Karaoke

Kalau harus memilih antara menyanyi di kamar mandi atau di ruangan kecil bertivi dan memiliki sound system, tentu saya akan memilih pilihan terakhir. Karaoke menjadi ruang perhentian kepercayaan diri. Tak perduli itu suara sember atau merdu.
Saya pertama mengenal karaoke dari negeri asalnya Jepang. Sewaktu homestay di Misake tahun 1987, sebuah kota pelabuhan kecil di dekat Yokosuka. Kira kira 4 jam berkendaraan dari Tokyo. Seingat saya belum banyak produk yang diciptakan Daisuke Inoue ini ditemui di Indonesia.
Sering saya diajak induk semang berkaraoke. Antara bingung karena dipaksa menyanyi didepan orang orang Jepang yang pulang kantor dan hostes hostes asal Philipina yang bertebaran.
Karaoke juga tercatat menjadi salah satu ekpor produk Jepang yang paling berpengaruh pada kehidupan umat manusia menurut Majalah Fortune.

Konon perdaban modern paling mudah ditandai dengan adanya karaoke karaoke yang bertebaran di pojok kota. Musik box sederhana atau ruangan mewah, sampai karaoke karaoke yang hanya menjadi kamuflase ruangan tari telanjang. Tak kecuali Jogjakarta, yang membutuhkan karaoke. Tentu saja Karaoke sesungguhnya, saat malam minggu orang orang berebutan antri menunggu jam jam bernyanyi.

Padahal baru siang tadi saya dijamu makan siang oleh teman lama GBPH Cakraningrat HB IX – adik Sultan HB X – di Pendopo Ndalem. Di rumah bekas kediaman Pangeran Pakuningrat, tempat kelahiran Sultan HB IX. Bersama Anto dan Herman , kami berbincang bincang tentang batik sampai wayang. Sementara Sarah lebih banyak diam sambil terus menguyah semur ayam ala Keraton yang empuk dan enak.
Ini menarik karena, disatu sisi ada kekuatiran bahwa budaya akan tergerus dengan jaman. Apresiasi terhadap batik yang perlahan akan hilang, beradu cepat dengan dentum bass lagu Teman Tapi Mesra. Ah ah ah.

pendopo ndalem3Tak ada yang salah. Manusia Indonesia memang suka menyanyi. Budaya nembang dan pantun bersenandung sudah ada sejak lama. Juga mantera mantera yang dinyanyikan. Selalu menjadi bagian dari hidup. Menidurkan anak, mencari cinta sampai mengundang dewa dewa untuk kesuburan tanah.
Karaoke juga bukan monopoli Glen Freddly atau Gun N Roses, ia juga ruang penggemar lagu lagu daerah. Tanjung Perak dan Dago Inang Sage. Bahkan Pangsit yang selalu menyukai lagu anak anak. Hanya saya belum menemukan tembang mocopat di Karaoke manapun. Siapa tahu kelak.

Ada saat kita bisa terhanyut dengan melodi lirik melankolis. Kita bisa menjadi orang lain begitu memasuki ruang kecil ini. Mungkin ini sekadar hiburan tapi berpotensi menjadi terapi hidup, ditengah ruwetnya problematika kehidupan sosial.
Eko yang sedang jatuh cinta, mungkin menemukan inspirasi kata kata rayuan dari lagu lagu Padi yang dinyanyikan dan seketika langsung disampaikan melalui sms kepada kekasihnya. Tak ada yang menduga kalau suara Sarah begitu dasyat seperti diva diva di panggung musik. Lihat saja atraksi wave menyembah Peter , Tika , Eko, Pangsit, Coro , Leksa , Anto, Herman sebagai tanda kekaguman.
Selalu saja menyenangkan bisa berdendang di karaoke. Siapa menyangka para eksponen Cahandong yang tadi siang menjadi penjaga gawang terakhir budaya negerinya, namun malam berkaraoke di Happy Puppies bisa bernyanyi sambil meliuk liuk seperti penari penarinya Guruh Soekarnoputera. Berjingkrak jingkrak menembangkan Hip Hip Hura Huranya Chrisye.

Ini memang terapi. Tidak penting apakah kita membutuhkan apa tidak, yang jelas dengan berkaraoke kita memahami mengapa manusia membutuhkan aktualisasi gaya hidup ini.
Kita tak perlu mengusirnya. Kita hanya perlu mengisinya dan sesekali menjadi bagian dari irama didendangkan dari sini. Karena suara kita selalu menjadi hasrat kebahagian, ketakutan dan harapan dalam hidup ini.
Suara itu tak pernah hilang sampai akhir jaman. Semoga begitu pula batik dan wayang kita.

You Might Also Like

52 Comments

1 2

Leave a Reply

*