Selalu ada yang hal hal yang ajaib tentang bagaimana sekelompok masyarakat menjadi benteng moral di negeri ini. Ini bukan berkaitan dengan UU Pornografi. Bukan itu. Ini tentang bagaimana sutradara Eros Jarot yang dilarang syuting di wilayah Solo. Bukan dilarang oleh polisi atau Pemerintah, tapi dilarang oleh sebagian kelompok masyarakat di sana.
Kelompok yang menamakan – mengaku – perwakilan sejumlah elemen masyarakat di kota Solo menolak pengambilan gambar film LASTRI , yang rencananya akan dibesut di wilayah Solo. Pasalnya, karena mereka menilai skenario film itu mengandung ajaran komunis. Demikian ujar Triyanto, Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat kabupaten Karanganyar.
Menurut Eros, tokoh Lastri ini memang diceritakan sebagai tokoh GERWANI. Namun ia mengatakan sebagai kebebasan kreasi seni, sah sah saja mengambil latar belakang karakter komunis. Walhasil film yang akan dibintangi Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Marcella Zalianty dan Iga Mawarni harus ditunda atau mungkin dipindahkan lokasi syutingnya. Pabrik gula Colomadu juga akhrnya menurut desakan ini dan mencabut ijin syuting disana.
Bagaimana mereka bisa mendapatkan skenario itu juga hal yang ajaib. Karena skenario merupakan bagian internal sebuah produksi yang tidak disebar kemana mana. Pada umumnya masyarakat atau warga sekitar lokasi syuting tidak pernah tahu jalan ceritanya.
Kejadian ini sangat menggelikan sekaligus miris. Pertama, mungkin para pekerja film harus membuat film yang isinya ulama, pastor, alam atau cinta memble dan horror saja. Kedua, para elemen masyarakat disana harusnya tahu bahwa sekarang komunis sudah rontok. Kalaupun masih ada tersisa sudah jadi funky, beradab – tidak suka menyilet kemaluan dan mencungkil bola mata – serta menjadi kapitalis.
Lihat saja China yang lebih memilih bagaimana menjual produk ekspornya daripada mengurusi komunisnya. Sementara para remajanya tidak ditabukan untuk memuja Michael Jackson daripada Mao Ze dong.
Bentuk bentuk kesewenangan ini menjadi bukti bahwa masyarakat kita belum dewasa, atau mudah terprovokasi. Kebebasan berkreasi semestinya dihargai. Toh mereka bukan membuat film porno. Padahal film film dengan latar belakang komunis banyak ditemukan di sini.
Kalau begitu , saya semakin miris membayangkan betapa seramnya kekuatan ‘ paksa ‘ yang dimiliki orang atau sekelompok masyarakat. Jika urusan film saja mereka bisa bertindak sebagai polisi moral. Lalu bagaimana dengan Undang Undang yang memfasilitasi mereka untuk main hakim sendiri ?
* foto dari buku ” Under Soeharto’s years ” tentang anggota GERWANi yang ditangkap di daerah Solo.
86 Comments
jojo
November 16, 2008 at 4:39 pmasiiikkkk yang pertama ^_^
Entahlah…
akan dibawa kemana bangsa kita ini nantinya…
dillema yang menjengkelkan sih yach mas…
kepentok sana sini semuanya…
*huhuhuhuhuu*
trian
November 16, 2008 at 4:52 pmRasanya ketakutan dengan film latar belakang komunis berlebihan.
..Lalu bagaimana dengan Undang Undang yang memfasilitasi mereka untuk main hakim sendiri ?..
btw, saya menangkap ketidaksetujuan terhadap ‘UU yang baru disahkan’. betul mas?
yuswae
November 16, 2008 at 5:15 pmSolo makin menakutkan aja…
mantan kyai
November 16, 2008 at 5:17 pmwaduh kasian pakde erot djaros. apa mungkin punjabi berada di balik aksi mereka. kan sleama ini punjabi yang getol bikin film ulama, cinta memble, dan horor kuno ???? **oops**
Anang
November 16, 2008 at 6:43 pmnegeri penuh kekang… hihi
Epat
November 16, 2008 at 6:43 pmklo bikin sinetron pasti diijinkan itu mas….
😀
Nurdin
November 16, 2008 at 7:13 pmPendidikan…
Kuncinya di pendidikan…
aditya sani
November 16, 2008 at 7:27 pmanggaplah apa yang akan dibuat oleh Eros Djarot adalah bagian dari penulisan sejarah, tentang apapun itu, komunis, nasionalis, militer, marhaen, apapunlah..seharusnya pemerintah dan elemen masyarakat mendukung..karena biar bagaimanapun/apapun yang pernah ‘mereka’ lakukan adalah bagian dari proses mencari Indonesia..sebuah proses yang masih terus berjalan..
dan lagi mengenal sejarah bangsa (sendiri) akan lebih baik, daripada memaksakan diri untuk melupakannya..
aria turns
November 16, 2008 at 7:28 pmsaya yakin mereka juga tidak tahu apa itu komunis..
aprian
November 16, 2008 at 9:03 pmBaca berita ini kemarin jadi agak miris. Lastri cuma film cinta yg bersetting tahun 65 dg salah satu tokohnya adalah anggota Gerwani tapi kok disangkutpautkan dg penyebaran komunis, gak nyambung blas lah. Orang-orang makin parno gak jelas. Apa karena kebanyakan sinetron ya?
edo
November 16, 2008 at 9:26 pmkan kita lebih senang pada simbol mas. akan lebih mudah memberikan label “sutradara PKI” hanya karena ada skenario ada tokoh peran berlatar belakang gerwani daripada film yang tidak menyebutkan tokoh peran berlatarkan PKI tapi sarat dengan ajaran komunis itu sendiri 🙂
makanya enak ngadalin orang kita mas kekekkeke. yang penting tidak disimbolisasi jika itu ada nuansa “salah” atau sebaliknya men-simbolisasi jika ada nuansa “benar”
Herman Saksono
November 16, 2008 at 10:13 pmAnangku:
negeri penuh kekang… hihi
dan sampean mau menjadikan mantan pemimpin negeri-penuh-kekang sebagai pahlawan?
ndoro kakung
November 16, 2008 at 10:22 pmayo kita nyanyi genjer-genjer ….
Anang
November 16, 2008 at 10:43 pm@hermansaksono: semua orang pahlawan untuk dirinya sendiri *gag nyambung*
ah pendapat boleh beda kan?
Aris Heru Utomo
November 16, 2008 at 11:56 pmDiperlukan waktu untuk penyesuaian terhadap jaman yang berubah
meong
November 17, 2008 at 12:02 amorganisasi ini bentukannya siapa sih ??
jd inget, kl di jogja ada FAKI -forum anti komunis bla3- dan gerakan apa gt. musuh mereka komunis, dan kadang kl baca aksi mrk di koran lokal, menggelikan.
*menghela napas dan ngelus dada*
kyai slamet
November 17, 2008 at 1:47 amkapan DN AIDIT dianugerahi gelar pahlawan nasional?
didut
November 17, 2008 at 7:48 ammemang ngr kita penuh dgn masyarakat yg takut …dikit dikit takut,tdk pernah percaya dgn kekuatan moral bangsa sendiri
mukelu
November 17, 2008 at 7:59 amdisini komunis masih merupakan momok menakutkan mas, malah bisa dibuat jadi senjata buat menjegal saingan
dd
November 17, 2008 at 8:00 amtanpa disadari…justru mereka ini menjadi komunis bagi dirinya sendiri…
andre
November 17, 2008 at 10:05 amyach gitu dech kelakuan sama nama beda banget munafik sok bener aja padahal kerjanya bikin kerusahan (yang berhentiin itu proses film) padahal aku asli colomadu kan seneng kalau film ngambil di daerah colomadu
Silly
November 17, 2008 at 10:09 amAhhh, semakin lama saya merasa makin tidak merdeka dinegara sendiri. Sebetulnya yang mereka2 takutkan adalah kekuatan “negative” yang bercokol dalam pikiran-pikiran kotor mereka, yang tidak bisa mereka handle, akhirnya yang bisa mereka lakukan hanyalah melarang dan membatasi kemerdekaan org lain. Hak org lain yang dibatasi demi kepentingan siapa sebetulnya?… tanya sama pikiran kotor masing2…
*maap lagi esmosi… PMS.. PMS… salahin PMS pokoknya, jangan gue!!!*
philos
November 17, 2008 at 11:25 amSaya kok bingung dengan mereka yg terpicu oleh hal2 yang sebenarnya kurang memberi pengaruh langsung terhadap hidup mereka, syuting film dgn latar belakang “komunis” dilarang dgn alasan menyebarkan komunis..ya ampuun salah siapa sampai mereka punya cara pikir seperti itu, kapan negara ini mau bangkit jika hanya mengurusi hal2 semacam itu, cara pikir rata2 masyarakat Indonesia menggambarkan buruknya sistem pendidikan dasar dan sempitnya wawasan bangsa ini. Untuk bapak2, ibu2 dan remaja2 yg menolak syuting film Lastri, cobalah kalian membuka wawasan, masih banyak hal yg kalian harus urusi, pendidikan anak2 kalian lebih penting drpd hanya menjadi jagoan kampung…….kira kira mudeng gak ya???
eko fitri cahyono
November 17, 2008 at 11:30 amtetap semangat pak Eros,,,jangan berhenti berkarya,mereka yg gak setuju itu jenis orang bar-bar.pesan saya buat orang-orang yang gak setuju,ngapain takut brur sama LASTRI,,si LASTRI gak akan merebut sandang pangan kalian kog….
zam
November 17, 2008 at 11:38 am@ Ndoro Kakung: okey.. siaap.. mula..
Njer genjeerr.. Njer genjeer..
Tanduri wis sumilir..
Tak ijo royo-royo..
*tangan sedakep, nyanyi dengan pede*
Nyante Aza Lae
November 17, 2008 at 12:56 pmpa kira2 script-nya dah ditunjukkan atau sdh dibaca tuntas oleh “mereka”?
LAST THREE
November 17, 2008 at 1:59 pmDi Republik Mimpi masyarakatnya gak ada yg protes tuh dgn film berjudul “LAST THREE”.
masyarakatnya malah pada berebutan mslhnya stoknya cuman tinggal 3 biji. he8x..
kupretkupretkupret…gak nyambung dehhh !! Spt orang2 itu yg gak nyambung semua..
Toya
November 17, 2008 at 3:34 pmMereka yang ge ngerti atau malah anda dan saya serta semua yg dsini yang sok memuja demokrasi,… padahal kita juga ga ngerti demokrasi itu apa. Klo kepentingan kita yang dikebiri kita juga ga peduli dengan demokrasi yang penting kita bisa menang dan makan.
Ditolak di solo ya cari tempat lain aja…. Githu Aja Kok Repot.
jimmy
November 17, 2008 at 4:26 pmitulah mas .. orang2 yang pernah mengalami hal2 yang tidak menyenangkan dan juga ada nya “devitas moral” itulah yang membuat ego2 sekelompok masyarakat kita.
Setiaji
November 17, 2008 at 4:31 pmNah kalo masalah yg begini sih memang keterlaluan. Hari gini masih bicara komunis. Mungkin para warga desa itu punya pengalaman buruk saat jaman PKI ? bisa jadi … Pengalaman buruk memang selalu menjadi Mimpi Buruk yg menghantui .
boyin
November 17, 2008 at 5:51 pmkok jarang sih bikin film yang ceritanya tentang perjuangan manusia indonesia yang kere jadi sugih yang menyentuh gitu lho sehingga menginspirasi masyarakat kita untuk berjuang. dibumbui cinta2an and banyolan khan asik tuh,asal jangan menjurus ke mlm ntar banyak yang pro dan kontra..heee
mitra w
November 17, 2008 at 6:08 pmhaha, nunggu negara kita dewasa??
mending breaking the rule aja kayaknya (hehe, ini makin kekanakan yak? :D)
Ajaran
November 17, 2008 at 8:01 pmKapan umat kita bisa dewasa, heran deh..
och4mil4n
November 17, 2008 at 8:05 pmbetul mas. kapan yah kita ini gak takut lagi dengan yang namanya komunis?
dikit2 takut sama hal2 yg ada label komunis.
apa emang semudah itu komunisme bakal bisa masuk lagi??? kayaknya enggak deh.
innaa
November 17, 2008 at 9:21 pmmenurut saya,penolakan film ini bener2 ga masuk akal.tokoh lastri itu bukan gerwani.tapi CGMI (CMIIW deh ya!).film ini ga ada tentang komunis2nya kok.cuma kbetulan aja tu tokoh idup pd taun ’65.gitu aja.yg saya sesalkan ada tanggapan dari polisi yg udah baca skenario,dya bilang kalo skenario ma kjadian di lokasi itu berbeda.padahal di lokasi ga ada hal2 yg nyangkud2 PKI..
Orang Solo..COME ON!!!
innaa
November 17, 2008 at 9:22 pmmenurut saya,penolakan film ini bener2 ga masuk akal.tokoh lastri itu bukan gerwani.tapi CGMI (CMIIW deh ya!).film ini ga ada tentang komunis2nya kok.cuma kbetulan aja tu tokoh idup pd taun ’65.gitu aja.yg saya sesalkan ada tanggapan dari polisi yg udah baca skenario,dya bilang kalo skenario ma kjadian di lokasi itu berbeda.katanya di lokasi ada unsur2 komunis.padahal di lokasi ga ada hal2 yg nyangkud2 PKI..
Orang Solo..COME ON!!!
geRrilyawan
November 17, 2008 at 9:42 pmyahh…jaman sekarang orang-orang tinggal paranoid-nya aja mas….abis dari dulu dicekokin film “horor”nya tiap tahun….
tapi kok nggak ada yang protes pas syuting film kuntilanak ya…padahal kita juga dicekokin serem2nya tuh…
Hedi
November 17, 2008 at 10:40 pmkiri dan kanan memang lagi bangkit sekarang, tapi ga usah ditakutin…apalagi kalo cuma jadi latar cerita di film
hanggadamai
November 17, 2008 at 11:12 pmapa perlu dilakukan pendekatan personal mas??
Iman
November 18, 2008 at 12:35 amToya,
Tidak sesimpel itu pindah lokasi, walau jika dipaksakan bisa juga. Biasanya pemilihan lokasi sudah ditentukan sejak hunting lokasi dan ada beberapa lokasi yang secara artistik memang cocok dan sesuai dengan latar belakang film.
Itu jelas repot kok
Donny Verdian
November 18, 2008 at 4:42 amObatnya cuma satu sebenarnya, perut yang kenyang dan dompet penuh uang.
Maka tak akan ada lagi yang seperti itu..
IMHO…
Turut prihatin!
rani
November 18, 2008 at 9:40 amhaibat ya orde baru, hari gini orang masi takut ga jelas aja sama komunisme.
-may-
November 18, 2008 at 12:53 pmMereka yang melarang2 itu apa sudah khatam kitab “Weruh Saduruning Winarah for Dummies” ya? Kok bisa menentukan film yang BELUM JADI itu mengandung ajaran komunisme… 🙂
Saya pikir ini murni manuver politik. Ada yang nggak suka dengan ide ini, atau bahkan nggak suka pada Eros Djarot, lantas lempar batu sembunyi tangan 🙂 Meminjam tangan2 sekelompok manusia yang gampang diprovokasi untuk melarang2 sesuatu. Sebab, kalau mereka cukup bodoh untuk men-judge film yang BELUM JADI, perkiraan saya sih mereka cukup bodoh untuk dipermainkan persepsinya untuk percaya bahwa film ini mengandung ajaran komunisme.
Dony Alfan
November 18, 2008 at 4:52 pm“Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat kabupaten Karanganyar.” Siapa yang butuh ‘perlindungan’mu? Taek!
nadia
November 18, 2008 at 6:44 pmck ck ck… hebatnya yah pengaruh doktrinasi.
Ini namanya doktrinasi yg kebablasan, hehe.
Kasian rakyat Indonesia, menjadi korban cold war. Padahal cold war nya sendiri sudah usai dari beberapa dekade silam.
Untuk semakin meperkeruh suasana, sy hadirkan sekedar artikel untuk mas Iman:
http://www.google.com/hostednews/ap/article/ALeqM5iL8zg9mGix_al8QJ_JtL6vhEKCHgD94FH4DO0
marshmallow
November 18, 2008 at 7:31 pmini membuktikan bahwa pencucian otak masyarakat indonesia selama puluhan tahun berhasil paripurna, mas. bukankah hebat?
*meringis miris*
Ichwan Persada
November 19, 2008 at 12:58 amSaya pribadi urut dada melihat penolakan syuting film LASTRI. Begitu banyak waktu, energi dan biaya yang terbuang atas penolakan ini. Pdhal LASTRI adalah film yang menempatkan kemanusiaan diatas kepentingan politik sesaat. Semoga LASTRI bisa melewati segala rintangan dan bisa ditonton masyarakat sesuai jadwal.
Salam,
Ichwan Persada
Publicist Film LASTRI
martin
November 19, 2008 at 9:24 amhebat juga masyarakat
bisa tau skenario sebelum syuting dilakukan
(applause)
rackoen
November 19, 2008 at 2:11 pmsebenernya sih malah baik-baik aja kalo ndak jadi shooting. hehehehe …
soalnya sudah buuuanyak korban 65 yang tereksploitasi oleh LSM-LSM ham itu ataupun yang lain.
pertanyaannya, kenapa juga mem blowup latar belakang 65 sebagai promosi. bikin aja diem-diem… 🙂
Iman
November 19, 2008 at 2:51 pmIchwan,
salam simpati untuk teman teman film disana, saya bisa membayangkan betapa hasil location recce yang sudah disepakati, termasuk set dan logistik, harus dipikirkan ulang.
Maju terus film Indonesia