Syahdan ketika Bung Karno, pertama kali datang ke Amerika Serikat pada era pertengahan tahun 50 an. Alih alih mengunjungi Presiden Dwight Einshower, di gedung Putih, Justru pertama tama yang dilakukan adalah mendatangi studio studio besar Hollywood, serta dapat berjumpa dengan artis pujaannya, Jane Mansfield. Hal itu membuktikan betapa besar perhatian Presiden pertama Republik Indonesia dengan dunia film. Tak hanya itu, dalam masa pemerintahannya ,beasiswa belajar di luar negeri diberikan kepada putra putri bangsa untuk belajar seni, seperti tari, lukisan, teater, sastra serta film. Sjumandjaya adalah salah satu sineas sineas terkemuka masa lalu yang sempat belajar film ( walau ) di Moscow. Bandingkan dengan jaman orde baru yang mana hanya insinyur teknik dan ahli pesawat terbang yang dikirim belajar keluar negeri. Saya tak bisa membayangkan lebih jauh, karena saat itu belum ada sinetron, acara TV, maupun film iklan. Namun satu hal perlu dicatat bahwa perhatian Pemerintah mengenai film nasional akan menentukan hidup matinya industri film itu sendiri. Film iklan sebagai salah satu tiang pondasi industri film nasional, berhak atas perlindungan sebagai lahan penghidupan yang patut dibina sebaik baiknya. Hal itu yang tidak terlihat dalam era era berikut pemimpin Republik ini.
Film iklan sendiri, berada dalam posisi ambivalen, disatu pihak dianggap sebagai bukan sebagai film utuh, karena kaitannya dengan pemasaran sebuah produk. Namun disisi lain, para pekerja film iklan juga merupakan bagian dari insan film yang juga bekerja di film layar lebar, sinetron, musik klip serta dokumenter. Kadang kadang, kita para sutradara film iklan sering dijuluki sutradara pelacur, karena bekerja hanya pada nilai uang, yang ‘konon’ memang lebih besar diperoleh dibanding bidang film lainnya. Selain itu, juga terlalu banyak kompromi yang diberikan dengan pihak advertising agency dan klien dalam mensiasati isi cerita, yang ujung ujungnya memang bermuara pada bagaimana produk itu bisa dijual. Sehingga banyak sutradara yang terbiasa dengan film layar lebar atau sinetron susah untuk bisa memasuki lahan ini, karena keengganannya untuk berkompromi dengan idealismenya. Tak salah kalau Maruli Ara, seorang sutradara terkemuka sinetron merasa kapok untuk ikutan mengerjakan film iklan.
Terlepas dari itu semua, seiring dengan globalisasi pemasaran produk, industri iklan di Indonesia ternyata berputar kapitalisasi modal yang luar biasa besarnya. Sebuah produk shampoo dari kelompok usaha terkemuka, bisa menghabiskan uang Rp 100 milyar setahun untuk promosi produknya, yang mana didalamnya terdapat elemen pembuatan film film iklannya. Ditambah dengan jumlah penduduk Indonesia yang nomor empat di dunia sebagai target konsumsi penjualan produk yang potensial, membuat angka pembuatan film iklan Indonesia terus meningkat setiap tahun. Sehingga mengundang banyak pekerja film asing baik yang resmi atau tidak resmi , untuk ikut mencari nafkah di Jakarta. Enison Sinaro, ketua KTF Asosiasi Sineas Indonesia, mengatakan bahwa ia ingin para mahasiswa mahasiswa IKJ saat ini bisa melihat, bahwa industri film iklan adalah salah satu lahan potensial yang bisa dimasuki oleh mereka. Walaupun hingga hari ini, tidak ada jurusan film iklan di lembaga pendidikan tersebut, namun sinyalemen dari rekan saya itu tidak salah dan patut diwujudkan.
Lalu bagaimana dengan Pemerintah kita sendiri ? sepertinya mereka masih asyik dengan permasalahan lainnya sehingga bidang usaha yang perputaran uangnya bisa mencapai trilyun rupiah setahun ini seperti dianaktirikan. Atau mungkin karena tidaktahuan mereka , boleh jadi kalau kita melihat di RUU Perfilman nasional yang akan dimajukan, sama sekali tidak mencantumkan apa itu film iklan. Untuk bisa berharap seperti Pemerintah Malaysia dengan kebijakan “ Made In Malaysia “ masih sangat jauh dan mungkin hampir mustahil. Tak ada dapat dipungkiri proteksi dan pembinaan yang dilakukan Malaysia telah menghasilkan sineas sineas dan pekerja film yang tangguh yang sekarang banyak bertaburan di kawasan regional Asia Pacific. Memang pada akhirnya kita tidak bisa menghidari arus perdagangan bebas dan globalisasi, namun rasa kebangsaan kita bisa terusik melihat begitu banyaknya pekerja film asing yang ‘ illegal ‘lalu lalang membawa pergi devisa negara. Bahkan untuk pekerjaan pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh anak negeri sendiri, seperti penata rias ataupun penata busana. Jangan jangan apa yang dikatakan Maruli Ara benar, bahwa film iklan Indonesia sangat elitis dan eksklusif, kita bagaikan menara gading di dunia film nasional.