daku masih belum ada pilihan 🙁

  • edratna
    July 11, 2012 at 10:25 am

    Saya sungguh berharap Pilkada ini jujur, sehingga menggambarkan apa yang sebetulnya diinginkan penduduk Jakarta. Pertanyaannya, berapa yang sadar akan hak pilihnya, dan memilih setelah melakukan analisis kekuatan dan kelemahan masing-masing kandidat. Kompas hanya memberikan analisis calon Gubernur..mestinya juga ada analisis calon Wakil Gubernur.

    Saya ingat awal tahun 70 an, saat baru menjejakkan kaki di Bogor…betapa teman-teman yang berasal dari Jakarta, sangat membanggakan Bang Ali. Kapankah kita punya Gubernur yang begitu dicintai oleh rakyatnya, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya.

  • Antyo Rentjoko
    July 11, 2012 at 12:09 pm

    Demokratisasi memang mendebarkan dan mahal. Demokrasi juga bukan tujuan, dia hanya cara yang sejauh ini diandaikan sebagai jalan yang siap dikoreksi. Tentang pilkada, memang kita berada dalam simalakama. Kalau pakai cara lama, melalui perwakilan, maka rakyat tersandera oleh politisi di DPRD. Kalau langsung, mahal dan melelahkan. Lebih celaka lagi kedua cara itu ujung-ujungnya adalah money politics. Kalau kita rata-rata, dari seluruh provinsi dan kota/kabupaten, maka dua minggu sekali ada pilkada.

  • kunderemp
    July 12, 2012 at 6:06 am

    yang menarik adalah, berdasarkan quick count, Faisal Basri – Benyamin yang dana kampanye paling dikit, paling cekak, bisa mengalahkan, walau tipis, Alex Noerdin – Nono yang didukung dana kampanye besar dan partai ternama (Golkar). Kalau nanti hasil resminya keluar dan ternyata tetap sama, Faisal Basri di atas Alex Noerdin, maka Golkar seharusnya mulai berbenah.

  • dilla
    July 12, 2012 at 9:46 am

    Walaupun ndak nyoblos, kalo disuruh milih daku clueless juga lho.. 0_o

  • Ceritaeka
    July 13, 2012 at 10:40 am

    Membaca ini seperti tersadar bahwa ada sisi baik juga dari Jakarta, sekacau-kacaunya kota ini tetap saya juga mendapatkan banyak pelajaran hidup dari kota ini.

    Aku gak milih, gak terdaftar di DPT 🙁

  • Bocah rimba
    July 14, 2012 at 2:45 am

    Saya sangat menyukai blog ini. Bahkan saya buat tab khusus sebagai akses cepat di operamini pada N97mini saya.

    Kunjungi jg blog saya ya http://bocahrimbalwordpress.com

  • Bocah rimba
    July 14, 2012 at 2:46 am

    Saya sangat menyukai blog ini. Bahkan saya buat tab khusus sebagai akses
    cepat di operamini pada N97mini saya. Kunjungi jg blog saya ya http://bocahrimba.
    wordpress.com

  • gurukecil
    July 20, 2012 at 7:56 pm

    Semua ini terjadi karena kita telah mengkhianati Pancasila. Sila mana yang menyebutkan ada pemilihan langsung? Sama juga dengan menangkap koruptor, katanya harus hati-hati supaya tidak melanggar HAM. Entah HAM siapa, apakah para koruptor pernah berpikir ketika menilep uang rakyat? Kita semakin jauh saja dari cita-cita para founding fathers kita. Maka, tidak bisa lagi kita bisa berharap banyak. Dengan pemilihan langsung seperti sekarang, yang bisa memimpin adalah yang mempunyai uang banyak dan para preman yang mempunyai jaringan luas. Kaum profesional akan semakin terpojok dalam ruang-ruang yang sunyi …

  • DV
    August 5, 2012 at 9:58 pm

    Kebetulan selama pilkada putaran pertama kemarin saya di Jakarta. Saya percaya apa yang dikatakan para sopir taksi bahwa Jokowi akan menang.. bukan perkara lebih bagus tapi lebih karena, “Kumis ga ada buktinya!” begitu kata mereka 🙂

  • bennythegreat
    August 15, 2012 at 9:44 am

    alhamdulillah saya pilih Joko Widodo

  • ibas
    October 10, 2023 at 11:06 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*