Megawati dan Indonesianya

Surat kabar halaman pertama ‘ Suara Merdeka ‘ yang terbit di Tasikmalaya 15 Juli 1947 terdapat iklan sebagai berikut,
“ Alhamdulillah. Dengan berkat Toehan, telah lahir pada kamis malam Djoem’at 23/24 Januari 1947 di Gedoeng Presidenan : Adiknya Moehammad Goentoer Soekarno Poetra. Kami beri kepadanya nama : Dyah Permata Soekarno Poetri alias Megawati Satyawati. Terima kasih kami oetjapkan kepada Prof. Dr. Raden Sarwono Prawirohardjo, Dr R Soeharto dan djoeroerawat Ny. Nani Soeradiatmadja “

Iklan yang terlambat 6 bulan itu, tidak dibuat oleh Bung Karno sendiri. Iklan itu merupakan spontanitas pers atas rasa suka cita kelahiran putri sang Presiden, yang menunjukan kecintaan rakyat terhadap pemimpinnya.

Banyak yang menyangsikan kepemimpinannya, bahkan kerap diejek karena selalu diam. Kolumnis Rosihan Anwar pernah menyindir dengan membuat analogi patung Sphinx di Mesir, yang diam duduk mematung. Namun sejahrawan Asvi Warman Adam menyaksikan dalam Konggres III PDIP di Bali tahun 2010, dimana Megawati mampu bicara dengan bersemangat tanpa teks selama 2 jam penuh. Isi pidatonya menarik dan mampu membakar massa. Secara romantis, Prof Asvi menggambarkan, ‘ Saya seakan menyaksikan Soekarno hidup kembali dalam gema lantang Megawati ‘

Barang kali tidak ada pemimpin paska reformasi yang memiliki pengalaman hidup seperti Megawati. Ia diam menekan perasaannya, ketika diperintahkan ayahnya untuk menyiapkan nasi goreng buat mahasiswa mahasiswa yang menghadap Soekarno. Bagaimanapun ia tahu, para mahasiswa ini sedang berusaha menjatuhkan ayahnya. Setelah kejatuhan ayahnya, secara tragis ia juga harus menanggung konsekuensi sebagai anak Soekarno. Ia dipaksa keluar dari kuliahnya di Universitas Padjajaran.

Semasa orde baru, partainya di intervensi secara vulgar oleh rezim Soeharto. Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan titik balik bagi Megawati. Namanya dipuja puja oleh rakyat kecil dan menjadi simbol yang dizalimi. Tahun 1999 partainya memperoleh lebih dari 30 % suara, sehingga melapangkan jalan menjadi Presiden. Namun terjadi penolakan dari sebagian kalangan Islam terhadap Presiden perempuan.

Lebih dari itu pusaran politik yang terjadi, membuat dia ‘ dikerjai ‘ kembali oleh pemimpin pemimpin partai politik lainnya, sehingga analogi partai pemenang pemilu harusnya layak menjadi penguasa ( baca : Presiden ) tidak terjadi. Megawati harus legowo menjadi wakil Presiden saja. Padahal protokoler sudah membuat simulasi pelantikan Megawati sebagai Presiden, karena dianggap bakal terpilih. Baru ketika Gus Dur dimakzulkan, Megawati menjadi Presiden tanpa penolakan lagi. Ini menghancurkan mitos bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, apalagi Presiden di Indonesia.

Megawati juga membuktikan komitmennya terhadap NKRI. Pada bulan Januari 2000, selama beberapa hari Mega datang ke wilayah pertikaian antarkelompok agama di Maluku Tenggara, Ambon, dan Ternate. Dengan meneteskan air mata, berkali-kali Mega menyerukan, ”Saya sebagai ibu meminta, hentikan pertikaian ini. Pertikaian ini kalau berjalan terus akan memusnahkan satu generasi.” Banyak hadirin ikut meneteskan air mata saat itu.

Awal Maret 2001, Mega datang ke wilayah kerusuhan etnis di Kalimantan Tengah. Ia mendatangi tempat pengungsian orang-orang yang menghindari kerusuhan di kota Sampit. Ribuan orang tinggal di tenda-tenda darurat di sebuah lapangan. Hanya ada tiga WC atau jamban darurat di tempat pengungsian itu. Maka, banyak tinja berserakan di tempat tersebut. Aroma bau kotoran manusia sangat menyengat. Mega berjalan masuk ke wilayah itu tanpa memedulikan sepatunya yang menginjak kotoran manusia yang berserakan di tempat tersebut. Air matanya berlinang ketika ia membelai-belai para ibu-ibu, anak-anak, dan orang tua di tempat seperti itu.

Megawati dianggap berjasa menyelenggarakan pemilu secara aman dan damai tahun 2004, karena untuk pertama kalinya pemilihan Presiden secara langsung dalam sejarah Indonesia. Banyak yang menganggap Megawati kurang piawi dalam manajemen politik, sehingga ‘ dikerjai ‘ oleh militer ketika pusat memutuskan menyerbu Aceh. Bahkan dalam setelah kegagalan pemilu 2009, sekali lagi ia memilih konsisten memilih berada di luar Pemerintahan.
Prestasi ini bisa dilihat dalam perjalanan partai ini (PDI-P), dua kali jadi partai oposisi dengan menampilkan tema partai yang ideologis dilaksanakan secara konsisten, disiplin, kepada kader-kadernya sehingga PDI Perjuangan bisa melewati masa-masa kritis.

Bagi kalangan partai, hampir tidak mungkin memajukan nama lain selain Megawati dalam bursa ketua umum di Kongres Bali mendatang. Ini yang dilupakan oleh kalangan eksternal yang semata melihat memilih Megawati, sebagai tanda kegagalan regenerasi di Partai Banteng. Mereka kalangan kelas menengah dan aktivis social media yang tidak memahami kultur dan semangat kebatinan dalam kader dan akar rumput PDIP.

Timeline di social media terus bergemuruh menyuarakan, bahwa dengan masih bertahannya Megawati sebagai tanda kemandekan demokrasi, dengan bertahannya elit oligarki. Sementara di kalangan partai sendiri, saat ini tanpa Megawati artinya partai berpotensi terpecah belah.

MEGAWATI RALLYPDI Perjuangan memiliki wong cilik yang tidak paham internet. Mereka adalah grass-root yang secara konsisten menjadi lumbung suara partai. Adagium‘ Pejah gesang nderek Bu Mega ‘ sebagai pengejawantahan ‘ Surgo nunut, Neroko Katut-nya Bung Karno. Bagi mereka Megawati adalah tokoh karismatik yang menjadi simbol sekaligus pemersatu partai. Fenomena ini tidak hanya di Indonesia, ketika darah biru menjadi syarat utama. Di India sampai sekarang, darah biru Indira Gandhi menjadi penentu dalam partai Kongres. Bahkan di Amerika, keturunan Kennedy menjadi keuntungan tersendiri dalam partai Demokrat.

Profesor riset di LIPI, Syamsuddin Haris pernah menyebut ‘ Primus Interpares ‘ , sosok yang tidak hanya mempersatukan berbagai unsur yang beragam, tetapi menjadi sumber legitimasi bagi partai itu sendiri. Belum terbayangkan oleh segenap kader PDI Perjuangan, apa yang terjadi seandainya Megawati tidak bersedia menjadi ketua umum kembali. Hal yang sama mungkin terjadi pada SBY di Partai Demokrat atau Prabowo di Gerindra.
Mau tidak mau, gambaran semacam itu yang menjadi realitas partai politik di negeri kita.

Memilih kembali Megawati merupakan kesepakatan untuk mempertahankan soliditas di internal partai. Dianggap demokrasi atau tidak, sampai saat ini belum ada figur seperti Megawati yang mampu membuat solid PDI Perjuangan. Kepemimpinan Megawati yang membuat PDIP tidak pernah digoyang perpecahan seperti partai partai lain. Megawati juga bukan tipekal orang yang membuat polemik dengan penentangnya di media massa. Dia membiarkan orang membully bahkan memfitnahnya, tanpa harus memberikan klarifikasi secara langsung. Begitulah Ibu Mega, kata orang PDIP sendiri tak pernah membalas serangan yang dilakukan adiknya, Rachmawati. ” Biarkan saja Rachma, dia adik saya “.

Ada kisah menarik tentang Bu Mega yang tak pernah perduli dengan uang gajinya. Saat ia menjadi anggota DPR jaman orde baru, ia tak pernah mengambil gajinya dan tunjangan lainnya. Uang itu justru diambil staff kepercayaannya dan disimpan didalam brankas selama bertahun tahun. Ketika memasuki masa kampanye setelah reformasi, Megawati diberitahu bahwa ia masih memiliki uang simpanan yang bisa dipakai untuk biaya kampanye. Namun uang itu sudah tidak laku, karena sudah terlalu lama disimpan sehingga biro iklan yang menerima uang itu harus menukarkan terlebih dahulu ke Bank Indonesia.

Megawati juga tak ragu mengambil cincin perhiasannya dan memberikan kepada team kampanye PDIP yang kesulitan uang. Kisah ini juga diceritakan seorang wartawan senior Majalah Tempo kepada saya saat kami mengikuti bersama Megawati, terbang keliling Indonesia saat kampanye 2014.

Bagi pendukungnya wong cilik, akar rumput massa PDIP, ada motto ‘ pejah gesah nderek Bu Mega ‘. Bagi mereka yang tidak mengenal social media dan gadget. Serangan terhadap Megawati merupakan serangan terhadap ideologi mereka. Ini bisa menjelaskan sejarah panjang PDIP termasuk aksi aksi pendukungnya yang fanatik sampai fenomena jempol darah di masa silam.

Ketua umum PDIP ini yakin dengan kesetiaan akar rumputnya, sehingga tak pernah kuatir jika penentangnya keluar mendirikan partai baru. Roy BB Janis dan Laksmana Sukardi dengan Partai Demokrasi Pembaruan, Eros Djarot dengan PNBK atau Dimyati Hartono dengan PITA. Sejarah membuktikan bahwa partai partai sempalan PDIP, tak pernah bisa bertahan dalam pemilu di Indonesia.

Rosihan Anwar barangkali salah. Diamnya Megawati adalah kegelisahannya melihat Indonesia. Dengan keterbatasan dan kekurangannya, tak ada yang meragukan kecintaannya pada negerinya yang majemuk ini. Para kaum nasionalis yang curiga terhadap golongan sektarian, setidaknya menyandarkan harapannya pada komitmen kebangsaan Megawati.
Barangkali ini juga mengapa dia harus mengutip puisi ciptaanya ayahnya sendiri dalam pembukaan Kongres IV PDIP kemarin di Bali

‘Aku Melihat Indonesia’.

Jikalau aku melihat gunung gunung membiru,
Aku melihat wajah Indonesia;
Jikalau aku mendengar lautan membanting di pantai bergelora,
Aku mendengar suara Indonesia;

Jikalau aku melihat awan putih berarak di angkasa,
Aku melihat keindahan Indonesia;
Jikalau aku mendengarkan burung perkutut di pepohonan,
Aku mendengarkan suara Indonesia.

Jikalau aku melihat matanya rakyat Indonesia di pinggir jalan,
Apalagi sinar matanya anak-anak kecil Indonesia,
Aku sebenarnya melihat wajah Indonesia.

You Might Also Like

4 Comments

  • Denmas Totok
    April 10, 2015 at 11:48 am

    mas Iman,
    sekedar masukan, kata ‘paska’ pada alinea-4, sepertinya bukan kata baku KBBI, yang benar adalah ‘pasca’ .. cara membacanya pun “pas-ca” bukan “pas-ka”.

    hehhe.

  • Enny
    April 26, 2015 at 9:26 am

    Tulisan mas Iman yang selalu menarik.
    Walau bagaimanapun, perlu disiapkan kader untuk generasi mendatang……meski kualitasnya tak akan sama dengan Megawati.

  • fatra
    April 29, 2015 at 6:05 am

    izin share mas

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:37 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*