Martir Martir Reformasi

Tepat sepuluh tahun yang lalu. Saat itu ibu pertiwi sedang hamil tua. Kesakitan dan prihatin. Konon Presiden Soeharto sudah diminta penasehat terdekatnya untuk tidak meninggalkan Jakarta menuju Mesir untuk menghadiri konperensi G- 15 di Cairo. Tapi ia bersikeras dan percaya bahwa pembantunya – terutama intel dan militer – bisa mengatasi situasi yang terus meruncing. Bentrokan mahasiswa dengan militer semakin sering terjadi. Hari yang sama ketika Moses Gatutkaca terbunuh dalam peristiwa Gejayan .
Sementara itu, perusahaan rekaman Warner terus menelpon saya. Menanyakan hasil syuting.
“ Bagaimana kita masih meneruskan editingnya ? “ desaknya.
Saat itu saya terus dikejar kejar kapan mulai mengedit Kris Dayanti untuk video klipnya ‘ Menghitung hari ‘. Saya tidak bisa berpikir jernih. Karena pikiran terus berkelebatan melihat iring iringan para mahasiswa berarak arakan di sepanjang jalan ibu kota.
Boss besar di kantor, memberi tahu kalau para jurnalis TV dari luar negeri sudah berdatangan dan meminta saya mengatur production service buat kepentingan mereka. Dari seorang sahabat, Tino Saroengalo – sutradara film dokumenter Student Movement in Indonesia 1998 – terus memberitahu hidupnya yang semakin sulit. Terus dibuntuti intel karena kegiatannya yang melakukan catatan dokumentasi dari kampus ke kampus.

Terus terang saya merasa iri dengan adik adik mahasiswa tersebut. Menyesal kenapa tidak hidup dalam jamannya. Bergelora dalam sebuah magma revolusi. Sesuatu yang akrab dinamakan Gerakan Reformasi.
Lihat saja seorang Rama Pratama, sang ketua BM – Universitas Indonesia yang dengan cerdas di mimbar mimbar dan televisi menyuarakan perubahan sistem politik Indonesia. Terharu dengan betapa militannya para mahasiswa sang pendobrak. Mereka sesungguhnya sang Rajawali sebagaimana gambaran dalam salah satu puisi WS Rendra.

Konon ketika pesawat yang membawa Presiden Soeharto lepas landas meninggalkan Jakarta, seberkas cahaya hijau melesat juga dari Ndalem Kalitan. Hilang di gelapnya malam. Soeharto telah kehilangan wahyu cakraningratnya. Begitu penerawangan ahli klenik dan kebatinan. Saya tak perduli, Yang saya tahu hari itu jalan menuju tempat saya mengedit di bilangan kedoya Jakarta Barat sungguh dipenuhi iring iringan kendaraan militer.
“ Trisakti sedang ramai mas “. Editor saya menjelaskan ketika saya mengeluh karena harus memutar jauh menghindari kemacetan. Selanjutnya hanya suara Kris Dayanti yang empuk terus menemani dalam ruangan dingin tempat kami bekerja, sampai datang berita. Tino yang sedang berada di lokasi Trisakti menelpon. Mahasiswa di tembak oleh militer.
Dari tempat kedoya terlihat langit mulai merah di kejauhan. Orang orang berlarian di jalanan. Suasana makin mencekam. Saya memutuskan meninggalkan ‘ Kris Dayanti ‘. Beberapa teman tidak berani pulang ke rumahnya, akhirnya saya mengantar mereka menginap di rumah teman di bilangan Rawamangun.

Demikianlah berita keesokan harinya di surat kabar membahas peristiwa Trisakti .
Empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, tewas terkena peluru tajam yang ditembakkan aparat keamanan sewaktu terjadi aksi keprihatinan ribuan mahasiswa yang berlangsung di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, Selasa (12/5). Para mahasiswa itu tertembak sewaktu berada di dalam kampus oleh berondongan peluru yang diduga ditembakkan oleh aparat yang berada di jalan layang Grogol . Nama para korban adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur, angkatan 1996), Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, angkatan 95) luka tembak di punggung, Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, angkatan 96) luka tembak di pinggang, dan Hafidin Royan (Fakultas Teknik Sipil, angkatan 95) luka tembak di kepala.

Menurut Fadli Zon malamnya Kapolri Dibyo Widodo dipanggil Pangab Jendral Wiranto di rumah dinasnya Jalan Denpasar. Ia hanya sebentar disana karena sambutan yang tidak mengenakkan. Wiranto mengenakan jaket – bermuka masam – menyemprot Kapolri.
“ Lu ngerti nggak itu ada yang mati ? “
“ Segera Usut “

Kelak Kapolri diganti karena begitu beratnya tekanan serta juga menolak tudingan karena Polisi yang menembak mahasiswa. Beberapa elite serta Komnas HAM mengarahkan tudingan kepada Prabowo. Sampai sekarang kasus tersebut masih tidak terungkap. Beberapa bulan kemudian dalam peristiwa berdarah Semanggi yang merenggut nyawa mahasiswa UI Yun Han. Saya dan beberapa teman – berbekal kartu pers Jakarta Media Syndication – terjebak diantara median Jalan raya Sudirman. Ditengah tengah pertempuran ABRI dan Mahasiswa di depan Kampus Universitas Atmajaya. Brutal dan mengerikan. Jelas tidak seimbang.
Bagaimana mungkin orang yang dididik untuk perang, disuruh negosiasi menghadapi pelajar. Bagaimana mungkin mental psikologis para prajurit lapangan bisa tahan menghadapi provokasi mahasiswa.
Ketika komandan mereka berteriak. “Siap posisi ! “
Dalam sekejab letusan senjata, dengan caci maki. “ Anjing lu mahasiswa “ , “ Bangsat “. Merangsek, menembaki dan mengayunkan pentungan dengan buasnya. Beberapa mahasiswa yang terjebak di semak semak belakang pom bensin Semanggi harus babak belur dihajar beramai ramai tentara yang mungkin baru pulang dari Timor Timur.

Kembali ke tanggal 13 Mei, suasana masih mencekam. Saya harus ke kantor, beberapa kesibukan disana terutama bagian keuangan. Mereka mengumpulkan file, buku cek dan uang dari brankas. Bergegas memindahkan ke kantor pusat. Karena perusahaan ini milik Hasjim Djojohadikusumo – adik Letjen Prabowo Subianto – mungkin mendapat masukan betapa gentingnya situasi saat itu.
Setelah berbicara dengan boss untuk meliburkan karyawan,saya menuju Universitas Trisakti untuk bergabung dengan teman teman lain menghadiri mimbar bebas, sesuai mengantar pemakaman Elang Lesmana. Ternyata di jalan tol di depan perempatan Tomang saya melihat asap tinggi membumbung. Beberapa truk sudah terguling dan terbakar. Mobil mobil dijalan tol rebutan berbalik arah, tak peduli bahwa ini jalan searah. Mobil saya oleng ditimpuki batu oleh massa yang berkerumun di pinggir jalan.

Handphone saya berdering.
Teman jurnalis asing mengabarkan terjadi penjarahan dan anarkis di beberapa tempat. Perasaan saya tidak enak. Saya menelpon rumah ibu menanyakan situasi disana, karena rumah ibu tepat dibelakang Pusat Perkulakan Goro – kebanggan milik Tommy Soeharto – di Jalan raya Pasar Minggu.
Ternyata belum terjadi huru hara disana. Esoknya baru pusat perdagangan ini dijarah dan dibakar habis. Sementara ibu masih di Blitar, bersama pinisepuh lainnya berada di petilasan Soekarno.

Hari itu tercatat sebagai awal kelabunya sejarah kemanusiaan bangsa ini. Ketika selama 3 hari Jakarta menjadi kota tanpa hukum yang anarkis. Chaos dan mencekam. Ketika manusia manusia tak berdaya terpanggang dalam api yang membangkar toko atau gedung tempat mereka bekerja. Mobil dan bangunan dibakar massa. Orang orang menjarah, membunuh dan memperkosa.

Saat Soeharto masih di Cairo, ia berbicara tentang kemungkinan mundur dari jabatannya. Siapa yang menyangka bahwa sepuluh tahun silam – tahun 1988 – ia berbicara dengan Donald W Wilson Rektor Universitas Pitsburg, AS yang mengunjungi.
“ Beri tahu saya, menurut anda, berapa lama lagi saya harus berkuasa “
Demikian penuturan Donald dalam bukunya ‘ The Long Journey from Turmoil to Self-Sufficiency ‘.
Sebuah pertanyaan yang sama masih terngiang dalam versi yang berbeda. Berputar putar di kepala manusia manusia Indonesia yang bermimpi untuk sebuah masa depan yang jauh lebih baik. Kemakmuran.
“ Berapa lama lagi negeri ini masih bisa bertahan ? “
Sepuluh tahun yang lalu reformasi digulirkan dari semangat dan darah mahasiswa. Saya selalu percaya mahasiswa itu bagaikan pembela kebenaran dalam film film koboi. Mereka memasuki kota yang yang dikuasai penjahat dan menembakinya. Lalu pergi lagi berkelana menuju daerah lain. Selalu membela yang benar dan tidak mau terikat di satu kota.

Lalu bagaimana mereka mahasiswa yang kini yang tersandera, terikat dalam sebuah bagian kekuasaan ? Rama Pratama sudah menjadi anggota DPR dan beberapa pemimpin mahasiswa lainnya masuk dalam partai politik dan kekuasaan. Apakah mereka masih menyuarakan semangat sepuluh tahun yang lalu ?. Ketika mereka justru melihat reformasi berjalan tanpa arah yang jelas.
Soe Hok Gie pernah menulis, bahwa ia tak percaya kepada mereka yang tadinya idealis dan masuk kedalam kekuasaan. Bagaimanapun ia pasti tergilas masuk dalam sistem itu sendiri. Pendapat itu bisa benar dan bisa juga salah. Yang jelas mereka yang sudah nyaman duduk di kekuasaan dan parlemen yang dulu mereka tumbangkan, hanya bisa berkata.
“ Im not an idealis anymore, just a bitter realist
Mungkin kita harus realis bahwa tidak ada yang peduli dengan semua ini. Siapa yang masih ingat darah para martir terdahulu. Lebih baik berpikir realis bagaimana caranya menjadi bintang idola dalam mimpi mimpi kontes idol. Bukankah menjadi Kris Dayanti lebih dikenang daripada seorang Elang Mulyana.
Terus terang saya ingin menangis untuk negeri ini.

o, kusuma bangsa
engkau mati muda
sebagai martir
menghadang pongahnya kemapanan dan kerakusan
menentang segala tipu daya dan kemunafikan
kauikhlaskan segala harap dan apa yang engkau punya
demi tanah air dan rakyat yang papa

pendekar reformasi
desah nafas terakhirmu
adalah api yang mengganggang semangat perjuangan suci
enyahkan kelaliman dan angkara murka
tegakkan kemerdekaan
tegakkan keadilan

pahlawan muda
selamat jalan
beserta doa tulus kami

Sebuah puisi dari Aryaguna, pada 13 Mei 1998
Photo : Indonesia in Soeharto’s years

You Might Also Like

72 Comments

  • zam
    May 9, 2008 at 1:23 pm

    eh..

    ini soal Mei 98 yah?

    saya masih SMP!!!

    dan saya merasakan benar situasi mencekam kerusuhan di SOLO..

    bulu kuduk langsung merinding setelah baca postingan ini, mas..

  • dee
    May 9, 2008 at 1:29 pm

    hah..jarang2 baca blog ini belum ada yg komen :p

    saya ada di pekanbaru 10 tahun silam, baru lulus SMA, n baru dapat surat tanda telah diterima jadi mahasiswa UI..
    ketika menginjakkan kaki di kampus, masih terasa semangat2 reformasi n diskusi2 di kantin yang seru dan inspiratif..
    sekarang..(kata teman2) pemandangan di kantin adalah insan2 berlaptop n sibuk berselancar di dunia maya..

    ga nyambung ya mas hehehehe..

    takziah untuk mereka yang telah berkorban dan mengantarkan reformasi ini..
    mudah2an yang dulu berteriak2 pake toa n sekarang pake jas di senayan itu tetap ingat dengan semangat 98-nya suatu ketika dahulu..

    -hidup semakin berat-

  • Doohan
    May 9, 2008 at 1:50 pm

    Tapi saya masih sependapat dengan Gie…

  • Hedi
    May 9, 2008 at 1:53 pm

    negeri ini malah baru puber, mas…ibarat gadis baru akil baliq, masih banyak darah yg keluar. jadi, mungkin yg model begitu masih akan ada lagi (saya sih berharap enggak)

    *era 98 saat mahasiswa mulai demo di luar, jaman saya cuma demo di dalem kampus* hehehe

  • iway
    May 9, 2008 at 2:19 pm

    jadi inget demo-demo kelilingan jalan kaki waktu itu, ternyata lumayan capek jalan panas-panas sambil teriak-teriak

  • andrias ekoyuono
    May 9, 2008 at 2:33 pm

    waktu itu saya baru lulus sma
    pertanyaan saya, apakah benar kita hanya bisa kritis bila berada diluar kekuasaan ?

  • Goenawan Lee
    May 9, 2008 at 2:36 pm

    Saya masih SD saat itu…. belum tahu banyak hal. Terdiam di sudut rumah. Mengharap keselamatan papa yang berjaga di depan rumah…halaaah..

  • Erwin Baja
    May 9, 2008 at 2:40 pm

    Sepuluh tahun lalu saya masih di Bandung , Mas…masih satu pendengar setia di antara ratusan orang yang mendengarkan mimbar bebas di kampus dan nyaris ikutan berangkat ke Jakarta bersama2 mahasiswa2 Bandung lainnya di awal-awal Mei 1998..

    Kalo diingat2 rasanya aneh juga bahwa kerusuhan di Jakarta seolah tidak menyentuh kamar kostku di Bandung, rasanya malah jadi semacam amnesia, tidak banyak yang teringat dari periode itu…

  • Totok Sugianto
    May 9, 2008 at 2:50 pm

    tetap semangat saja mas… pasti ada perubahan ke arah yg lebih baik asal kita mau untuk berubah

  • Yeni Setiawan
    May 9, 2008 at 3:01 pm

    There’s no hope for Indonesia kecuali Tuhan ikut Pemilu 2009.

    Ya, saya akan selalu meminta agar Tuhan ikut Pemilu 2009 karena saya tak melihat adanya petinggi politik yang layak memimpin negara ini.

  • danalingga
    May 9, 2008 at 3:26 pm

    Benar-benar menyedihkan. Sepertinya pengorbanan para martir seakan tidak berarti apa-apa, ketika hidup semakin susah. Hanya seberkas harapan bahwa kedepan memang akan ada kabar baik itu.

  • D'ta
    May 9, 2008 at 3:28 pm

    Kejadian mei ’98 itu…
    memberikan kenangan yang “indah” bagi saya dan keluarga…
    teringat……..
    bagaimana mereka membakar “toko” kami…
    kakak laki-laki saya yg hampir mati digebukin massa…..
    bahkan kakak perempuan saya yg diperlakukan tidak senonoh……..
    untuk pertama kalinya saya…….. memakai kain yg menutupi rambut saya……selama berhari-hari….
    untuk pertama kalinya saya……..berlari dgn sekencang-kencangnya sekencang yg saya bisa,
    menghindari keributan masa…..hingga ada seseorang yg menolong saya….
    masih teringat nafas yg tersenggal-senggal memanggil nama satu-satu seluruh anggota keluarga…
    air mata ini serasa sudah habis……..
    ya memang semua sudah hampir habis……..
    harta…keluarga……..
    dan hanya kerelaan dan keikhlasan yg ada……..
    untuk dapat bertahan dikemudian hari ………..

  • mitra w
    May 9, 2008 at 3:33 pm

    bener2 persitiwa yang mencekam…

  • Alex
    May 9, 2008 at 4:09 pm

    ijinkan aku bersenandung disini mas.

    AWAN

    aku terpekur di sudut dinding ini
    aku tak habis pikir dengan nasib anak negeri ini
    aku termenung melihat tingkah polah pejabat negeri ini
    aku menangis mengenang perjuangan kawan-kawanku ini

    masih segar dalam ingatan
    ketika kami melawan tiran
    dan ia berakhir tumbang

    kini apa daya
    perjuangan itu di anggap tidak ada
    ah…biarlah saja Tuhan yang Maha tahu segalanya
    dan memang kami tak mengharap apa-apa
    karena perjuangan itu mulia
    lahir dari hati dan jiwa-jiwa baja

    namunkini aku menerawang menatap masa depan
    masa depan bangsa yang semakin suram
    suram karena di tutup awan
    awan keangkuhan
    awan kesombongan
    awan yang menyeramkan
    bukan awan yang memberi harapan
    yang menandai akan hujan

    sedih
    pilu
    miris
    oh…….balada negeriku

  • Alex
    May 9, 2008 at 4:14 pm

    thanks mas Iman sudah memberi ruang atas syair ini.
    syair ini terkhusus buat Martir-martir Reformasi.

  • didut
    May 9, 2008 at 4:16 pm

    sy waktu itu ke bogor dr pasar minggu…msh teringat waktu pagi rmh-rmh itu msh berdiri damai tetapi kenapa sewaktu pulang rmh2x teman saya sudah rata dengan tanah *kelu*

  • fertob
    May 9, 2008 at 4:19 pm

    Saya turut “menikmati” betapa ganasnya Glodok dijarah. Asap kebakaran menjulang dari mana-mana. Dan sempat ditawari handphone jarahan oleh seorang tukang becak, “itu mas, masih banyak disana, ambil saja….” 😐

    Itu peristiwa terkelam yang pernah saya temui. Masih mahasiswa saat itu, tapi tidak turun ke jalan. Hanya mensuport lewat bantuan logistik dan keuangan buat teman-teman yang turun ke jalan. Saya bangga mengenakan jaket kuning, tapi pasti sangat malu jika memakai baju loreng sambil menembaki mereka yang berteriak “Reformasi”.

    Peristiwa itu tak akan pernah terlupakan.

  • Epat
    May 9, 2008 at 5:36 pm

    haruskah darah itu tertumpah untuk memperbaiki negeri ini, lagi?

  • Nazieb
    May 9, 2008 at 6:22 pm

    Yeah, sometimes i think I’ve been so skeptic to this nation 😥

  • Helene
    May 9, 2008 at 7:26 pm

    Baru 2 hari yl, saya ngobrol teman saya seorg berkebangsaan Syiria ttg di mana keberadaan Prabowo atopun apa yg terjadi dan siapa di balik kejadian Mei 1998. Dan begitu banyak org asing yg tahu siapa dalang di balik kejadian tsb.

  • sluman slumun slamet
    May 9, 2008 at 8:52 pm

    seorang aktivis siang harinya berteriak-teriak menolak pembangunan mall eh, malamnya di konkow dengan pacarnya di dalam mall ituh….
    halahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh……………
    ehm, saya mau posting tentang ini lho… tunggu saja tanggal mainnya!
    :d

  • Anang
    May 9, 2008 at 8:54 pm

    untuk meraih kemerdekan selalu butuh perjuangan.. dan semoga perjuangan mereka yang telah mendahului bisa menemukan jalan kemerdekaan bagi kita.. amin! kemerdekaan dari belengu kemiskinan dan keterpurukan.. moral dan spirituil dan materiil…

  • Fadli
    May 9, 2008 at 9:59 pm

    semoga arwah para pahlawan reformasi diterima di sisiNYA..

  • Rystiono
    May 9, 2008 at 11:19 pm

    Wah, saya malah masih mo lulus SD tuh tahun segitu…

    Yang saya tau dulu cuma harga2 melambung tinggi dan bapak saya bangkrut…

    ^_^

  • edratna
    May 9, 2008 at 11:50 pm

    Jadi ingat komentar teman-teman…”Sayang kita kecepetan lahir…nggak bisa ikutan demo”

    Saat itu tiap hari harus siap pulang cepat, kantor saya persis di depan Atmajaya, jadi kalau udah situasi mulai ada tanda-tanda bakalan rame, saya memulangkan anak buah satu demi satu biar nggak mencolok, dan di Divisi tinggal saya, wakil saya, dan dua staf yang kostnya di daerah Benhil. Jam 3 sore, Direktur menilpon agar anak buah dipulangkan tapi tak boleh rame-rame…dan waktu saya jawab, bahwa tinggal berempat, beliau kaget juga…habis anak buah saya rumahnya di Bekasi, Tangerang…karena banyak juga yang terjebak tak bisa pulang, dan akhirnya membongkar meja teman-temannya siapa tahu ada kue simpanan. Dan banyak juga yang terkunci di ruangan tanpa bisa keluar….maklum kejadian demo terjadi dijalan depan kantor saya.

  • Nayantaka
    May 10, 2008 at 12:31 am

    speechless…

  • leksa
    May 10, 2008 at 3:32 am

    mereka yang bertarung dalam Gerakan Reformasi saja bisa berputararah seperti itu,..
    ah jangan mereka, .. yang puluhan tahun dulu menumbangkan soekarno, sekarang malah the Big boss nya segala carut marut..

    melihat 2 kondisi realis di 2 zaman itu,.. makanya saya selalu wajar berucap buat rekan2 yang gila teriak2 di angkatan saya.. “Silahkan jilat ludah mu jika kau rasa sudah cukup enak rasanya..”

  • Arif
    May 10, 2008 at 8:37 am

    Setuju dengan Leksa. Aktivis Angkatan66 juga banyak yang matanya silau dengan kekuasaan. Mereka masuk ke dalam sistem. Alih-alih memperbaiki sistem, mereka malah larut ke dalam sistem yang ada.

    Apakah aktivis Reformasi yang menjadi anggota DPR akan begitu juga? Hmm, kita lihat saja kiprah Rama Pratama.

    Pada tahun 1998 itu saya ingat seseorang bernama Faisal Assegaf yang menantang kami anak-anak Tangerang untuk pergi ke Istana Negara. Dia bilang akan di sana juga. Saya bilang kepada teman-teman untuk tinggal di Tangerang saja. Ternyata ada salah seorang teman yang pergi ke Istana Negara dan Faisal Asegaf tidak ada di sana. Konon Faisal Asegaf ini pula yang menantang anak-anak Trisakti untuk turun ke Jalan. Tadinya mereka hanya berdemo di dalam kampus. Mendengar tantangan Faisal Asegaf, anak-anak Trisakti menghambur ke jalan.

    Pada saat mundurnya Soeharto, Faisal Asegaf dan Forkot merebut podium di depan Gedung MPR/DPR Senayan. Kami yang lebih dulu di sana selama berhari-hari akhirnya mengalah dan pindah ke masjid di belakang. Forkot tadinya menolak untuk bergabung di Senayan. Eh, begitu Soeharto mundur, mereka merangsek ke dalam dan merebut podium seperti pahlawan kesiangan. Entah di mana sekarang Faisal Assegaf.

    Saya ragu, jangan-jangan nama itu hanya nama jadi-jadian. Kalau ada yang ingat dengan anak Forkot yang merebut podium di Senayan setelah Soeharto mundur, itulah dia Faisal Asegaf.

  • Rafki RS
    May 10, 2008 at 8:55 am

    Apakah masih bisa dipercaya kalau begitu, jika ada yang berkata: “baktikan jiwa dan ragamu demi bangsa dan negara”. Apakah ucapan tersebut tidak berarti sama dengan: “serahkan nyawamu untuk membela kepentingan saya”. Memang sepertinya yang abadi itu cuma “kepentingan”.
    Yang saya sesalkan waktu itu adalah, dengan arogannya perguruan2 tinggi di Jawa mengirimi perguruan2 tinggi di seluruh Indonesia yang dianggap tidak bergerak turun ke jalan, dengan pakaian dalam wanita. Perguruan2 tinggi yang tidak ikut turun ke jalan itu dituduh tidak reformis. Bukankah tidak ikut turun ke jalan, juga merupakan sebuah sikap? Walaupun mungkin sikap tersebut berarti bahwa reformasi tidak selalu ditegakkan dengan turun ke jalan dan provokasi.

  • edy
    May 10, 2008 at 11:36 am

    anak Tehnik UI itu namanya Yun Hap bukan Yun Han, mas
    kalo inget-inget masa itu lagi dibanding sama keadaan skarang
    kok sepertinya banyak pengorbanan yang terasa sia-sia

    gas air mata, pentungan, sampe ngerebut perisai PHH
    desingan peluru di samping dari para sniper di atas gedung dan flyover
    malah mantan pacar saya terinjak-injak akibat panik setelah barisan di depan ngomong “atas nama undang-undang blablabla…” dilanjutin letusan senjata
    eh skarang malah jadi istri :mrgreen:

    seperti komen di atas, banyak yg berubah idealismenya setelah punya jabatan
    mungkin akan begitu seterusnya?

  • ChokY
    May 10, 2008 at 11:43 am

    It look’s like Neo on Matrix, Take the Red pill or Blue pill.
    The red pill you will see the thruth, or stay in the system for the blue pill.
    Only people that tkae the red pill can see what is really happening. And for people who take the blue pill they only can wonder why or just being silent.

  • Donny Verdian
    May 10, 2008 at 12:42 pm

    Mengena!
    Tulisanmu membuyarkan antrian tulisan yang hendak kupublikasikan di blogku dan jadinya aku harus merenung jauh sebelum menuliskan pengalamanku ketika ikut dalam Tragedi Gejayan, 10 tahun yang lalu.

    Dan ternyata, menuliskan sesuatu yang menyesakkan meski sudah silam itu berat ya.
    Anyway, thanks Kamerad! Sepertinya tidak ada tulisanmu yang tidak “ngampleng” 🙂

    Wangun!

  • trijokobs
    May 10, 2008 at 3:11 pm

    numpang ngucapin makasih dah buat rekan-rekan mahasiswa yg sudah menumbangkan Alm. SimBah. Elang Mulyana.. pantas untuk jadi Pahlawan Nasional.

    kondisi bangsa akhir-akhir ini semrawut.. tampaknya butuh lagi perjuangan mahasiswa dan rakyat.. tanpa harus ada yg jadi korban.

  • dilla
    May 10, 2008 at 3:28 pm

    adiknya elang lesmana itu, satu jemputan sama saya waktu smp dulu mas…:( jadi aku sering lewat rumahnya…

    ‘”hidup mahasiswa!”

  • wku
    May 10, 2008 at 3:31 pm

    saya masih ingat bagaimana kondisi jalan gejalan waktu itu… berantakan… pot-pot dan trotoar berserakan… ah…

  • aLe
    May 10, 2008 at 3:32 pm

    pada dasarnya manusia itu mahluk ‘eksistensialis’
    jd harap maklum jika kontes2 dinegeri ini smakin bnyk diminati,
    ingin berontak tp blm punya solusi,.
    ah,. aku msh sibuk dgn skripsiku saja deh 😀

  • alex®
    May 10, 2008 at 5:30 pm

    Tulisan yang bagus, Mas. Benar-benar merasa tercerahkan saya 🙂

    10 tahun yang lalu saya sendiri masih pelajar kelas 2 SMA, meski mengecapi juga bau asap itu di sini. Gaung reformasi di Aceh justru lebih lama daripada di Jawa sana. Karena itu saya masih mencicipi suasana demikian hingga tahun 2002. Dengan isu pertarungan daerah dan pusat.

    Ya, banyak pelajaran yang didapat. Pelajaran miris yang membuat saya condong bertanya: apa dulu bukan reformasi melainkan revolusi yang harusnya diusung?

    Bicara tentang pendapat Gie, saya tidak sepenuhnya setuju. Justru dengan adanya yang membusuk ketika masuk lingkaran kekuasaan, yang masih idealis bisa memilah siapa yang busuk dan siapa yang tidak. Yang idealis juga bisa mengukur seberapa idealis dirinya, dengan konsekuensi akan mendapatkan bumerang yang sama yang dulu pernah dilemparnya ke generasi diatasnya.

    Sekali lagi: nice post 🙂

  • sawali tuhusetya
    May 10, 2008 at 6:28 pm

    Pemuda dan mahasiswa memang sudah lama kita kenal sebagai motor perubahan pada setiap zaman. demikian juga ketika reformasi berlangsung di negeri ini 10 tahun yang silam. sayangnya, setiap perubahan harus selalu memakan “tumbal”!

  • andibachtiar yusuf
    May 10, 2008 at 8:17 pm

    masih percaya mereka yang disana itu memikirkan kita? masih percaya masuk ke dalam sistem adalah cara untuk meperbaiki keadaan? sebagai individu Indonesia memang tidak kalah dengan siapapun di dunia ini, tapi sebagai bangsa????? kok rasanya kita-kita ini bangsat semua ya?

  • alex®
    May 10, 2008 at 9:09 pm

    @ andibachtiar yusuf

    masih percaya mereka yang disana itu memikirkan kita? masih percaya masuk ke dalam sistem adalah cara untuk meperbaiki keadaan?

    Percaya sepenuhnya, bagi saya tidak. Bahkan saya tidak yakin bahwa saya sendiri, misalnya, akan termasuk yang teguh jika sudah di dalam sana.

    Tapi setidaknya saya menghargai mereka yang masuk ke sana, teguh dan kemudian terdepak. Saya menemukan ini dalam skala kecil di daerah saya. Saya kenal beberapa yang memang sudah mencoba tapi akhirnya di’bantai’ oleh yang lain.

    Ya… pada intinya, saya malah lebih condong bahwa seharusnya saat itu memang bukan reformasi yang digulirkan, tapi pemotongan satu generasi. Generasi tua.. CMIIW

    sebagai individu Indonesia memang tidak kalah dengan siapapun di dunia ini, tapi sebagai bangsa????? kok rasanya kita-kita ini bangsat semua ya?

    ….
    Mudah-mudahan tidak, Mas.

  • Silly
    May 10, 2008 at 11:49 pm

    Eh iya, saya masih gak bisa lupa tuh peristiwa trisakti waktu itu. Kami yg dari UI masih bertahan di beberapa titik ketika peristiwa penembakan itu terjadi… Awalnya teman2 di trisakti belum turun kejalan, tapi karena beberapa oknum anak2 yg cukup berada… bikin PETISI TRITURA ala mereka, yg salah satunya adalah, “TURUNKAN HARGA VELG”… membuat gerah mahasiswa2 lain, dan mulai menghina anak TRISAKTI sebagai mahasiswa yg manja.

    saya gak tahu lagi kelanjutannya, setelah sindir2 itu… karena yg saya tahu, hanya bahwa ada mahasiswa TRISAKTI yg tertembak. Dan hari itu, 12 MEI 1998 merupakan hari yg paling menyedihklan barangkali buat kita semua. Sampe sekarang kalo inget2 lagi masih suka sedih dech… padahal saya gak terlibat langsung, dan saya gak kenal dengan korban, tapi biar bagaimanapun mereka sudah berjasa bagi bangsa ini khan??? 😀

  • cK
    May 11, 2008 at 12:22 am

    pas kejadian itu saya masih smp. taunya sekolah libur dan gak bisa masuk sampe waktu yang belum ditentukan. tapi sedih pas denger ada banyak orag yang mati. dan saya baru tahu soal mei ’98 secara lengkap baru-baru ini saja.

    ah…saya jadi mikir, mau kemana negeri kita ini..

  • Mr. Brain
    May 11, 2008 at 2:55 am

    saat itu saya hanya terkenang satu hal.. “jangan bunuh saya, saya PRIBUMI MUSLIM” damn..

  • mpokb
    May 11, 2008 at 8:48 am

    tahun depan sudah pemilu lagi. saya sudah mblenger liat wajah2 penyeru reformasi yg nggak menghasilkan apa2 itu.

  • siska
    May 11, 2008 at 5:16 pm

    hmmm, nice posting pak!!

  • elly.s
    May 11, 2008 at 5:37 pm

    luka sejarah yang paling memilukan dan memalukan….

  • ario saja
    May 11, 2008 at 5:52 pm

    Hidup Reformasi..!!!
    Reformasi sampe mati ..!!!

  • bintang
    May 12, 2008 at 1:06 am

    hhhmmmm..sepuluh tahun yang lalu..aku belom nikah tuh…dan masih kerja di karawang…kalo gak salah inget waktu itu aku sama temen2 sekantor lagi berkeliaran di kota karawang, tiba2 lampu mati di seluruh kota…sempet ketakutan juga sih…

  • hanny
    May 12, 2008 at 8:30 am

    saya cenderung menanyakan pertanyaan yang sama dengan mas andrias ekoyuono. coba dihitung berapa banyak dari mereka yang dulu ikut ‘berjuang’ masih memegang idealisme yang sama saat ini.

    hingga kini, saya juga masih sependapat dengan gie. hanya karena saya belum melihat ada individu yang telah masuk ke dalam lingkaran kekuasaan yang bisa menunjukkan kenyataan sebaliknya.

    saya pikir, di sinilah pentingnya oposisi (yang sejati, bukan yang oportunis). adalah sesuatu yang sangat wajar dan natural, bahwa kita bisa menjadi lebih objektif dalam memandang sesuatu ketika tidak tengah menjadi bagian di dalamnya.

    itulah sebabnya banyak perusahaan besar masih menyewa jasa konsultan hehehe ;p

  • supermom
    May 12, 2008 at 9:33 am

    Kembali ke tanggal 13 Mei, suasana masih mencekam. Saya harus ke kantor, beberapa kesibukan disana terutama bagian keuangan. Mereka mengumpulkan file, buku cek dan uang dari brankas. Bergegas memindahkan ke kantor pusat. Karena perusahaan ini milik Hasjim Djojohadikusumo –

    right now – his my big boss… 🙂
    hiks hiks hiks

1 2

Leave a Reply

*