Sekitar 60 bocah berkumpul di bantaran sungai yang berumput di dataran tinggi Sumatra, tak jauh dari BukitTinggi. Mereka berjejer dalam satu barisan panjang yang berawal dari lokasi penggalian di sisi sebuah bukit. Mereka memindahkan bebatuan dari satu orang ke orang berikutnya, menumpuk bebatuan tersebut di samping gubuk beratap seng yang tak berdinding dan berlantai.
Bocah – bocah itu berkumpul setiap akhir pekan selama dua bulan terakhir untuk membangun sekolah mereka dan akan terus melanjutkannya selama satu tahun hingga selesai. “Di Indonesia”, kata salah seorang guru mereka, “kami menyebutnya gotong royong, bahu membahu untuk menolong sesama”.
Hasrat untuk maju menyelimuti negeri berpenduduk 79 juta jiwa. Demikian tertuang dalam artikel tentang Indonesia di NATIONAL GEOGRAPHIC edisi September 1955 . Saat itu, bangsa dari negeri yang belia ini memiliki semangat dalam mengasah potensi untuk menjadi salah satu negara terkuat di Timur Jauh.
Indonesia, sebuah bangsa yang baru berusia 10 tahun, sangat menggantungkan diri pada semangat gotong royong dalam upayanya bertahan hidup. Dengan populasi yang menduduki urutan keenam terbesar di dunia dan berpotensi menjadi salah satu negara terkuat di Timur Jauh, republik yang belia ini masih tertatih tatih akibat ekonomi yang karut marut dan kemelut politik yang diwariskan oleh satu dekade agresi mantan penjajah, revolusi, dan perang saudara.
Namun kini Indonesiat tengah menegakkan tubuhnya, berupaya menangani masalah-masalah yang paling mendesak – khususnya pendidikan – dan “saling membantu satu sama lain” untuk menuju kedewasaan. Lebih dari 16.000 kilometer panjang dan lebar kepulauan tersebu dijelajahi untuk menyaksikan Indonesia bekerja keras demi sebuah proyek besar pembaharuan bangsa.
Masyarakat di republik yang baru ini masih berupaya mengenali negaranya sendiri serta saling membandingkan perilaku dan aspirasi antar daerah dalam setiap kesempatan. Ini bukanlah tugas yang mudah. Bangsa Indonesia terdiri dari 79 juta jiwa yang berbicara dalam 2.000 bahasa daerah dan hidup berkelompok di ribuan pulau yang tersebar di khatulistiwa. Namun beberapa karakteristik nampak sama jelasnya di berbagai daerah di kepulauan tersebut. Masyarakat Indonesia sangat ramah, sangat sopan, sangat bersih – dan tidak terburu – buru. Di setiap daerah, siapapun bias merasakan energi anak muda yang berlebih. Bertubuh lentur dengan proporsi yang baik dan berotot, mereka berjalan dengan kepala tegak, bangga, dan melangkah selincah penari. Kenyataannya, sebagian besar diantara mereka dapat menari. Jarang sekali mereka meninggikan nada bicara kecuali ketika tertawa dan tampak tidak pernah marah. Namun jika mereka benar – benar mengamuk, waspadalah “Amok” alias mengamuk adalah istilah yang berasal dari wilayah ini.
Sikap mereka terhadap waktu juga diberi sebuah istilah : jam karet, waktu yang dapat di ulur – ulur. Sikap mereka yang santai dapat semakin dipahami ketika menyadari salah satu fakta tak menyenangkan : standar penghasilan di Indonesia hanya berkisar 50 dolar AS per kapita per tahun. Mungkin salah satu penyebabnya adalah Iklim Indonesia yang lembut kerap membuat sebuah usaha yang sederhana dapat bertahan lama. Tanpa suhu dingin ataupun serangan angin kencang yang harus dilawan, gubuk yang terbuat dari daun palem sudah cukup memberi perlindungan. Sebuah sarung dan beberapa kaos mencukupi perlengkapan pakaian. Harga beras dipatok pada batas yang wajar dan tanah sempit manapun akan menghasilkan pisang, singkong, kelapa, sukun, dan sejenisnya. Di sebuah negara yang masyarakatnya selalu mengumbar senyum dan mengalami panen sebanyak dua hingga tiga kali setahun, penduduknya tidak terlalu dipusingkan dengan krisis keuangan.
Perjalanan kami dimulai di Jakarta yang masih dikenal oleh banyak orang barat sebagai Batavia. Saat penjajah Belanda mendirikan pos perdagangan, kota tersebut masih menyentuh Laut Jawa. Kini dengan mendangkalnya sungai – sungai, terdapat hampir dua kilometer daratan lumpur dan kolam-kolam ikan yang memisahkan genteng-genteng rumah dengan lautan ; kota yang menjadi gerbang utama Indonesia lewat jalur udara itu telah berkembang 16 kilometer menuju daratan yang lebih tinggi dan cenderung yang sehat. Kampanye penyemprotan DDT yang kerap dilakukan untuk melawan perkembangbiakan nyamuk anopheles berhasil menambah kawasan permukiman yang aman di Jakarta.
Di luar pertumbuhan masih yang membentuk sebuah metropolis dengan lebih dari 2,5 juta penduduk, Jakarta masih memiliki suasana pedesaan yang mencolok. Dengan segelintir gedung bertingkat dan berbagai jalan dengan bungalo berpohon rindang. Kota tersebut bagaikan sekumpulan kampung yang padat. Bahkan di distrik perkantoran yang panas, burung layang – layang beterbangan keluar masuk gedung – gedung bank yang berdiri tegak, di atas kepala para juru tulis yang tertunduk.
Terdapat banyak toko di Jakarta, tetapi Anda tidak perlu mendatanginya ; cepat atau lambat semua barang akan mendatangi pintu depan rumah. Pedagang keliling yang memikul barang jajaan yang terpasang di kedua ujung batang bambu tidak hanya membawa daging, tahu, ikan, telur, dan sayuran, tetapi juga panic penggorengan, furnitur, kain batik, minuman ringan, mainan, dan penganan.
Pertumbuhan kota secara alamiah membuat lahan tempat tinggal berkurang ; Sebagian besar rumah dihuni oleh dua keluarga dan rumah manapun yang tidak dihuni untuk waktu yang lama akan segera diambil alih oleh pedagang ilegal yang enggan diusir oleh pemerintah. Untuk memenuhi permintaan yang mendesak, proyek – proyek perumahan baru yang terencana dengan baik seperti Kebayoran, sebuah kecamatan yang terdiri dari sekitar 7.500 bangunan, telah dibangun dan masih banyak yang dalam tahap perencanaan.
Surabaya, seperti yang kami lihat, tampak seperti Jakarta yang lain. Mungkin sebuah “statistik” dapat menceritakan kisah tentang Surabaya. Ketika kantor US Information Service di sana membuat iklan lowongan kerja untuk satu posisi juru ketik, tak satu pun pelamar datang selama berminggu – minggu. Namun, ketika kantor itu mengiklankan lowongan untuk seorang seniman pembuat poster, 50 pelamar langsung datang – sebagian besar adalah seniman berkualitas!
Di Celebes yang dinamakan kembali menjadi Sulawesi oleh Republik, untuk pertama kalinya kami diresahkan oleh masalah keamanan di Indonesia. Jalan yang menyusuri sisi kanan bandara Makassar menjadi tidak aman setelah 9,5 kilometer : perampok dan pemberontak yang saling memperebutkan “wilayah kekuasaan” seringkali menyerangnya. Sementara di sepanjang pelabuhan Makassar yang bersebelahan dengan pasar rotan terbesar di Indonesia, kami menyaksikan kapal – kapal tertambat saling berdampingan, mengingatkan siapapun pada keahlian pelaut Sulawesi.
Sebelum caravel – caravel Belanda atau Portugis pertama memasuki perairan ini, Perahu perahu besar Makassar telah berlayar sepanjang pesisir Cathay menuju Formosa dan kearah Barat ke Madagaskar, bernavigasi menggunakan bintang dengan akurasi yang mengagumkan. Dengan lingkungan yang halus, dek yang mulus, tiang yang tinggi, dan dua dayung panjang yang dipasang di kedua sisi belakang kapal sebagai kemudi bawah air, perahu tersebut merupakan kapal yang luar biasa tangguh.
Di Manado di bagian utara Sulawesi, banyak cerita mengenai orang – orang Minahasa. Sebagian besar di antara mereka memeluk agama Kristen, berpendididkan, memiliki banyak keahlian, dan sangat bangga akan proses westernisasi yang mereka jalani. Kopi, kopra, kelapa kering, dan keahlian berdagang memberikan penghidupan yang baik bagi mereka. Sebuah pelabuhan baru seharga 43 juta dolar AS di Bitung baru setengah jadi, seharusnya akan semakin memacu perekonomian mereka. John Moningka, petani asal Sulawesi utara mendapat hadiah traktor di Amerika Serikat saat mengikuti program kunjungan ke AS. Berbekal traktor itu, ia bertekad mengembangkan pertanian di kampungnya di Tomohon.
Tanpa jalur penerbangan langsung, yang dapat membawa kami dari Sulawesi, kami mundur kembali ke Surabaya kemudian ke utara ke Banjarmasin di pesisir selatan Borneo. Inggris mengontrol ujung utara Borneo yang terdiri dari Sarawak, Brunei, dan Borneo Utara. Wilayah Indonesia, dinamakan Kalimantan. Jika digabung, wilayah – wilayah tersebut menjadi salah satu pulau terbesar di dunia dan salah satu yang paling minim dijelajahi. Mudah bagi kami untuk mengetahui alasannya ketika terbang melintasi Laut Jawa ; dari ketinggian 8.000 kaki pada hari yang cerah, pucuk – pucuk pohon di hutan tumbuh meluas bagaikan selimut hingga pegunungan terjauh.
Martapura bermakna “Gerbang Menuju Intan” – batu permata yang terdapat di berbagai aliran sungai di pulau tersebut dan didulang seperti emas. Namun Kalimantan juga menghasilkan banyak karet, batu bara, merica, dan – yang paling penting – minyak. Di wilayah Indonesia, ladang minyak bumi terdapat di sekitar Balikpapan, Sanga-sanga, dan di Pulau Tarakan, dan dioperasikan oleh Bataafsche Petroleoum Maatschappij – yang lebih dikenal sebagai BPM, salah satu cabang pembantu Royal Dutch Shell.
Situasi perminyakan ini menarik disimak untuk beberapa alasan. BPM mendominasi produksi minyak Kalimantan, tetapi di Sumatra, perusahaan tersebut turut ditemani oleh dua perusahaan AS, Standard – Vacuum dan Caltex Pacific. Ketiganya mengontrol sumber minyak yang diperkirakan lebih dari satu miliar barel. Pembagian keuntungan yang diterima oleh pemerintah Indonesia setiap tahun mencapai 60 juta dollar AS.
Namun artikel ini tidak berhubungan dengan masalah keuangan. Cerita ini terkait dengan bertemunya teknologi Barat dengan aspirasi bangsa Indonesia di tengah perjalannya. Contohnya Balikpapan. Ketika pasukan Jepang menarik diri tahun 1945, kota, tempat pelatihan, dan perkantoran dibiarkan hancur ditelan asap, Menara-menara penyuling minyak jadi tumpukan material yang semrawut, tanki – tanki penyimpanan minyak ambruk seperti roti kosong yang remuk. Kini, kurang lebih sepuluh tahun kemudian, Balikpapan telah beroperasi kembali dalam kapasitas penuh dengan 4,500 pegawai yang menangani 2,7 juta ton minyak mentah per tahun. “ Kami tidak hanya belajar bagaimana cara mengebor, menyuling, serta mengirim minyak, “ kata tuan rumah kami, Hj. Houtman, direktur yang ramah di Balikpapan. “ Kami harus membangun sebuah kota dari awal, dari kursi dokter gigi hingga rumah jagal, dari bioskop hingga pengendalian malaria ”.
Ia juga menghadapi masalah lain, Perang dan revolusi yang berlangsung bertahun – tahun meninggalkan kenangan pahit bagi banyak orang Belanda dan Indonesia. Dapatkah mereka bekerja berdampingan dalam keakraban yang dipaksakan pada sebuah industri yang dijalankan di kota yang sama ?
Kenyataannya, mereka telah melakukan hal itu, saya menyaksikan orang Indonesia, Belanda, Eurasia, dan China di Balikpapan yang tidak hanya bekerja berdampingan, tetapi bermain tenis, berenang, berdansa bersama, dan bertukar lelucon. Saya menyaksikan sesuatu yang lebih penting: Saya menyaksikan BPM secara aktif mendorong program “regionalisasi”nya, yang berarti semakin banyak jabatan akan diserahkan kepada orang Indonesia. Saat ini jumlah orang Eropa di Balikpapan hanya setengah dari jumlah pegawai dan merupakan persentase yang kecil dibandingkan jumlah total angkatan kerja ; jumlahnya akan menurun apabila para “pribumi” mendapatkan pengalaman dan pelatihan yang meningkat.
WJH Wenselaar yang menjalankan sekolah teknik di Balikpapan, memberitahu bahwa ia memiliki 100 lelaki Kalimantan yang tengah mengikuti kursus penuh waktu, 140 mengikuti kursus sekali seminggu, dan 110 orang mendaftarkan diri dalam kelas malam regular. Di dalam ruangan – ruangan yang dilengkapi oleh peralatan dan fasilitas modern ( banyak di antaranya di desain dan dibangun oleh para siswa ) mereka mempelajari segalanya, dari pemasangan pipa hingga peleburan eletrikal.
Padanya ditanyakan mengenai kebiasaan – kebiasaan kerja. Ia berpikir sesaat kemudian berkata : “ Hal terpenting adalah Anda tidak meremehkan mereka. Jika Anda jujur dan berterus terang serta tidak mempersulit keadaan, jika Anda berperan sebagai seorang ayah yang tak terlalu menggurui, mereka akan berdisiplin, bekerja keras, dan berupaya untuk belajar mandiri. Saya beritahu Anda, saya sangat puas terhadap pencapaian pemuda – pemuda ini !”
Di Sumatera, di seberang Laut Jawa dari Kalimantan, kami menyaksikan perusahaan AS mengatasi pembangunan yang dimulai dari nol. Caltex memulai ekplorasinya dalam skala besar di dekat Pekanbaru pada tahun 1935; mereka menemukan minyak empat tahun kemudian, tetapi terpaksa membiarkan Jepang menikmati hasil dari sumur pertamanya pada masa pendudukan. Tim – tim pertama datang kembali ke Pekanbaru pada tahun 1949.
“ Saya baru tiba dari pusat perminyakan di Amerika Selatan”, kata istri manajer operasional, “ dan aku mengharapkan sesuatu yang serupa, suasana yang indah dan fasilitas yang lengkap. Aku turun dari pesawat lalu diantar ke dermaga dan kucium bau sungai dan kudengar monyet bersahut -sahutan di hutan, terus kukatakan pada diriku sendiri bahwa keadaannya akan berbeda di kamp. Keadaannya memang berbeda, lebih parah.” Ia bertahan dan kini Kamp Rumbai yang dia tempati sudah hampir menyerupai lingkungan tempat tinggal yang mewah di California meski gerombolan monyet masih membuat keributan setiap pagi dari hutan sekitar.
Produksi minyak yang di dukung oleh investasi sebesar 70 juta dolar AS itu melaju kencang; kini produksinya mencapai 50.000 barel per hari. Namun aktivitas tersebut menghadapi beberapa kesulitan. Salah satunya adalah masalah jalan. Di daerah tropis ini, beberapa kilometer dari khatulistiwa, truk – truk Caltex menggunakan ban khusus untuk permukaan es dan juga rantai
“Kami tidak memiliki pasir atau tanah padat apapun untuk membangun jalan “, jelas sang manager administrasi dan pelayanan di Kamp Rumbai. “Kami hanya mengeraskan tanah dan menyiraminya dengan minyak. Jika hujan deras, kami harus membangunnya kembali, rata – rata setiap enam minggu!”
Masalahnya lainnya adalah satwa – gajah, ular, harimau. “Kami tidak menanam pipa minyak di sekitar sini,” kata sang manajer, “seringkali ada gajah yang menggalinya. Di selatan, mereka sering merusak kabel – kabel telepon dan mengusutkannya seperti spaghetti.”
Namun, Sumatra lebih dari sekedar kebun binatang alami dan sumber minyak. Pulau itu disebut “Pulau Pengharapan,” dan itulah yang dipercayai oleh penduduk Indonesia yang padat. “Sumatra,”kata Duta Besar AS Billy Kelly di Medan,” merupakan masa depan Indonesia. Ukurannya tiga kali Jawa dengan jumlah penduduk yang hanya seperempat Jawa. Sumatra memiliki semuanya : batubara, minyak, karet, tea, kopi, tembakau, tenaga air, tanah air, tanah subur yang banyak – dan penduduk yang rajin dan mandiri. “Namun, pembangunan tidak akan tercapai dalam satu malam. Terdapat masalah – masalah yang sama wilayah lainnya di Indonesia : investasi asing minim, jumlah teknisi terlatih di bidang apapun sangat sedikit, dan ada masalah keamanan di tiap perkebunan besar. Namun suatu saat semuanya akan teratasi. Anda lihat saja,”
Demikian setelah mengunjungi sebuah pabrik baru di Medan yang didirikan oleh seorang veteran Indonesia dengan menggunakan uang pinjaman dari pemerintah. Menggunakan mesin-mesin modern, 600 karyawan perempuannya yang direkrut dari kampung-kampung Batak menghasilkan dua juta kaos setiap tahun. Jumlah pinjaman, 68.200 dolar AS dan nilai jual pabrik saat ini, 333.000 dolar AS.
Republik Indonesia tentu saja dapat mencapai banyak hal melalui usahanya sendiri dan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan, upaya Indonesia dapat semakin produktif. “Ambil contoh pertanian,” kata Ambrose Lewis, ahli teknik pertanian yang telah bekerja di Sumatra selama dua tahun. “ Petani Indonesia menganggap hasil panennya sudah cukup baik, tapi kini telah diperkenalkan beberapa varietas Amerika Tengah yang dapat meningkatkan hasil panen hingga 300 persen dengan menggunakan pupuk dalam jumlah yang lebih sedikit. Selain itu jagung baru ini diperkirakan lebih sedikit. Selain itu, jagung baru ini diperkirakan lebih bergizi. Atau beras. Kurang lebih seperempat petani di Jawa menggunakan benih improvisasi kami dan memperoleh panen 20 hingga 30 persen lebih banyak. Kini kami mencobanya di Sumatera.”
Ketika Marco Polo pertama kali melihat Indonesia, ia menulis tentang Jawa dan menulis, “Kekayaan pulau ini sungguh luar biasa.” Namun, 663 tahun kemudian, Indonesia berjuang keras menghadapi pendapatan perkapita yang minim. Status kemerdekaan selama 10 tahun belum menghasilkan peningkatan standar kehidupan dibandingkan masa sebelum perang. Mengapa ?
Mantan Menteri Keuangan Dr. Sumitro Djojohadikusumo menjelaskan, “Banyak yang tak menyadari bahwa penjajahan Jepang yang berlangsung selama beberapa tahun, perseteruan internal, dua agresi militer, gangguan terhadap sumber daya alam produktif, gangguan sosial, dan semua yang diakibatkan oleh hal- hal tersebut, menimbulkan pengaruh yang dapat dirasakan selama bertahun – tahun ke depan”.
Angka – angka statistik mendukung pernyataan Sumitro. Sebagai contoh, dibawah, penjajahan Jepang, hasil, panen karet menurun hingga sekitar 20 persen, kopi hampir 30 persen, tea turun hingga lima persen. Lalu bayangkan sebuah permasalahan yang terkait erat dengan kemampuan bangsa tersebut dalam bekerja : kesehatannya. Di timur Jawa saja, 50 persen penduduk menggigil dalam sekurang-kurangnya satu serangan malaria pertahun. Hampir dua setengah juta menderita tuberkulosis, dan 600.000 buta – mayoritas disebabkan oleh trachoma.
Kekuatan medis seperti apa yang dimiliki oleh Indonesia untuk menghadapi situasi tersebut ? Kurang lebih satu dokter untuk setiap personil 57.000 jiwa ! Kurangnya personil terlatih berlaku di setiap bidang ekonomi – pengacara, ahli teknik, ahli pertanian, guru, tukang pipa, tukang listrik. Sebutkan saja, dan Indonesia telah tertulis di atas kertas dan merupakan rencana yang baik. Masalahnya, siapa yang akan mengimpletasikannya dan kapan ?
Mungkin salah satu fakta terpenting adalah kenyataan bahwa Indonesia sangat ingin belajar. Banyak orang-orang kaya di seluruh Indonesia berupaya sebaik mungkin, melawan segala rintangan, untuk membantu diri sendiri dan negara mereka agar tumbuh dan menjadi dewasa. Haroun el-Raschid, mantan Hakim Ketua Sumatra, yang kini menjabat sebagai kepala sekolah hukum yang didirikan di Padang bersama lima guru lainnya. Gaji bulanannya tidak akan mencukupi untuk membeli sebuah ban mobil. Ada juga seorang siswa sekolah menengah di Surakarta yang belajar di pagi hari dan kemudian mengajar di sore hari.
Melalui upaya-upaya seperti itulah Indonesia berhasil memotong tingkat buta hurufnya dari sekitar 93 persen menjadi 45 persen dan berharap untuk mengentaskannya pada 1961. Indonesia telah berhasil meningkatkan jumlah sekolah dasar dari 18.000 tahun 1940 menjadi 2.700, siswa dari dua juta menjadi 32.000 hari ini, sekolah menengah dari 144 menjadi 2.700, siswanya dari dua juta menjadi lebih dari delapan juta. Jumlah buku, peralatan laboratorium, dan guru masih menyedihkan, dan proses belajar kerap berlangsung di gubuk-gubuk beratap daun nipah. Namun, pencapaian Indonesia cukup mengesankan.
Para pelajar pelajar cilik di Kalimantan menggunakan batu tulis saat belajar di kelasnya karena buku buku tulis masih mahal dan langka. Pendidikan menjadi salah satu prioritas di negeri yang muda ini, juga digunakan untuk menyebarluaskan salah satu modal yang dimiliki Indonesia, yaitu Bahasa Indonesia.
Di bidang medis, seorang dokter Kalimantan yang wilayah kerjanya meliputi sebuah hutan dengan kurang lebih 300.00 penghuni ; untuk mencapai sektor utara ia harus berjalan kearah hulu menggunakan perahu motor tempel selama enam jam. Dengan perawat-perawat tak berpengalaman, tanpa ahli anestesi, tanpa sinar X, sebuah tempat tidur lipat tua yang berfungsi sebagai meja operasi, dan sebuah lampu minyak sebagai alat penerang, tempat tidur tanpa seprai dan sebuah tungku arang untuk dapur, lelaki ini terus bekerja dengan efektivitas yang semakin meningkat.
DI beberapa daerah jika Anda bertanya kepada seorang lelaki di sawah mengenai jarak yang harus ditempuh untuk mencapai sebuah kota, ia akan menghitungnya menggunakan jumlah bakul nasi yang harus di masak selama perjalanan. Namun, dalam masyarakat Indonesia yang luas, sebuah kesadaran mengenai arti waktu bagi Republik yang masih muda ini menjadi semakin jelas. Mereka paham, kemerdekaan saja tak cukup sebagai solusi. Mereka tahu bahwa sementara ekonomi mereka bergantung pada tanah yang subur yang menjadi fondasi konkretnya, superstruktur bisnisnya masih goyah, dan upaya menyelamatkannya harus segera dimulai sebelum terlambat.
Seorang pengusaha dalam bidang industry di Medan mengatakan, “Kami tengah melakukan kemajuan. Perdagangan ekspor dan impor kami akhirnya mencapai titik keseimbangan. Namun, untuk menanggulangi pokok permasalahannya dibutuhkan 25 tahun, atau mungkin seratus tahun. Saya bertanya kepada diri sendiri, bersediakah dunia memberi kami waktu barang lima tahun saja?”
Itulah pertanyaan yang diingat ketika meninggalkan Indonesia. Di bandara Kemayoran, bendera-bendera dari 29 negara yang telah menghadiri Konferensi Asia Afrika di Bandung yang bersejarah masih berkibar. “ Selamat Jalan! ” sahut teman-teman Indonesia. “ Semoga nasib baik menyertaimu disini.” Kami membalas, “ Selamat tinggal, Semoga nasib baik menyertaimu di sini.” Kami berharap mereka memperolehnya.
Disalin National Geographic Indonesia berdasarkan artikel dari National Geographic Edisi September 1955
3 Comments
pakdeh ferry
December 27, 2019 at 9:18 pmcukup menarik ceritanya
morishige
January 24, 2020 at 8:55 amDulu generasi orangtua saya pernah cerita soal batu tulis yang mereka pakai waktu sekolah dulu. Baru sekarang, bertahun-tahun kemudian, saya baru melihat wujudnya di foto NG ini.
Btw, postingan ini semakin menyadarkan saya betapa pentingnya pendokumentasian, entah dalam bentuk tulisan atau foto. Mungkin dalam rentang 1-2 tahun apa yang kita tuliskan belum akan terasa berharga. Tapi beri waktu setengah abad dan catatan-catatan kita mungkin akan bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
ibas
October 10, 2023 at 8:19 amgood article, thank you