Pengakuan ( Bukan ) Pariyem

“ Saya kenal betul hasrat lelaki yang timbul di balik gerak geriknya. Pendeknya dia kasmaran sama saya. Selagi saya membersihkan kamarnya, tiba tiba saya direnggut dari belakang. O Allah saya kaget setengah mati. Sekujur tubuh saya digerayangi. Pipi, bibir, pentil saya dingok pula. Paha saya diraba raba. Alangkah bergidik bulu kuduk saya. Tapi saya pasrah saja. Kok saya lega lila. Tanpa berkata barang sekecap, peristiwa itupun terjadilah “ Pengakuan Pariyem

Novel prosa lirik karya Linus Suryadi AG yang terbit akhir tahun 70an ini ditulis jauh sebelum aku lahir. Aku sempat membacanya dan membayangkan kehidupannya seorang pembantu rumah tangga – Pariyem, asal Gunung Kidul yang mengabdi pada keluarga Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, keluarga trah Keraton Jogja. Dia pembantu yang lugu dan dibalik itu menyimpan ‘ kebijaksanaan ‘ dalam menghadapi hidup.
Pariyem bangga dan sekaligus bingung ketika menyerahkan tubuh dan asmaranya untuk putra majikannya, Raden bagus Ario.

Apakah aku, Pariyem dalam siklus hidup yang berbeda ? Aku perempuan yang lahir dari darah campuran Indonesia dan luar negeri. Kata orang wajahku manis, imut. Mungkin karena kulitku yang putih. Aku bekerja sebagai production assistant dalam produksi film. Job descku memang di urutan bawah dalam struktur produksi. Menjadi kaki tangan produser. Aku memang diperintahkan menyiapkan semua hal hal kecil yang berkaitan dengan kebutuhan produksi. Hal hal remeh mulai dari memastikan ada mobil jemputan sutradara, urusan pemilik lokasi sampai kalau perlu membelikan martabak untuk makanan tengah malam crew.
Bekerja di film adalah impianku. Aku memiliki jiwa seni, pandai menggambar. Sebenarnya aku berharap bisa berada di art department. Aku tetap menyimpan impian suatu hari kelak menjadi seorang Production Designer.
Aku merasa menjadi ‘ seseorang ‘ yang berbeda dengan teman temanku yang lain. Mereka memandang kagum bagaimana aku bisa terlibat dengan nama nama besar di dunia film. Sutradara atau bintang bintang film lainnya.

Aku sendiri merasa tahu diri dalam komunitas ini. Apalah artinya aku, hanya seorang asisten produksi. Sebuah sekrup kecil dalam rantai produksi film yang besar. Aku hanya bekerja sebaik baiknya dan berharap ini menjadi ‘ reward ‘ untuk jenjang karier yang lebih baik.
Mungkin aku lebih beruntung, sehingga lebih diperhatikan oleh Mas Sutradara. Entah kenapa aku merasa perhatiannya lebih dari seorang atasan kepada bawahan. Ia sering memintaku terlibat dalam pengambilan keputusan tentang manajemen produksi. Ia bahkan memintaku untuk bisa bekerja sama dengan asisten sutradara untuk masalah ‘ break down ‘ syutingnya.

Kekagumanku pada Mas Sutradara memang bukan pada alasan. Orangnya masih bujangan, walau kata orang dia play boy, namun secara personal dia sangat menarik. Aku kagum dengan karya karyanya yang bisa kita lihat di televisi atau layar lebar. Bisa jadi menciptakan karya visual seperti itu membutuhkan talenta luar biasa. Jadi ketika dia memintaku datang ke rumahnya untuk membawa draft skenario serta hadir saat ia memberi briefing kepada team. Aku merasa menjadi tangan kanannya pula. Melihat dia berbicara serta menyampaikan treatment syutingnya membuatku mabuk kepayang. Ini orang benar jenius.

Kadang di rumahnya ia menawarkan minuman wine. Akupun tidak menolaknya. Yah bagaimanapun hal hal seperti ini – minuman beralkohol – bukan masalah tabu dalam dunia film. Biasa saja.
Sampai suatu malam si Mas memintaku datang untuk untuk mengambil koreksi catatan dari skenario. Sambil memberikan brief tentang hal hal yang harus kulakukan, aku membiarkan tangannya mengelus pinggangku dari belakang. Aku tahu apa yang dia ‘inginkan ‘. Matanya tajam seperti elang menatapku.
Tiba tiba saja ia menarikku dan menciumku. Aku sedikit meronta, bagaimanapun aku kaget. Tanganku secara reflek menepis wajahnya. Tapi dia terus memaksa sampai aku menyerah. Sedetik aku merasa diperkosa. Tapi selanjutnya aku, menikmati dan membiarkan dia menelanjangi serta menyeretku ke kamarnya, Aku menyerah dalam kesukacitaan.

Walau sedih, karena ini bukan cara yang baik. Diam diam aku merasa bangga. Lihat, Mas Sutradara yang terkenal lelap dalam pelukanku. Aku bisa menguasainya, walau hanya malam itu. Akulah penguasa dunia. Sejak itu, jika ada waktu kosong, aku tak ragu datang ke rumahnya. Menemani malam malam kosong Mas Sutradara. Aku menjalani hidup seperti Pariyem

Pariyempun menulis lebih dari 30 tahun lalu.
“ Saya ingat hari terjadinya. Dan saya ingat hari pasarannya. Kamis pahing persisnya, jatuh pada bulan purnama. Dan sejak itu, tiap kali kangen dia terus mengajak sare sama saya. Aduh gusti…”

Mas Sutradara sama sekali tidak pernah bicara hal yang lebih serius dari hubungan ‘ suka sama suka ‘ ini. Ya aku mengerti bahwa tidak ada komitmen yang diharapan dari hubungan ini. Bahkan aku tak pernah bersamanya pada sabtu minggu. Mungkin dia sedang bersama pacar atau orang dekatnya. Akupun tak perduli. Kadang aku bertanya tanya inikah yang dinamakan kekaguman ‘ groupies ‘. Memuja tanpa pretensi, dan rela menjadi hempasan birahinya ?

Pernah suatu ketika aku bekerja untuk sutradara lain. Temannya si Mas Sutradara. Kali ini dalam pembuatan film iklan sebuah provider bersama group band paling terkenal di Indonesia. Pengambilan gambar dilakukan di Bali. Sejak awal, produser sudah memerintahkan agar lantai kamar Hotel tempat personil band ini menginap, agar disterilkan. Tertutup bagi orang lain. Mulai dari lobby hotel sampai parkiran begitu banyak fans fans groupies – didominasi perempuan – yang terus menunggu kehadiran sang idola. Entah dari mana mereka tahu kalau Band ini menginap di hotel ini.

Namun aku menjadi saksi, saat malam meninggi, beberapa perempuan bisa masuk ke kamar kamar personil band. Mereka meninggalkan hotel ketika menjelang subuh. Ini bukan hal yang mengagetkan. Begitulah kecintaan Groupies pada sosok idolanya. Apa yang dilakukan di kamar ? Tentu bukan sekadar belajar bernyanyi. Kepalalu pusing dan mendadak mual. Apakah aku seperti mereka. Memuja tanpa batas. Pasrah tanpa beban.
Tiba tiba aku rindu dengan Mas Sutradaraku – yang tak perduli dengan rasa – kini sedang di Bangkok untuk mengerjakan post production. Salahkan dengan perasaanku ?
Aku berusaha melupakan Mas Sutradara. Sekian lama aku menghindar dari pekerjaan yang ada kemungkinan bertemu dengannya. Namun takdir berkata lain. Suatu malam aku menjumpai Mas Sutradara di sebuah klub malam. Padahal aku sekadar melepas penat setelah pre production yang melelahkan di sebuah rumah produksi. Mestinya segelas vodka martini mampu membebaskanku.
Kulihat ia menggapai. Duh, aku tak bisa menolak. Dentum music dan pendar lampu telah menyembunyikan pipiku yang merona.

Ternyata Mas Sutradara bersama seorang temannya. Bintang film terkenal di seantero negeri ! Aktor pujaan para wanita. Setelah beberapa lama, dan tampak Mas Sutradara sudah agak mabuk. Ia mengajakku pergi. Ia tidak meminta. Lebih tepatnya menegaskan agar malam ini aku menemaninya. Hasratnya tak bisa ditunda dengan bujuk rayu dan janji segala.

Persis seperti Pariyem mengatakan, Oh tobat tobat. Kalau dia sudah mendeng, sorot matanya bersinar mencereng. O. saya klenger dibuatnya.

Mas Bintang filmpun ingin ikut pulang. Dia memandang iri kepada Mas Sutradara yang menggandeng aku tak berdaya. Ia menoleh sebentar, melihat seorang perempuan cantik diantara kerumunan teman temannya. Sejak tadi ia memang selalu tak melepaskan pandangan ke Mas bintang film. Mas bintang filmpun tahu, insting buruannya bergetar. Tak berapa lama, perempuan muda mahasiswi kampus elit di Jakarta bergabung, dan ikut keluar gedung klub malam yang sangat pengab.

O Allah, mbek meong mbek meong, wog wog kethekur, wog wog kethekur. Apabila seorang pria naik birahi, tingkah lakunya penuh emosi. Tingkah lakunya tak berbeda sama dengan binatang piarannya. Otaknya macet, nalarnya buntet dan perasaannya terbakar. Bisik Pariyem dulu.
Begitulah aku kembali ke rumah Mas sutradara, bersama Mas bintang film yang membawa teman perempuan yang baru dikenalnya tadi.
Aku dihempas di tempat tidurnya Mas sutradara. Mas bintang filmpun membawa si mahasiswi. Sungguh tempat tidur terasa sempit menampung empat manusia. Kami bergulat habis habisan. Walau awalnya malu, selanjutnya kami bagi bayi bayi dewasa dalam box. Entah apakah ini yang dinamakan swinger ?

Menjelang subuh kuterjaga, bangkit dan mengambil pakaianku. Mereka semua masih lelap.. Diam diam aku memegang perutku. Semoga tidak terjadi apa apa. Sepertinya mas Sutradara tidak memakai kondom pada ‘ pergulatan ‘ kami terakhir.
Aku tidak ingin seperti Pariyem, ketika janinpun tumbuh dalam rahimnya. Pariyem yang dibuang setelah menghadapi pengadilan keluarga Kanjeng Cokro Sentono di ndalem Suryomentaraman Nyayogjakarta. Masih terngiang ngiang ucapan sang ayah Raden bagus Ario.
“ Malam ini mengadili Ario Atmojo dari ndalem Suryomentaraman dan Maria Magdalena Pariyem dari Wonosari Gunung Kidul, berdasarkan bukti yang cetha wela wela sudah diakui kedua tersangka. Tak ada pelanggaran tata susila tapi permainan asmara ada buahnya. Tempat, waktu dan tanggal tidak penting tapi pengakuan ada bukti Pariyem bunting “

Pariyem dibuang, untuk pulang kampung di Gunung Kidul dan melahirkan bayinya. Cucu sang Kanjeng Cokro Sentono dan ndoro putri. Ia tak pernah dikawini oleh Raden bagus Ario.
Anak yang dilahirkan, dititipkan pada bapak, simbok di kampungnya. Sesekali Den Bagus Ario menengok bersama orang tuanya. Pariyem tetap menjadi babu yang setia di keluarga mereka.

Sebagaimana yang dikatakan Pariyem,
“ Saya tetaplah sebagai babu yang setia. Sebagai babu ndoro Kanjeng Cokro Sentono di ndalem Suryomentaraman Ngayogyakarta. Tak kurang suatu apa. Saya sudah bahagia “

Sayup sayup suara adzan subuh memanggil. Air mataku menetes. Aku tak mau jadi Pariyem yang terperangkap dengan cinta dan harapan sebelah tangan. Aku menangis karena teringat ucapan Ustad Emha Ainun Nadjib. Katanya, karena wanita menyingkap sendiri pahanya, pingsanlah kehormatannya, digantunglah kepribadiannya dan tersembelihlah ketinggian harganya.

You Might Also Like

20 Comments

  • Kurnia Septa
    December 7, 2013 at 6:31 pm

    “karena wanita menyingkap sendiri pahanya, pingsanlah kehormatannya, digantunglah kepribadiannya dan tersembelihlah ketinggian harganya.”
    Perlu digaris bawahi 🙂

  • saifulmuhajir
    December 8, 2013 at 7:24 am

    Ini kejadian nyata pasti.

    Dan entah bagaimana aku ya merinding baca endingnya. Ah..

  • dzale
    December 8, 2013 at 11:00 am

    hm, bagus ni cerpennya 🙂

  • itikkecil
    December 8, 2013 at 12:09 pm

    Akhirnya tulisan ini keluar juga…

  • cK
    December 8, 2013 at 6:30 pm

    Aku speechless mocone 😐

  • Anggara
    December 9, 2013 at 9:34 am

    spicles bacanya….

  • nicowijaya
    December 9, 2013 at 1:51 pm

    potret realitas yang ada saat ini… 🙂

  • gurukecil
    December 9, 2013 at 2:56 pm

    A nice piece of writing… (mudah-mudahan bukan) pengalaman pribadi…

  • dewi
    December 9, 2013 at 4:21 pm

    merinding membaca endingnya..
    cerpen yang menarik 😉

  • oelpha
    December 9, 2013 at 4:23 pm

    Ini sutradara yang mana ya? Bintang film yang mana? Trus apa kabar si mbak asisten?

  • arpia
    December 9, 2013 at 4:44 pm

    Keji ya…

  • Swastika Nohara
    December 10, 2013 at 10:27 am

    Hmmmm…. Kayaknya aku pernah…. *sinyalilang

  • budhi
    December 10, 2013 at 9:15 pm

    pada bagian akhir diceritakan air mata mbaknya menetes. pertanyaannya.., air mata sang sutradara menetes juga nggak ya…?
    Dengan menyitir ucapan ustadz Emha, tersirat (atau tersurat?) sang penulisa mempersalahkan mbaknya. si mbaknya sudah tidak punya kehormatan dan harga diri lagi. Nah lo…….., enak bener ya jadi laki2….
    sementara sang sutradara kehormatan dan harga dirinya bisa jadi malah meningkat ya….?
    atau malah hal tsb termasuk masalah remeh temeh bagi sang sutradara? jadi sama sekali ga masuk di memorynya…, lewat begitu saja. sebagaimana layaknya orang setiap kali habis kencing…? ada perasaan lega setelah kebelet kencingnya telah tersalurkan…..
    segitu aja mas?

  • Sarah
    December 10, 2013 at 10:41 pm

    Wah Mas Budhi, jangan emosi..ini khan cerita si perempuan, nanti cerita si sutradara, nanti kita tunggu selanjutnya

  • Sarah
    December 10, 2013 at 10:41 pm

    Wah Mas Budhi, jangan emosi..ini khan cerita si perempuan, nanti cerita si sutradara, nanti kita tunggu selanjutnya

  • Tyas
    December 11, 2013 at 2:27 am

    Wah Mas, sutradara disini bukan kamu kan ya? hehe

  • Yenni
    December 11, 2013 at 9:15 am

    Menunggu cerita versi mas Sutradara, supaya “berimbang” (eh kok jadi kayak berita koran ya…*mikir*)

  • kunderemp
    December 17, 2013 at 11:26 am

    Jadi apakah si asisten produksi harus rela disalahkan sebagai ‘perempuan yang tak bisa menjaga diri’?

  • edratna
    December 23, 2013 at 6:39 am

    Menunggu tulisan mas Iman ini…
    Ahh Pariyem….
    Jadi salahkah asisten produksi karena tak bisa menjaga kehormatannya? Namun passion dia tetap di bidang itu, yang setiap kali akan ketemu mas sutradara.

  • ibas
    October 10, 2023 at 9:10 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*