Browsing Category

ISLAM

Melihat Muslim di Xinjiang

Setelah penerbangan 4 jam dari Beijing, akhirnya pesawat yang membawa saya mendarat siang hari di Bandara Urumqi, ibu kota Xinjiang. Tampak pegunungan Kunlun dengan puncaknya yang masih bersalju di bulan Mei menjadi latar belakang kota. Urumqi adalah kota modern dengan gedung gedung tinggi yang menjulang. Kota ini macet disana sini karena efek pembangunan konstruksi kereta bawah tanah seantero kota. Perjalanan menuju Xinjiang bisa merupakan kejutan setelah mengurus tiket pesawat dari Beijing usai menghadiri seremoni negara negara ‘ One Belt One Road ” di perusahaan Chetaah Mobile yang memproduksi aplikasi seperti Clean Master.

Xinjiang yang luasnya 1,6 juta kilometer persegi secara resmi disebut daerah otonom Xinjiang Uyghur terletak di Asia barat berbatasan dengan Kazakhtan, Russia, Mongolia di utara, lalu dengan Kyrgyztan, Tajikistan, Kashmir di barat.
Ada banyak suku suku di Xinjiang, namun tercatat 13 suku asli yakni: Uyghur, Han, Kazakh, Hui, Usbek, Kirgyz, Mongol, Tajik, Xibe, Manchu, Rusia, Daur, dan Tartar. Dari suku asli tersebut, Uyghur, Khazak, Hui, Tajik, Uzbek dan Tartar mayoritas beragama Islam. Bahkan Uyghur menempati 44 persen dari 24 juta penduduk di Xinjiang, sementara Kazakh hampir 7 persen.

Wajah etnis etnis yang berada di Xinjiang terutama Uyghur memiliki karakater yang berbeda dengan etnis Han yang menjadi mayoritas di daratan Tiongkok. Bola matanya yang lebar lalu wajah perpaduan antara ras mongoloid dan kaukasoid. Ada juga yang mewarisi garis garis wajah etnis Turki, karena konon etnis Uyghur berasal dari Turki. Kelak, saya mengatakan di akun twitter saya, bahwa wajah Raisa Raisa bertebaran di Xinjiang.

Suhu udara siang itu cukup sejuk, sekitar 22 derajat celcius dan terik matahari tak menghalangi saya keluar hotel sendiri, untuk menyusuri jalan jalan kota berbekal google translate. Saya cukup percaya diri berjalan kaki memasuki daerah pertokoan yang menjual makanan, pakaian, sepatu, telepon seluler sampai barang barang elektronik. Tampak penjagaan yang ekstra ketat, dimana setiap memasuki area pertokoan, gedung gedung harus melewati mesin scanner. Beberapa tentara tampak berjaga jaga di pojokan tanpa memberikan kesan seram bagi pengunjung seperti saya. Kerusuhan etnis beberapa tahun lalu, disamping ancaman teroris merupakan momok bagi Pemerintah pusat, sehingga pengamanan masih diberlakukan di seluruh propinsi.

Sebelum tiba di Urumqi, saya sudah mengantongi begitu banyak informasi tentang penindasan kaum muslim, yang umumnya saya dapat dari berita berita dalam dan luar negeri. Misalnya larangan mengenakan jilbab, shalat, berpuasa, naik haji dan sebagainya.

Continue Reading

Masih perlukah simbolisasi Islam ?

Abu Maksum mungkin bisa menceritakan perjalanan hidupnya membela partai Islam di Indonesia. Dia Kiai kampung pinggiran kota Jakarta yang pada jaman orba setia membela partai Kabah. PPP. Apalagi ketika Jakarta tahun 1977 dimenangkan oleh PPP, dan Pemerintah Pusat menghukum mereka yang tidak memilih Golkar, dengan derap pembangunan yang tidak menyentuh kampungnya di dekat Mampang Prapatan. Seperti jalanan becek tidak beraspal.
Ia sadar bahwa orde baru memberangus ide ide Islam dalam politik termasuk menembaki mereka dituduh fundamentalis. Untuk itu Abu Maksum sangat benci kepada Soeharto. Dia menganggap Soeharto sebagai simbol kekuasaan kebatinan Jawa yang berlawanan dengan syariat.

Sampai suatu hari Soeharto naik haji dan menambahkan Muhammad didepan namanya. Soeharto juga membentuk organisasi cendikiawan Muslim. Bahkan dalam malam takbiran di Monas. Soeharto dengan suara serak terbata bata melantunkan takbir. Abu Maksum melihat dari siaran TV, serta merta bersujud. Dia bukan lagi Abu Maksum yang membenci Soeharto. Dia mencintai Soeharto.

Abu Maksum adalah potret dari jutaan umat muslim masih mementingkan perjuangan simbolis. Dengan kepentingan politik siapapun. Orang bisa memanipulasi orang orang seperti Abu Maksum. Datanglah kepada mereka dengan sorban dan berbicaralah dengan mengutip ayat ayat Al Qur’an dan Hadits. Mereka akan menaruh respek yang luar biasa, sekalipun sebelumnya anda membunuhi umat Islam. Rhoma Irama bisa mewakili ini juga. Setelah melihat rekonsiliasi Soeharto dengan Islam, Bang Haji bersedia menjadi jurkam Golkar pada pemilu 1997.

Dulu orde baru menganggap partai Islam sebagai barang terlarang. Jaman berubah. Kini muncul partai tanpa rasa kikuk menggunakan Islam sebagai asas. Bagi kalangan minoritas, fenomena itu tak perlu ditakutkan. Pertama karena penduduk Indonesia beragam, maka tak ada yang bisa menguasai Republik ini sendirian. Maka diperlukan loyalitas warga untuk mengikat ‘ rumah ‘ Indonesia, bukan dalam ikatan agama tapi pertalian ragam kelompok.
Kekuatan beberapa partai Islam bukan merupakan kekuaatan yang monolistis. Banyak tokoh atau umat Islam sendiri tidak masuk dalam partai Islam apapun. Ini menunjukan mitos “ ukhuwah ‘ Islam akan terus kuat dan berbentuk dalam beberapa wujud. Tidak harus dalam kesamaan platform politik. Dalam keadaan itu menuduh yang berbeda dengan ‘ kafir ‘. “ murtad ‘ atau ‘ halal darahnya ‘ tidak akan selalu laku.

Continue Reading

NU & Sukarno

Banyak yang bertanya tanya, apakah NU itu semacam ormas semangka ? Luar hijau tapi dalamnya merah. Analogi ini mengacu pada kedekatan kaum nasionalis dengan nahdliyin sejak dulu.. Kita tentu mengingat awal awal orde reformasi, Gus Dur sendiri menitipkan keponakannya untuk ditaruh di PDI P. Selain itu konsistensi NU dalam menyikapi masalah kebangsaan dari bingkai pluralisme, menjadi benteng terhadap gerusan ide ide sectarian dan negara Islam. Tentu kita harus menarik garis merah sejarah bagaimana nasionalisme melalui Sukarno bisa bertautan dengan Islam.

Pada tahun 1930an, tulisan tulisan Sukarno tentang kebangsaan, sudah dibaca dan dikagumi di kalangan pesantren.. Khususnya tulisan Sukarno “ Mencapai Indonesia merdeka “ yang memberikan obor semangat nasionalisme pada para santri. Sehingga walau tidak ada bukti kedekatan fisik antara Sukarno dan NU, namun dalam tingkat ide, pemikiran Sukarno bukan sesuatu yang asing bagi NU.
Ini menjelaskan artikel “ Riwayat singkat Nahdlatul Ulama “ dalam Majalah Gema Muslimin – yang dimuat Feb 1945 – menulis bahwa para santri di Tebu Ireng tahun 1930an sudah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya setiap hari kamis, setelah mata pelajaran terakhir.

Pada muktamar NU ke 25 di Surabaya tahun 1940, NU justru melihat Sukarno – yang saat itu dalam pembuangan – menjadi calon pemimpin Indonesia yang mumpuni jika Indonesia merdeka kelak. Saat itu dibuat semacam konvensi Presiden masa sekarang, yang dipimpin oleh KH Mahfud Siddiq. Mereka berkumpul memilih nama nama calon pemimpin yang muncul dari tokoh tokoh pergerakan Islam atau kebanggasaan. Dari 11 ulama senior dalam pemilihan konvensi itu, 10 memilih Sukarno dan 1 memilih Hatta.

Menarik mengapa justru Sukarno yang sekular yang terpilih, bukan Hatta yang dari permukaan tampak lebih Islami.
Ada beberapa persamaan Sukarno dan NU. Sama sama Jawa Timur dan sama sama mencintai kebudayaan lokal, sehingga agama dan budaya bisa menjadi satu, menjadi Islam. Namun lebih dari itu, sejak lama NU mengamati tulisan tulisan Sukarno, dan khusus pada tulisan ‘ Nasionalisme, Islam dan Marxisme ‘.
Mereka terpukau bahwa Sukarno menawarkan titik temu antara nasionalisme dan Islam. Ini menunjukan kesamaan pola pikir, NU mempunyai metodologi yang nyaris sama. Gemar menyatukan dua hal yang tampaknya berbeda.

Continue Reading

Haruskah aku memusuhi mereka ?

Haruskah Aku Memusuhi Mereka yang bukan Islam dan Sampai Hatikah Tuhan Memasukan Mereka ke Dalam Api Neraka ? – September 1969

Ini adalah penggalan dari catatan harian yang menggetarkan dari seorang pluralis, Ahmad Wahib yang seandainya masih hidup mungkin akan berhadapan dengan golongan garis keras. Saya mengutipnya, karena Catatan harian saat itu , berisi pergulatan pemikirannya tentang pluralisme dan saat ini .masih relevan, ketika persoalan keragaman masih menjadi issue bangsa ini.

Kali ini issue LGBT ( lesbian, gay, bisexual, and transgender ) sudah beberapa lama memenihi time line saya karena postingan bertubi tubi seorang sahabat. Tiba tiba saja saya teringat pengalaman Bung Karno. Dalam penjara di Sukamiskin, Bung Karno pernah mengalami ‘ ditaksir ‘ seorang lelaki Indo Belanda yang juga menjadi tahanan di sana.
Tentu saja Bung Karno merasa ketakutan. Bagaimana tidak, sebagai seorang pencinta wanita yang ulung, kini harus berhadapan dengan lelaki yang tulen dalam penampakan. Tentu saja Bung Karno menolak rayuan tadi. Selain dia lelaki normal, Bung Karno tentu paham, saat itu menjadi homoseksual bisa dihukum pidana oleh pemerintahan kolonial. Pelukis Jerman, Walter Spies pernah dipenjara di Bali tahun 1938, karena tuduhan homoseksual ini.

Memang tidak sesimpel itu, kita menaruh stigma dosa di kening mereka. Membawa dogma agama juga tidak akan menyelesaikan masalah. Tentu kita sepakat. Tidak hanya Islam. Dalam Kristenpun, menolak hubungan sejenis. Sebegitu murkanya Tuhan, melihat umatnya melakukan praktek ini, sehingga sebelum menghancurkan Sodom dan Gomorah. Ia bersabda. “ Tunjukan kepadaku lima orang saja yang baik, sehingga aku tak akan menghancurkan kedua kota ini “.

Ini menjadi pelik ketika sekelompok orang – atas nama Tuhan – menunjukan kebenciannya untuk menggerus mereka yang memiliki orientasi berbeda. Agama menjadi polisi, dengan pecut neraka di tangan kanannya dan api di tangan kirinya.. Tentu saja saya tidak akan mendebat dalam ranah agama. Karena siapa yang akan menyangkal kebenaran Islam.
Saya sepakat dengan orang orang yang menghujat LGBT bahwa Islam adalah jawaban semuanya. Jika itu sudah menjawab atas segala pertanyaan alam semesta. Mengapa kita harus memaksakan kebenaran Islam dengan aroma kebencian versi kita.

Tapi Mas, saya tidak benci dengan LGBT. Saya punya teman teman baik daei mereka juga. Saya hanya benci dengan kegiatan komunitasnya. Saya benci karena ini dilarang agama. Saya benci mereka yang menyebar brosur. Saya juga benci ke mereka yang meminta perkawinan sejenis dilegalkan disini. Begitu seorang ‘ sahabat ‘ yang berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada saya.
Apakah ini menjelaskan semuanya ketika dalam kampanye ini kamu justru menggandeng akun akun atau kelompok yang berpotensi menyebar kebencian selama ini ? Paradoks pada akhirnya.

Continue Reading

Lagi : Islam Sontoloyo

Sontoloyo, kuwi ateges wong kang nduwèni panggawéyan angon bèbèk. Mulanè ana tetembungan ‘Sontoloyo, angon bèbèk ilang loro’. Terjemahan : “Sontoloyo adalah orang yang memiliki pekerjaan sebagai penggembala bebek. Oleh sebab itu, ada ujaran, ‘Sontoloyo, menggembala bebek hilang dua’.
Sementara menurut kamus kata lainnya. Arti Sontoloyo : konyol, tidak beres, bodoh (bisa dipakai sebagai kata makian )

Bung Karno pernah memakai istilah ini ketika menggugat kelakuan umat yang membela aturan fikih, padahal ada yang berkonsekuensi menjadi dosa menurut agama, namun dihalalkan menurut fikih itu sendiri. Rasa geramnya terhadap praktek pat gulipat terhadap agama ditulisnya dalam artikel berjudul “ Islam Sontoloyo “ yang dimuat majalah ‘ Panji Islam ‘ pada tahun 1940. Tentu saja jika Bung Karno masih hidup, tentu saya akan meminta dia untuk mengecam para penganut Islam di jaman sekarang yang masih saja sontoloyo.

Islam sebagai agama mayoritas ternyata telah menggoda orang orangnya dengan bungkus syariat untuk bertindak seolah sebagai satu satunya pemilik sah negeri ini. Pemaksaan , ancaman dan kekerasan adalah cara yang paling mudah untuk memaksakan sebuah ide besar tentang negara Islam yang ideal.
Bukan omong kosong, jika eskalasi jumlah kekerasan terhadap kaum minoritas atau bahkan mayoritas yang berseberangan semakin meningkat. Cara cara preman untuk memberangus kemajemukan dan demokrasi itu sendiri. Akhirnya Islam menjadi alat pemukul. Benar benar Sontoloyo.

Continue Reading

Lebaran

Saya sudah tidak mungkin membawa anak lanangku merasakan mudik lebaran. Wong, eyang putrinya sekarang tinggal di Jakarta. Sementara dulu saya berhimpitan dengan tumpukan tas, rantang makanan, bantal, serta keluarga dalam mobil yang membawa menuju Jogyakarta dan Solo. Kadang juga naik kereta api. Tujuannya satu. Mudik ke rumah ndalem simbah.
Pengalaman kultural ini yang mungkin tak terjadi pada generasi anak saya.
Baginya lebaran hanya berkumpul dirumah neneknya, makan ketupat dan ujung ujungnya menjelang sore, mengajak ke Pondok Indah Mall. Setelah seharian bosan pada acara keluarga. Tidak ada perjuangan menembus jalanan pantura. Tertawa tawa melihat becak becak di Jawa Tengah yang gemuk mlenuk. Karena becak di Jakarta – waktu itu – masih kurus kurus. Mata kami juga was was sewaktu melewati hutan alas roban yang dulu begitu angker dan wingit.

Di rumah simbah, kami semua cucu tidur ramai ramai sambil menggelar kasur, karena kamar kamar utama dipakai orang tua kami masing masing. Jadilah lebaran bukan saja prosesi agama, tetapi juga prosesi liburan yang selalu ditunggu setiap tahun.

Perjalanan mudik bisa merefleksikan seperti perjalanan puasa. Berat dan penuh godaan. Macet, berhimpit himpitan merupakan perjuangan untuk bisa sampai di kampung halaman. Mudik menjadi hakiki bagi terutama orang Jawa. Namun bisa jadi tak berarti apa apa, karena perjuangan itu masih dalam taraf ana insan ‘ aku manusia ‘ . Hiruk pikuk rebutan tiket bersaing dengan calo dan copet. Kesibukan oleh ego eksistensi sebagai manusia yang bagaimana caranya harus pulang kampung.
Barangkali mudik memang lebih kepada pemindahan asset ekonomi. Membawa uang juga menularkan konsumerisme untuk kampung halaman. Benar benar prosesi liburan yang selalu sama dari tahun ke tahun, sebagaimana masa kecil saya.

Continue Reading

Apa yang kau cari FPI ?

Suatu Malam 12 desember 2000, saya masih menikmati sea food platter di bagian belakang Restaurant Café “ Pasir Putih “ di Kemang. Ada dua bagian, satu di depan – dalam gedung, yang bisa menonton pertunjukan band, dan satu lagi di belakang – di luar, bersebelahan kolam renang. Musik bukan pilihan kami malam ini, rombongan para pekerja film yang kelaparan setelah seharian pre production di sebuah PH yang memang berlokasi seputaran Kemang.

Tiba tiba terdengar hiruk pikuk di dalam. Sekejab , segerombolan orang orang memakai jubah dan kopiah putih menyeruak dan berteriak teriak mengusir semua yang berada didalam. Asisten asisten saya yang wanita, hampir menangis ketakutan. Serentak, kami berhamburan pergi, dan tentu saja harus melewati bagian dalam menuju arah keluar, karena memang bagian belakang merupakan jalan buntu.

Apa yang saya lihat, menjadi jelas bahwa ini sebuah tindakan barbar. Anarkis. Sambil memporak porandakan meja makan, mereka merangsek ke area bar tender. Suasana benar benar chaos, diantara teriakan mereka juga menghancurkan mesin kasir, dan yang mengagumkan menjarah botol botol minuman serta merogoh tas tas yang ditinggalkan pemiliknya. Kelak dalam laporan ke polisi, sejumlah orang melaporkan kehilangan handphone, dompet dan beberapa miliknya yang berharga.
Seorang penyanyi wanita band yang memakai kostum ketat , tampak jongkok bersembunyi di pojokan. Tapi tak lama. Ia di suruh keluar oleh gerombolan berjubah itu sambil di caci maki atas nama Tuhan.

Di halaman parkir, mereka juga menghancurkan neon sign restaurant. Ternyata rombongan sebelumnya juga menghancurkan ‘ Salsa “ sebuah klub malam yang tak jauh dari ‘ Pasir Putih ‘. Mengherankan tak ada polisi atau aparat keamanan yang datang, padahal kurang lebih sekitar 300 meter ada Pos Polisi sektor Kemang. Sebuah mobil patroli baru datang hampir ketika massa gerombolan itu sudah menyelesaikan tugasnya, dan berteriak teriak di halaman parkir. Tak jelas apa yang dibicarakan antara pimpinan rombongan dan polisi itu. Ada kesan, polisi hanya berusaha memenangkan massa itu. Tidak mengusir apalagi menangkapnya.
Lihat pernyataan Brigadir Jenderal Saleh Saaf, Kepala Dinas Penerangan Markas Besar Polri , dua hari setelah kejadian ini. Mereka menyesalkan dan berjanji mengusut aksi ini. Secara runtun petinggi polisi itu mengakui bahwa organisasi ini dulunya merupakan partner polisi. “ Waktu itu mereka diarahkan bekerjasama dengan Polri “.
Kini anak macan itu telah berubah dewasa dan menyusahkan patronnya sendiri.

Continue Reading

Obama vs Hisbut Tahrir

Obama tidak jadi datang. Ditunda untuk beberapa waktu dengan meninggalkan kerepotan tuan rumah yang sudah mempersiapkan sambutan. Secret service yang sudah dikirim jauh hari bersama kapal kapal fregat Amerika yang sudah bersandar di pelabuhan Benoa, Bali, kini lebih rileks menikmati liburan.
Saya bersama Enda, Wicak dan beberapa teman blogger yang tadinya sudah direncanakan bertemu dengan seorang pejabat penting dari Amerika untuk membahas perkembangan issue issue internet sehubungan dengan kedatangan Obama, juga dibatalkan.
Ya tidak apa juga. Tidak ada yang membuat kecewa saya rasa.
Dan saya juga tidak segirang Hisbut Tahrir Indonesia yang dari tadi memang menyuarakan penolakan Presiden Amerika yang dianggap sebagai bagian dari simpul konspirasi kafir yang menindas Islam.

Jadi apa yang dipetik dari hiruk pikuk ini. Di satu sisi saya melihat bahwa negeri ini bisa jadi begitu menakutkan dengan sebagian rakyatnya yang sangat tidak toleran dan fanatik. Perjuangan Hisbut Tahrir untuk menegakan khilafah di muka bumi menjadi antesis demokrasi dan pluralisme yang bagi sebagian orang sudah menjadi pilihan tepat bagi bangsa ini.
Katakanlah pemahaman saya tentang Islam masih dangkal. Tapi di sisi lain, akal sehat saya tidak bisa menerima pemikiran bahwa sesuatu yang berbau barat harus dibuat haram. Entah itu demokrasinya atau kebiasannya.

Continue Reading

Pembebasan Idul Fitri

Idul Fitri menjadi cultural dan festive, karena itu kita menyebutnya hari Raya. Bahasa arabnya Yaummul Haflah, hari pesta. Setelah sebulan berpuasa, menahan lapar dan godaan. Puncaknya adalah Ramadhan, Allahu Akbar Hari Raya. Kotbah di masjid menjadi tidak penting, karena ibu ibu harus pulang lebih dulu memanaskan opor ayamnya serta harus membelah belah ketupatnya. Sementara ia semobil dengan sang bapak, anaknya. Mau tidak mau mereka juga harus permisi lebih dulu.
Kini saatnya balas dendam di hari kemenangan. Menyantap aneka ragam gulai dan penganan selama seminggu. Walhasil kolesterol, dan penyempitan jantung menunggu di ruang tunggu dokter bulan depan.

Menarik, menurut Radea Juli A Hambali, idul fitri tidak hanya sarat makna spiritual , tetapi menjadi locus dari semangat pembebasan berdimensi sosial. Tentang bagaimana membebaskan masyarakat dari jerat kemiskinan, ketidakberdayaan, kesewenangan dan perilaku zalim yang dapat merusak tatanan masyarakat madani.

Continue Reading

Laskar dari Surga

Siang ini serombongan pasukan bermotor berjubah ala pangeran Diponegoro mulai meraung raung melewati kantor saya. Sambil membawa bendera hijau yang melambai lambai perkasa. Matanya jalang mencari cari pendosa di pinggir jalan.
“ Awas kau orang orang yang tak berpuasa “
Warung warung tegal seketika menutup pintunya. Tukang parkir menyembunyikan plastik teh es dibalik tong sampah. Takut karena tak melaksanakan perintah agama.
Selamat datang balatentara surga !

Urusan Jalan Pintas

Suka tidak suka, bangsa kita memang paling suka membangun jalan tol dimana mana. Konon jalan pintas, bebas hambatan yang akan memperlancar transportasi antar kota. Wapres Jusuf Kalla mencanangkan infrastruktur jalan tol harus dibangun untuk menghubungkan seluruh kota kota di pulau Jawa.
Mempercepat arus perpindahan manusia dan juga komoditi industri. Apakah ini salah ? tidak juga. Dahulu Gubernur Jendral Raflles menempuh jarak seminggu perjalanan dengan kereta kuda dari Bogor ke Semarang. Bahkan catatan Charles Walter Kinloch – petualang dari Inggris – pada tahun 1852 harus memakan waktu 3 hari dari Batavia ke Cipanas !
Jadi memang jalan dibutuhkan untuk membuka isolasi daerah daerah. Tetapi kalau semua titik dan kota dibuat jalan pintas ala jalan tol – disamping jalan biasa – rasa rasanya ada yang tidak benar dengan cara mengurus negeri ini.

Continue Reading

Have you seen the Light ?

Bulan Ramadhan selalu memberikan saat refleksi diri sendiri terhadap komitmen kita terhadap Sang Khalik.  Tentu saja berbeda sewaktu saya kecil, bagaimana bisa melewati bulan puasa untuk mencapai baju baru atau opor ayam , sambel goreng ati – dengan pete yang mentes mentes – di hari lebaran.
Terus terang pemahaman saya tentang agama tidak begitu excellent. Sholatnya juga masih tambal sulam. Kalau menilik disertasi Cliffort Geerzt tentang Islam di Indonesia, jangan jangan saya dikategorikan Islam abangan. Juga latar belakang keluarga kejawen yang mungkin tidak terlalu mementingkan konsep ritual.
Tapi, Alhamdulillah puasa masih lancar sampai hari ini.

Ada suatu peristiwa di Bali beberapa tahun lalu yang sering saya kenang.  Gili Topekong nama sebuah pulau kecil batu karang di lepas pantai Candidasa adalah sebuah obyek penyelaman yang cukup terkenal. Bedanya, hanya para penyelam yang memiliki jam terbang tinggi bisa menyelam disini. Ini karena, arusnya sangat berbahaya. Tercatat banyak korban tewas dan hilang ketika menyelam di sini.

Continue Reading