Kebencian dalam social media

Ada orang yang melemparkan pertanyaan, ‘ Kenapa postingan di twitter atau facebook sekarang sangat provokatif ‘. Lebih jauh dia berseru ‘ kembalikan twitter seperti dulu, saat masih fun ‘.
Ini mungkin bentuk kegelisahan orang yang merasa bahwa kanal kanal social media telah berevolusi dari media utuk social networking menjadi media perang dalam arti sesungguhnya. Masing masing orang, kelompok berusaha menjadikan rumahnya ( baca : akun ) sebagai tempat menyampaikan gagasan, ide dan yang berujung pada bagaimana cara memaksakan gagasan dan ide tersebut.

Rym Benarous, jurnalis dari Tunisa menggambarkan demam social media dalam beberapa tahun terakhir, setelah revolusi tahun 2011. Kondisi politik yang keruh membuat media sosial, terutama facebook dibanjiri ujaran kebencian.
Menurutnya 55 % penduduk di Tunisia terkoneksi dengan facebook dan social media lainnya, membuat kini semua orang bisa berbicara apa saja. Mulailah kebebasan berbicara menjadi ujaran kebencian. Sementara di Turki, diungkap beberapa kasus sejumlah jurnalis terbunuh antara lain karena berbeda ideology.

Ada teori ‘ Groundswell ‘ sebuah trend sosial dimana orang untuk mendapatkan kebutuhannya, lebih memilih dari orang lain ketimbang dari produsen. Ini bisa juga mencari informasi apapun melalui teman atau komunitasnya. Sehingga secara tidak sadar, manusia akan terus cenderung berada dalam kelompok kelompoknya.

Perbedaan pandangan terhadap Pemerintahan Jokowi JK, dan yang sedang “ panas panasnya “ dalam pilkada DKI Jakarta telah membuat media sosial tidak menjadi ruang ekspresi yang yang mengedepankan rasionalitas kritis, tapi sudah menjadi ruang ekspresi hanya untuk saling cela antar para pendukung. Bahkan mencaci maki, menyerang dengan ungkapan kasar. Penilaian bukan lagi pada logika, tapi berdasarkan suka atau tidak.

Pada akhirnya merujuk pada kecenderungan seseorang untuk mencari informasi yang sesuai dengan pandangan mereka. Media sosial menyediakan kemungkinan itu dengan adanya fitur fitur untuk mengikuti orang-orang yang disukai sekaligus membuang mereka yang berbeda pandangan. Lama-kelamaan, seseorang semakin terisolasi dalam kelompok masing-masing di dunia maya sehingga memunculkan pandangan yang semakin ekstrem.

Peter Dahlgren (2009) dalam Media and Political Engagement menyebut polarisasi itu adalah “cyberghettos” atau bermakna perkampungan terisolasi dalam dunia maya. Anatoliy Grudz dan Jeffrey Roy (2014) dalam Investigating Political Polarization on Twitter: A Canadian Perspective menggunakan istilah “ Echo Chamber “ ( ruang gema ), karena internet menciptakan ruang gema yang berputar di situ situ saja mengelilingi sebuah kelompok pengguna.

Dalam bukunya Filter Bubble ( 2011 ), Eli Pariser menulis tentang bagaimana mesin pencari dan jejaring sosial menyaring perbedaan pendapat dan akhirnya hanya memunculkan dalam gelembung filter yang diinginkan penggunanya.
Dari penelusuran acak terhadap kicauan antar netizen tampak ada kecenderungan akun yang berkomentar positif terhadap pemerintah terhubung dengan akun akun dengan berkarakter sama. Sementara akun yang kontra pemerintah lebih banyak terhubung dengan akun yang juga sering menyuarakan opini yang sama.

Sebenarnya blogger bisa memainkan peranan dalam mengedukasi netizen. Banyak berita Hoax menjadi medium yang terus dipakai sebagai penyebar kebencian. Walau ada saja blogger yang menjadi ekstrim, namun secara umum blogger blogger yang saya kenal cenderung bersikap obyektif dan tidak melulu membabi buta. Kalaupun harus berpihak, mereka menyuarakan dengan cara yang tidak kasar.
Ada salah satu kekuatan blogger, yakni memiliki fitur social media lainnya disamping memiliki strong presence in social media. Blogger juga memiliki solidaritas dan kepercayaan satu sama lain, terutama ketika menjaring berita percakapan di internet. Jika saya mengenal integritas sosok blogger tertentu. Tentu saya akan lebih mudah mempercayai kredibilitas tulisannya.

Upaya pemblokiran situs juga tidak efektif, karena ketika 1000 situs penebar berita bohong ( hoax ) dan ujaran kebencian diblokir, pada saat yang sama muncul 1000 situs baru.
Sebenarnya UNESCO juga menawarkan program literasi media yang menuju sekolah sekolah. Salah satu hal yang dipelajari dalam program literasi media adalah pelatihan pengecekan informasi teks, foto dan video. “ Misalnya ada peristiwa ada peristiwa negara Arab yang mirip dengan tempat lain, bagaimana membedakannya. Hal ini dapat dipelajari “.

Indonesia bukan sekedar sekumpulan orang yang berkehendak bersatu atau mengutip Otto Bauer, persatuan perangai karena persamaan nasib. Indonesia menurut Soekarno ialah seluruh manusia manusia yang menurut geopolitik telah ditentukan oleh Allah swt, tinggal di kesatuan semua pulau pulau dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian. Seluruhnya ! Karena antara manusia 70 juta orang ini sudah ada “ le desir d’eetre ensemble “. Sudah terjadi.

Sebagai bangsa kita sudah mengalami peradaban yang luar biasa ketika bangsa bangsa Eropa masih berada pada jaman kegelapan. Namun sejarah mencatat kegagalan kita. Kini kita masih tetap salah satu bangsa besar, dan ironisnya masih saja terseok seok. Kita tidak bisa menganggap remeh tentang kebencian ini. Peradaban bisa hancur ketika perlahan lahan kebencian mengubah pola pikir sebuah bangsa.

Komitmen kebangsaan ini barang kali yang membuat konstruksi pikiran pikiran positif untuk hari yang lebih baik. Daripada terus terusan nyinyir, membangun konflik di TL. Kita lupa dengan esensi mengkonstruksi pikiran positif. Melihat keseharian Indonesia melalui media massa yang kita baca memang menjadikan pikiran pesimis tentang negeri ini. Korupsi, ketidakadilan, kejahatan, bencana membuat semuanya terasa apatis, namun kita harus tetap merekonstruksikan pikiran positif demi kemajuan bangsa.

You Might Also Like

2 Comments

Leave a Reply

*