Laskar Harapan

Apa yang bisa kita lihat dari sebuah tafsir ? Kejujuran atau justru sebuah metamorfosa pola pikir yang melompat jauh. Jelas Riri Riza telah melakukannya dalam film ‘ Laskar Pelangi ‘. Sebuah terjemahan dari memoar sporadis si penulis Andrea Hirata. Disini kekuatan Riri dalam mengemas sebuah cerita tidak melulu menjadi cerita anak anak biasa – kenakalan dan kejeniusan belaka – tetapi menjadi protes sosial terhadap perusahaan raksasa sebagai latar belakang.
Saya teringat “ Petualangan Sherina “ dari delapan tahun lalu, dimana ada simbol perlawanan antara si anak anak dengan tokoh jahat dari perusahaan yang ingin menguasai asset tanah.

Lebih setahun lalu saya sempat ngobrol ngobrol dengan Riri dan Mira Lesmana di Star Buck Kemang. Ngalor ngidul urusan MFI dan ujungnya saya menggelitik dengan pertanyaan.
“ Katanya mau buat film anak anak lagi ? “
Karena saya tahu mereka memiliki integritas tidak asal membuat film, seperti horror kuntilanak atau cinta memble. Barangkali memang kelebihan Riri dengan latar belakang dokumenternya yang kental. Ia selalu bisa mengangkat sebuah issue issue sosial melalui mata anak dengan jujur. Lihat saja dokumenter ‘ Anak seribu Pulau ‘ nya. Mendadak kita begitu mencintai keanekaragaman negeri ini melalui penuturan anak anak.

Ini memang bukan tafsir mimpi. Dalam dalam bukunya, Andrea menyukai hiperbola. Ia gemar memakai kata kata ajaib atau bahasa ilmu pengetahuan. Sementara kosa kata Ibu Muslimah di novel yang kadang ganjil untuk ukuran ibu guru di daerah terpencil atau kejeniusan Lintang yang terlalu over.
Riri justru menafsirkan dengan adegan yang lebih membumi. Mengganti Tennesse Waltz yang dinyanyikan Mahar dengan Bunga Seroja yang terasa nuansa melayunya. Lintang tak perlu berdebat tentang rumus Newton yang muskil, karena Riri menggantinya dengan adegan yang lebih wajar bagi anak seusianya. Riri membuat menjadi lebih dekat dengan kehidupan sehari hari.

Film memang berbeda dengan buku. Tidak bisa semua kompleksitas penokohan ditampilkan. Dalam film harus kompromi dan focus dengan pilihan tertentu. Ini membutuhkan tafsir yang brilian dari sutradara. Penulis kondang seperti JK Rowling bisa saja gelagapan untuk menuangkan tafsir sinematografi atas bukunya sendiri.

Saya justru kuatir bahwa banyak penonton, dan anak anak kota besar yang tak bisa membayangkan tafsir kritik sosial dari film ini. Bahwa ini cerita tentang orang orang yang terpinggirkan dan seolah tak memiliki masa depan. Kesan yang dibuyarkan begitu mereka melangkah keluar dari gedung bioskop, karena para generasi wangi wangi hanya melihat dari bungkus setting alam Belitung yang indah, keriangan dan kenakalan disana.
Jauh diluar jangkauan tafsir mereka, bahwa masih ada sekolahan yang begitu reyot dan hampir roboh. Ah, itu khan bisa bisanya film.

Jauh ribuan kilometer dari Selat Bangka menuju laut midetarania. Pierre Brosnan dan Merryl Streep melenggak lenggok bernyanyi atas nama laskar cinta. Tak memerlukan tafsir menonton film musical “ Mama Mia “ dengan setting pantai dan rumah rumah eksotis di Yunani. Selalu ada happy ending untuk sebuah romansa percintaan. Tafsir yang diminta sebagaian besar penonton. Unsur penting menentukan film itu laku atau tidak.
Walau tak ada yang istimewa kecuali soundtrack ABBA yang membuat hati saya meluap luap gembira. Padahal generasi disebelah saya – Ungu fans club – akan keheranan.
“Lagu lagu apaan itu…jadul amat “ .
Padahal siapa tahu Ikal menyanyikan lagu Take a chance on me saat perjumpaan pertamanya dengan A Ling.

Dalam memenuhi undangan berbuka di padepokan rumah sawah Medina dan kang masnya di dusun Kaliwaru. Diantara jalan tembus dari Sleman menuju Kaliadem Gunung Merapi. Teman jeng jeng baru saya, Dipto begitu riang bermain main di kali kecil sambil menunggu berbuka puasa – ikan nila bakar, botok teri dan lalapan – sejam lagi. Menggulung celananya , menangkapi kerang dan ketam di kali dingin yang mengalir deras.
Inilah kenangan masa kecil yang tiba tiba bisa melankolik, karena lahir sebagai anak petani di desa.

Inilah semua tafsir kehidupan yang sebenarnya dekat dengan keseharian kita. Pulau Belitung, Yunani sampai Petani sayur yang kebingungan menjual panennya di dusun Kaliwaru. Kita melihat begitu banyak ketidakadilan dan kesewenang wenangan. Namun justru selalu ada sesuatu yang berangkat dari keputus-asaan. Perjuangan hidup membuat kita lekat dengan apa yang dinamakan harapan.
Percayalah itu yang membuat kita tetap hidup.
Bahwa pelangi bisa muncul dari sebuah hujan badai.
Medina juga melihat pelangi di perbatasan sawah dan kolam kolam ikan yang didatangi burung burung kuntul setiap sore. Sambil berjalan diantara semburat matahari sore yang begitu bagus. Menyusuri pematang sawah dan kebun kebun cabai, tomat. Sepertinya saya mendengar ia bersenandung lagu ABBA. Sebuah tafsir lain.

I don’t wanna talk
If it makes you feel sad
And I understand
You’ve come to shake my hand
I apologize
If it makes you feel bad
Seeing me so tense
No self-confidence
But you see

The winner takes it all

The winner takes it all…

You Might Also Like

64 Comments

  • Daus
    September 28, 2008 at 12:15 pm

    Penasaran sama film 8millyar kayak apa sih kira2. Mas iman udah nonton blom filmnya?

  • Gun
    September 28, 2008 at 12:19 pm

    Hahahaaa, mas. Dari dekat pun, bahkan sekadar untuk menonton film ini ada juga orang yang berbuat ketidakadilan. Ya misalnya menyerobot antrian tiket hanya ntuk menonton film ini. Bagaimana ini, mas?

  • fitri mohan
    September 28, 2008 at 12:41 pm

    penasaran aku nontonnya. katanya jauh lebih bagus daripada bukunya.

    mas, bentar lagi mau lebaran. minal aidin wal faidzin mohon maaf lahir dan batin ya mas.

  • Anang
    September 28, 2008 at 1:03 pm

    pengen lihat filmnya… menarik untuk disimak nih perjuangan anak2 kecil dalam meraih hidup

  • marshmallow
    September 28, 2008 at 1:08 pm

    review yang menarik, mas iman.
    banyak yang ingin dikomentari.
    mulai penuangan novel ke sinema, tafsir cerita, hingga memaknai kehidupan dari sebuah lagu lama.
    hmm… berkomentar pun rasanya malah bikin basi.

    sekaligus ingin sowan dalam rangka menjelang lebaran, mohon maaf lahir dan batin.

  • nothing
    September 28, 2008 at 1:33 pm

    belum nonton, dan pengen nonton..dan semoga filmnya tidak `menyakitkan otak` …

  • syiddat
    September 28, 2008 at 2:17 pm

    gambar ke-2 yang ada pelanginya itu bagus…. *lost focus* 🙂

  • Hedi
    September 28, 2008 at 2:28 pm

    aku ga tahu berapa banyak film yang bisa menggugah hidup penontonnya. Soal orang-orang wangi itu, kalo cari hikmah dan pembelajaran yg lebih lengkap…ya dibukunya, gitu to, mas? 😀

  • dosengila
    September 28, 2008 at 3:59 pm

    Weitsss, baru tahu kalau Riri mentransformasikan beberapa “hal hiperbolik” dari novel menjadi lebih membumi. Wuaaa, (tarik nafas dalam-dalam), harus semakin melatih sabar menunggu kesempatan menonton filmnya.

  • didut
    September 28, 2008 at 6:08 pm

    belon sempet nonton *dem*

  • mikow
    September 28, 2008 at 7:27 pm

    memang filmnya krg lengkap alurnya tapi menurut saya inti dari film ini cukup mengena yaitu ttg semangat belajar

  • dina
    September 28, 2008 at 9:13 pm

    Huwaaa..pengen nontooonn..
    Pasti bikin semangat belajar semakin membaraa!

  • Dilla
    September 28, 2008 at 9:59 pm

    Waah..dari laskar pelangi,mamma mia,sampe sleman..
    Jd dah ntn mamma mia mas? Asik ya..sambil karaoke..hihihihi..

  • za
    September 28, 2008 at 10:13 pm

    huehehe…kmaren baru nonton, jadi tau isi novelnya seperti apa. meskipun yakin tuh film gak akan bisa menceritakan keseluruhan isi novel…. tapi film ini berhasil nguras airmata dan enak diikuti, gak seperti novelnya yang mesti bolak balik ke halaman terakhir…..:))

    minal aidzin wal faizin, mohon maaf lahir dan bathin ya mas….:)
    *tenang, taijilnya disimpen sampe taon depan….=))*

  • kenny
    September 28, 2008 at 10:46 pm

    biasanya aku klo dah baca bukunya malas liat filmnya ato sebaliknya, tp buku laskar pelangi bikin penasaran gemreget pengin liat filmnya jg.

  • Donny Verdian
    September 28, 2008 at 10:53 pm

    Aih! Aku malah lom sempat nonton, kemarin sempat mau nonton tapii ngeliat antrinya, nggilani!

  • siska
    September 28, 2008 at 11:26 pm

    waaaaa belom nonton laskar pelangi niiiiiiiih… *tak sabar*

  • alle
    September 28, 2008 at 11:28 pm

    memed curang,.. ngadain acara ini ketika hampir semuanya mudik
    *mlenguh*

  • amril
    September 29, 2008 at 2:22 am

    Wah..sebuah review memikat dari seorang sineas (sekaligus blogger) kawakan Indonesia

    Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H ya mas. Mohon maaf lahir dan batin

  • leksa
    September 29, 2008 at 2:26 am

    saya udah sewa DVD mamamia gara2 cerita Mas Iman kemarin…
    film musikal yang bagus, setelah kmarin nonton film musikal juga “Cross the Universe” 😀

    Saya belom baca buku LP,
    tetapi filmnya wajib ini 😀

  • Ani
    September 29, 2008 at 3:04 am

    Dah baca novelnya…penasaran pingin nonton filmya…tapi kayaknya nggak sempat nih, puasan gini sibuk banget…

  • andif
    September 29, 2008 at 3:13 am

    pingin juga saya nonton, tapi disini antri. nunggu 1-2minggu lagi ah biar tidak terlalu antri 🙂

  • mantan kyai
    September 29, 2008 at 6:57 am

    “Medina juga melihat pelangi di perbatasan sawah dan kolam kolam ikan yang didatangi burung burung kuntul setiap sore”
    Saya sering salah mengucapkan burung kuntul menjadi burung… ah sudahlah. Anggap saja sebuah penafsiran lain dari saya *kabur*

  • edratna
    September 29, 2008 at 8:09 am

    Whaa mas, akhirnya saya malah nonton Mamma Mia, sambil nostalgia…hehehe…iya generasi ungu tentu tak memahami ya. Tapi si bungsu suka dengan indahnya pulau (seperti gambaran tulisan mas Iman di atas), namun dia bisa menikmati lagu-lagu di film itu (atau karena dia juga bisa main piano ya? Terbiasa mendengarkan beberapa jenis lagu). Apalagi saat di akhir film ada tambahan dua lagu….penonton terhanyut tak bergerak, tapi anak kecil merengek minta segera keluar…hahaha…perbedaan generasi.

    Laskar pelangi terpaksa dijadualkan lagi nontonnya, kemarin kalau digabung takut nggak kuat, habis dapatnya di kursi paling depan…dan mesti sholat Tarawih…maklum kekuatan tubuh mesti diperhitungkan. tapi saya pikir film nya masih cukup lama, kalau melihat antusias penontonnya.

  • pasarsapi
    September 29, 2008 at 8:17 am

    Lompatan-lompatan yang tetap membuat saya : “ahhhh……..” *selalu ada yang indah di setiap langkah*

  • aRuL
    September 29, 2008 at 9:00 am

    pengen juga nonton nih mas….
    beberapa film Indonesia berkualitas, oia sy lebih senang film Indonesia lho mas, walau ngak sebagus2 barat.. tapi2 kadang ada pesan sosial juga dalamnya, walau harus setengah mati harus mengartikannya…

  • inung gunarba
    September 29, 2008 at 10:34 am

    Dah pengen nonton LP, penasaran coz adaptasi dari novel. palagi waktu ketemu Salman aristo (penulis skenario) di blitz, dia bilang ia mempersempit frame di masa SD aja.

  • kyai slamet
    September 29, 2008 at 11:23 am

    penasaran nih ama filmnya…..

  • silly
    September 29, 2008 at 11:36 am

    Duh, saya juga belum nonton laskar pelangi… (LP)

    Errr, btw, mas iman gak berminat bikin SSL??? (sillystupidlife, hahahahaha *dikemplang*)

    Satu lagi… Coz I’m feeling so blue right now, lagu the winner take it all-nya sumpah bikin saya semangat 45 lagi, to continue everything that I’ve done… I really mean it… Thanks a bunch.
    *berkaca-kaca*

  • meong
    September 29, 2008 at 1:35 pm

    hei,kpn si m.Iman dpt ide utk merangkai semua informasi yg diterima,mjd tulisan ini?
    m.Iman kidal ya? huehehe..

    hmm..sebuah review LP penyeimbang d tengah2 review pesimis yg saya bc. krn sbg pgemar novelnya,khawatir aja apa yg diimajinasikan pas bc,jd berbeda.sama waktu nonton capt.corelli’s mandolin.
    jd kpn m.Iman memfilmkan slh 1 cerita d pecinta fisika?;-)

    selamat idul fitri m.Iman..kmb fitri,maqn dkt dgNYA..

  • Setiaji
    September 29, 2008 at 2:08 pm

    hmm jadi pengin nonton filmnya nih .. mudah-mudahan memberikan pecerahan 🙂

  • edo
    September 29, 2008 at 2:10 pm

    hehehe..
    sengaja ngga pengen nonton dulu. bermodal keyakinan bahwa film ini layak untuk tetap tayang sampai bulan november. males antriannya. kl ngga, wah, kebangangetan. film ini seharusnya lebih dahsyat daripada ayat-ayat cinta.

    sedikit sekali saya bisa kagum dengan film indonesia. dulu, waktu film indonesia belum bangkit kembali, hanya film garin nugroho yang bisa membuat saya meneteskan airmata di daun diatas bantal. lalu bang dedi mizwar yang memutar balikkan sinetron kembali ke ranah seharusnya dan beberapa film garapannya. sekarang ada mbak mira, riri, dan mas hanung yang layak diberi apresiasi.

    oh ya. ada 1 sutradara lagi, walaupun bukan sutradara film yang jadi idola saya. namanya iman brotoseno wakakkakak…
    *lirik2 pinkina dan mami venus :p

  • Manusiasuper
    September 29, 2008 at 2:30 pm

    Yah, semoga kita bisa belajar dari semua apa yang kita baca dan lihat…

    BTW, mau nonton untuk yang kedua kalinya dalam dua hari neh.. 😛

  • arya
    September 29, 2008 at 2:34 pm

    film2 pembangkit optimisme seperti ini perlu diperbanyak, mas

  • nico
    September 29, 2008 at 4:16 pm

    pelangi itu ada disana, disana dan disana…

  • BloGendeng
    September 29, 2008 at 5:16 pm

    Indonesia jarang memiliki film-film bermutu. Semoga film ini bisa merubah pandangan sebagian masyarakat

  • meong
    September 29, 2008 at 10:33 pm

    hmm..Mas,dr kcmata sutradara,tyt memfilmkan novel,itu prosesnya berbeda ya?
    kirain,krn novel uda ada alur,dialog,deskripsi yg jelas,dll mk tinggal mgubah skenario aja,jadi gt.sbg pembaca,tdk memikirkan repotnya menuangkan adegan 300an halaman dan jalinan cerita yg komplex ke bentuk 2jam adegan layar perak.
    Mas,skenario yg bagus tu gmn si? -pgn jd penulis skenario-

  • woelank
    September 29, 2008 at 11:18 pm

    filmnya bagus menurut saya, alurnya ga bosenin, ada adegan2 yang cukup mengundang tawa dan menguras air mata, sayang akhirnya kurang gemana gitu rasanya…

    tapi kok ada pelangi yang digambar yah???
    ga dapet set yg bagus kali.. hehehehhe…

    trus bingung, buku dunia binatang yang gambarnya singa betina itu memangnya tahun 1984 udah ada? (1979+5thn kl ga salah di pilemnya)
    eh ternyata pas ngecek dirumah cetakan pertamanya thn 1979 oleh tira pustaka (saking penasaran)

    ada yang aga2 bingung pas akhir, dibilang kalo lintang ga pernah masuk lagi setelah selesai lomba cerdas cermat, tapi kok sewaktu adegan nyanyi bersama diakhir film dimana isi kelas masih lengkap dan ada lintang, mengapa piala cerdas cermatnya sudah ada????
    (merhatiin amat.. 😛 )

    yang pasti, salut dah sama filmya, patut ditonton….

  • genthokelir
    September 29, 2008 at 11:26 pm

    Dengan Rasa hormat dan kerendahan hati serta penuh harapan untuk memohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan
    tak lupa pula memohon doa

    Segenap Keluarga Gunungkelir.com mengucapkan selamat Idul Fitri

  • Rindu
    September 30, 2008 at 12:42 am

    Saya sering sekali berkata kata yang tidak semuanya indah, kadang saya salah, mungkin riya, mungkin sedikit dusta … dan saya mohon untuk dimaafkan segala kesalahan saya yah 🙂

    Minal aidin wal faidzin … maafkan saya lahir dan batin karena beginilah kewajiban kita sebagai hamba untuk meminta maaf dan memberi maaf.

    Rindu [a.k.a -Ade-]

  • Iman
    September 30, 2008 at 1:43 am

    Hedi,
    Tetap bagaimanapun film lebih mudah sebagai penyampaian gagasan ( lebih mudah secara visual ) makanya sering dipakai sebagai propaganda. Hanya saja apakah penontonnya sensitive untuk memahami inilah realita kehidupan sesungguhnya. Atau memang tak perduli.
    Meong,
    Jelas berbeda. Dalam novel adalah kata sifat, sementara dalam skenario / film menjadi kata kerja.

  • Daniel Mahendra
    September 30, 2008 at 5:03 am

    “Horror kuntilanak atau cinta memble”. TSAH!!! Aku suka sekali istilah itu! You’re right!

  • Reza
    September 30, 2008 at 7:05 am

    reza baru aja nonton filmnya kemarin

  • danalingga
    September 30, 2008 at 7:12 am

    Kita semua memang sedang bermain film toh.

  • Ade
    September 30, 2008 at 9:28 am

    Dah nonton.tapi ada sedikit scene yg lebay.n alurnya lambat bgt

  • Brahmasta
    September 30, 2008 at 10:15 am

    Wah habis membaca ini saya jadi punya sudut pandang baru. Tadinya sempat bingung kenapa beberapa bagian cerita yang hiperbola itu tidak masuk. Memang ternyata filmnya ditujukan untuk lebih membumi.

  • auliahazza
    September 30, 2008 at 1:18 pm

    mudah-mudahan tergugahnya hati bisa menggerakan kaki dan tangan dalam kehidupan nyata

    mohon maaf lahir dan batin.

  • suhadinet
    September 30, 2008 at 2:57 pm

    Salam kenal dari saya, seorang guru di suatu pelosok kalimantan. Saya berharap film ini akan memberikan dampak besar tak langsung bagi kebobrokan dunia pendidikan kita.

  • biyung nana
    September 30, 2008 at 3:45 pm

    filmnya bagus… bikin hidup jd semangat dan pantang menyerah. Klo bandingin sm novelnya… Nana sendiri ga baca hehehehe. tp kok ada aja ya cacatna jadi sedih d… sudah 2 kali nonton film indonesia yg berbeda dan pada keduanya pula mic terlihat dilayar.. jadi ndak enak liatnya.. yg salah apanya ya?

  • Iman
    October 1, 2008 at 11:42 pm

    biyung nana,
    ha ha micnya kelihatan ? yang salah komposisi gambar kameranya ..

1 2

Leave a Reply

*