Browsing Category

Budaya

Sang Raksasa muda, Indonesia

Sekitar 60 bocah berkumpul di bantaran sungai yang berumput di dataran tinggi Sumatra, tak jauh dari BukitTinggi. Mereka berjejer dalam satu barisan panjang yang berawal dari lokasi penggalian di sisi sebuah bukit. Mereka memindahkan bebatuan dari satu orang ke orang berikutnya, menumpuk bebatuan tersebut di samping gubuk beratap seng yang tak berdinding dan berlantai.

Bocah – bocah itu berkumpul setiap akhir pekan selama dua bulan terakhir untuk membangun sekolah mereka dan akan terus melanjutkannya selama satu tahun hingga selesai. “Di Indonesia”, kata salah seorang guru mereka, “kami menyebutnya gotong royong, bahu membahu untuk menolong sesama”.

Hasrat untuk maju menyelimuti negeri berpenduduk 79 juta jiwa. Demikian tertuang dalam artikel tentang Indonesia di NATIONAL GEOGRAPHIC edisi September 1955 . Saat itu, bangsa dari negeri yang belia ini memiliki semangat dalam mengasah potensi untuk menjadi salah satu negara terkuat di Timur Jauh.

Indonesia, sebuah bangsa yang baru berusia 10 tahun, sangat menggantungkan diri pada semangat gotong royong dalam upayanya bertahan hidup. Dengan populasi yang menduduki urutan keenam terbesar di dunia dan berpotensi menjadi salah satu negara terkuat di Timur Jauh, republik yang belia ini masih tertatih tatih akibat ekonomi yang karut marut dan kemelut politik yang diwariskan oleh satu dekade agresi mantan penjajah, revolusi, dan perang saudara.

Namun kini Indonesiat tengah menegakkan tubuhnya, berupaya menangani masalah-masalah yang paling mendesak – khususnya pendidikan – dan “saling membantu satu sama lain” untuk menuju kedewasaan. Lebih dari 16.000 kilometer panjang dan lebar kepulauan tersebu dijelajahi untuk menyaksikan Indonesia bekerja keras demi sebuah proyek besar pembaharuan bangsa.

Masyarakat di republik yang baru ini masih berupaya mengenali  negaranya sendiri serta saling membandingkan perilaku dan aspirasi antar daerah dalam setiap kesempatan. Ini bukanlah tugas yang mudah. Bangsa Indonesia terdiri dari 79 juta jiwa yang berbicara dalam 2.000 bahasa daerah dan hidup berkelompok di ribuan pulau yang tersebar di khatulistiwa. Namun beberapa karakteristik nampak sama jelasnya di berbagai daerah di kepulauan tersebut. Masyarakat Indonesia sangat ramah, sangat sopan, sangat bersih – dan tidak terburu – buru. Di setiap daerah, siapapun bias merasakan energi anak muda yang berlebih.  Bertubuh lentur dengan proporsi yang baik dan berotot, mereka berjalan dengan kepala tegak, bangga, dan melangkah selincah penari. Kenyataannya, sebagian besar diantara mereka dapat menari. Jarang sekali mereka meninggikan nada bicara kecuali ketika tertawa dan tampak tidak pernah marah. Namun jika mereka benar – benar mengamuk, waspadalah “Amok” alias mengamuk adalah istilah yang berasal dari wilayah ini.

Continue Reading

Peran Tionghoa dalam keprajuritan dan pertempuran di Indonesia

Prabowo mengingat jaman di Timor Timur, ada 2 sukarelawan Tionghoa yang ikut bertempur bersamanya tahun 1978. Domingus asal Ossue dan Roberto Lin Lin Kai dari Vikeke. Mereka ikut bertempur tanpa jabatan, tanpa ikatan dinas demi merah putih.

Mantan KSAL Bernard Sondakh punya kisah menarik tentang seorang perwira etnik Tionghoa yang berdinas di KRI. Masa itu persoalan rasial masih sangat terasa. Perwira ini sering diejek dengan panggilan ‘ Cino ‘ dan disepelekan oleh teman temannya. Suatu hari ada kebakaran di kamar mesin, dan semua berlarian mencari selamat. Justru si ‘ cino ‘ ini yang seorang diri masuk ke kamar mesin, berjuang memadamkan api. Setelah api padam, dengan baju kotor ia berkata di depan Komandan dan teman teman perwiranya, “ ternyata hanya perwira Cino yang tidak takut mati “. Sayangnya karena kekecewaan yang berat, kelak ia meminta berhenti dari TNI AL.

Persis cerita di atas, Ben Sondakh melanjutkan, kisah seorang perwira Marinir etnik Tionghoa yang paling berani dalam pertempuran di Timor Timur. Dia yang selalu diejek, ternyata menunjukan keberanian yang luar biasa. Sayang akhirnya gugur dalam pertempuran jarak dekat.

Mantan gubernur Sumatera Selatan, Asnawi Mangkualam pernah menuturkan pengalamannya dalam ‘ Perang kota 120 jam ‘ di Palembang 1 Januari 1947. Saat itu ia masih Letnan bersama Kapten Makmun Murod dan Kapten Ryacudu memimpin laskar rakyat menghadapi Belanda yang menyerbu Palembang. Ia mengenang ada satu anggotanya keturunan Tionghoa yang bernama Sing yang berbaur bersama rakyat lainnya, bertempur untuk negerinya. “ Pak As, saya kena “ Segera Letnan Asnawi menyambut tubuh Sing yang hampir rubuh dengan dada berlumuran darah. Akhirnya Sing meninggal karena luka yang parah.

Tahun 1950, setelah menerima pengakuan kedaulatan dari Belanda, negeri ini melakukan pembangunan segala bidang termasuk pertahanan. Maka TNI AU membuka pendaftaran menjadi pilot pesawat . Setelah melalui seleksi dari 300 peserta, dipilih 60 pemuda pilihan yang akan diberangkatkan ke sekolah pilot Transocean Air Lines Oakland Alameda ( TALOA ) Academy of Aeronautics di Bakersfield California. Mereka adalah instruktur dan navigator dari pilot pilot generasi awal TNI AU. Diantaranya Omar Dhani, Saleh Basarah, Sri Mulyono Herlambang dan juga 2 orang etnik Tionghoa. Gan Sing Liep dan The Tjing Hoo.

Nama mereka tercatat dalam sejarah resmi TNI AU sebagai navigator pesawat Hercules dalam konflik Trikora. Saat itu dilakukan operasi penerjungan di daerah sekitar Merauke yang didukung 3 pesawat Hercules. Kedua perwira Tionghoa tadi menjadi navigator di 2 pesawat tersebut.

Kapten Benny Moerdani yang menjadi komandan dalam operasi Naga, sempat memancarkan kekuatiran sebelum lepas landas. Barangkali pertama kali, ia harus melakukan operasi lintas udara di daerah musuh yang sama sekali buta. Letkol Udara Moh Slamet lalu menghampiri Kapten Benny Moerdani. “ jangan khawatir, saya pilihkan the best navigator – Mayor Gan “. Rupanya di kalangan AURI, Mayor Gan dikenal sebagai navigator terbaik.
Gan Sing Liep yang lahir di Tuban 1928 kemudian berganti nama menjadi Sugandi. Ia pensiun dalam pangkat Marsekal pertama, serta dimakamkan di TMP Kalibata.

Continue Reading

Berkepribadian dalam budaya

Ketika era kolonialisme pendudukan sebuah bangsa secara fisik berakhir, seorang intelektual Italia Antonio Gramsci pernah menjelaskan, bahwa kekuasaan yang menindas berupaya menguasai seluruh keadaan melalui cara yang paling kuat yaitu hegemoni, baik dalam tataran nilai ataupun tindakan. Hegemoni ini bisa mempengaruhi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi dan budaya. Ini yang membuat Bung Karno memiliki gagasan untuk menghadapi gelombang hegemoni dari pihak luar .

Tudingan Bung Karno anti dengan produk barat, tidak sepenuhnya benar. Bahwa Bung Karno melarang ikon barat – misalnya musik Beatles – lebih karena sebagai bagian dari kebijakan politik melawan Nekolim saat itu. Namun Bung Karno tidak serta merta anti musik asing, karena dia juga menyukai lagu lagu soprano dari Itali misalnya.

Ketika itu Bung Karno memang sedang ngambek berat pada negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika, karena sikap dua negara itu bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia. Ia membutuhkan sebuah simbol untuk dilawan, sehingga Bung Karno perlu menegaskan identitas kebangsaannya melalui Trisakti, salah satunya adalah ideologi berkepribadian dalam budaya.

Kalau melihat sejarah masa mudanya, Bung Karno tumbuh dan besar bersama film film Hollywood, jadi hampir tidak mungkin dia anti film film Amerika. Bung Karno mengakui belajar bahasa Inggris dari kebiasaannya nonton film Hollywood. Bisa dikatakan ia memuja film Hollywood. Sewaktu muda, ia memiliki bintang film idaman bernama Norman Kerry. Seperti remaja Indonesia saat ini yang berusaha meniru penampilan bintang K Pop Korea. Bung Karno juga mencoba memelihara kumis tipis melintang – ala Norman Kerry – yang ujungnya melengkung ke atas. Namun, usahanya gagal. Ternyata, kumis Bung Karno tidak melengkung. Ia akhirnya menghentikan usaha meniru aktor pujaan banyak orang saat itu.

Ketika melakukan kunjungan pertama ke Amerika tahun 1956, hal pertama yang dilakukan Bung Karno adalah mengunjungi Hollywood. Ini merupakan impian masa muda yang akhirnya terwujud. Berbicara dengan bintang film kondang disana.
Kecintaannya pada film film Amerika tak menghalangi kebijakan politiknya untuk berpihak pada film nasional. Era orde lama hampir seperti saat ini, ketika film film Amerika mendominasi layar layar bioskop. Film nasional, yang mulai bangkit tahun 1950, tak bisa masuk bioskop kelas satu. Sehingga Pemerintah harus melobi Bill Palmer, bos AMPAI ( American Motion Picture Association of Indonesia ) agar film Krisis, garapan Usmar Ismail bisa tayang dan bertahan selama 35 hari di bioskop Metropole, Jakarta. Insan film juga berhasil meyakinkan Walikota Jakarta Soediro agar mengeluarkan “wajib putar” film Indonesia di bioskop Kelas I, walau pelaksanaannya kurang lancar.

Continue Reading

Tentang seks dan budaya

Dalam perjalanan ke Negeri Belanda, saya menyempatkan mampir ke Museum Sex di Amsterdam. Tentu saja saya ingin tahu apa sih yang dipajang di dalamnya. Isinya sih biasa biasa saja. Ada beberapa hal dimana toko obat dan sex Ma Huan di sepanjang jalan Jatinegara lebih menarik isinya. Namun yang menarik adalah tentang sejarah sex di negeri negeri jajahannya termasuk Indonesia.
Ada beberapa photo hitam putih yang menunjukan adegan hardcore antara pria Belanda dan wanita pribumi. Kalau tidak salah photo itu diambil pada awal abad 20.

Secara tidak langsung menegaskan, gadis pribumi itu mungkin orang Indonesia pertama yang mempertontonkan pornografi.
Selanjutnya pada tahun 1929, sebuah film berjudul Rahasia Borobudur menjadi polemik karena mengambil gambar adegan ciuman. Sesuatu yang sangat baru pada masa itu. Tahun 1950 an, Nurnaningsih menimbulkan kehebohan karena berani tampil seronok dalam filmnya ‘ Krisis ‘ dan ‘ Harimau Tjampa ‘.
Pada tahun 70an. Rahayu Effendi menjadi simbol seks ketika berani bugil dalam filmnya ‘ Tante Girang ‘. Demikian juga Suzanna dalam ‘ Bernafas dalam lumpur ‘.

Ada salah satu peristiwa yang saat itu juga menghebohkan, adalah beredarnya Kalender 1984 berisi foto bugil para model Indonesia. Seusai sekolah kami memburu kalender itu di Jalan Sabang.
Yanti Kosasih, Dewi Angraini Kusuma, Rina Susan, Sylvia Karenza, Retno Susan dan Dewi Noverawati akhirnya dibawa ke pengadilan karena mempertontonkan kemolekan tubuhnya. Namun tidak sampai dihukum atau divonis oleh Majelis.
Tahun yang sama juga, dunia video kaset Betamax dihebohkan dengan pemunculan film blue asli pemain Indonesia. Setelah menonton Sex Boat , Emmanuelle atau Debby Does Dallas pada jaman itu. Film Blue lokal sangat parah pengambilan gambar dan pencahayaannya. Asal asalan dengan memakai pelacur murahan dan model prianya konon seperti tukang becak ! Anglenya pun monoton.

Continue Reading

Pulang

Jumlah pemudik yang akan keluar dari Jakarta pada tahun ini ( 2013 ) diperkirakan berkisar 9.7 juta orang. Sementara secara nasional, jumlah pemudik akan menggerakkan 18 juta orang yang pulang kampung. Berbeda dengan mudik thanksgiving di Amerika atau sincia di Cina. Mudik disini terasa, rasa kebersamaannya, ketika berjuta juta orang bergerak menuju kampung halaman secara bersamaan dengan berbagai alat transport. Mobil, bus, pesawat, kapal, truk, motor sampai bajaj. Bikin infrastruktur jalanan macet karena tidak kuat menampung beban yang membludak.
Para pemudik, tetap saja bergembira bertemu handai taulan. Inti hakekatnya adalah pulang. Momen lebaran adalah waktu yang tepat. Tidak salah, karena Idul Fitri di Indonesia bersifat kultural. Kita memanggilnya hari raya. Bahasa Arabnya Yaumul Haflah, hari pesta.

Selalu ada rasa ingin pulang, saat kita merasa jauh bepergian. Ini mungkin ciri yang mudah ditandai dari orang Indonesia. Saya tidak melihat ciri ini pada Muhammud Yussuf, pengungsi asal Somalia yang tinggal di Seattle sekarang. Tapi saya bisa melihat percikan rindu di mata Dany Malik – teman SMA, yg kini bermukim di LA dan menjadi warga negara Amerika. Atau Marina, kawan dari etnis Tionghoa yang setelah kerusuhan 1998 memutuskan tinggal di New York bersama suaminya. Ada semacam penyesalan, dan kini ia merencanakan pulang kampung.
Ketika saya belajar di luar dan kembali pulang. Kegembiraan saya meluap luap dari udara begitu memasuki teritori nusantara. Saya melihat hamparan pulau pulau dibawah yang seolah akan memeluk saya jika seandainya pesawat ini jatuh.

Rasa rindu akan kampung halaman, bukan melulu monopoli mereka yang berlebaran. Ini hakekat kerinduan manusia Indonesia ketika jauh dari kampung halaman. Sitor Situmorang menulisnya dalam perantauannya di Paris.

Continue Reading

Kenangan bersama Suku Boti

Perjalanan 3 jam dari Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur menuju So’e – ibu kota Timor Tengah Selatan – di utara terasa sangat lama. Jalan yang berkelok kelok membuat supir agak berhati hati membawa kendaraan menuju dataran tinggi. Namun ini harga yang harus dibayar untuk bisa mengunjungi salah satu perkampungan yang masih memegang tradisi sejak turun temurun di Timor Barat. Saya memutuskan mengisi perut di kota kecil ini. Apalagi setelah menemukan sebuah rumah makan Padang yang sangat layak. Dari berbagai catatan perjalanan saya menembus pojok Indonesia ( timur ). Hampir selalu dengan mudah menemukan jenis rumah makan ini dimana mana.
Secara bergurau. Lexi. Penunjuk jalan kami, asal Kupang mengatakan. ‘ Silahkan bapa menikmati gurihnya santan dan bumbu rempah, karena ini perjamuan terakhir ‘.
Belakangan kami baru mengerti maksud lelucon itu, setelah kami tinggal dan makan dengan cara Suku Boti di dalam perkampungan mereka.

Kontur sekitar So’e merupakan daerah ketinggian yang banyak dipenuhi perkebunan rakyat, seperti jeruk, alpukat, apel dan kopi. Udara terasa sejuk, agak berbeda dengan panas dan lembabnya di selatan seperti Kupang.
Perjalanan ini belum berakhir. Masih 2 jam lagi dari Soe , kami harus menembus masuk menuju pedalaman. Pertama tama masih melewati kampung dan lama lama tinggal jalan berliku liku naik turun bukit kapur, dengan jurang dan lembah disisi jalan.
Hanya setengah perjalanan saja yang bisa kita nikmati jalanan beraspal selebihnya jalanan berbatu yang mengguncang-guncang isi mobil.

Sepanjang perjalanan menuju ke Boti kita akan disuguhi pemandangan panorama kering dan tandus. Sekalipun demikian, suasana yang terasa adalah damai dengan geratan ritmis barisan nyiur pohon kelapa dan pohon lontar yang mampu bertahan terhadap alam kering Timor.
Untung kami memutuskan berangkat pagi dari Kupang. Bisa dibayangkan jika malam malam melewati daerah yang gulap gulita seperti ini.

Continue Reading

Perkampungan Suku Bajo – Torosiaje

Perjalanan itu terasa melelahkan. Bayangkan saja. Pukul 12.00 tengah malam, kami sudah meninggalkan kota Gorontalo menuju arah selatan. Sengaja memilih perjalanan malam, agar kami bisa tiba subuh di perkampungan Suku Bajo Torosiaje yang tinggaldi atas laut. Beberapa tahun lalu saya pernah melewati route ini, dari Gorontalo menuju kota pelabuhan kecil Marisa untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Kepulauan Togean, di Teluk Tomini.
Dari Gorontalo menuju Marisa ditempuh sekitar 3 jam, yang kemudian diteruskan lagi selama 3 jam sebelum tiba di Torosiaje.
Apa yang menarik dari Torosiaje sehingga bisa memaksa kami datang ?

“ Rumah dan perahu itu sama saja. Di rumah atau di perahu kami tidak dapat berjalan. Jadi kaki kaki kami hanya terbiasa hidup dengan cara seperti ini. Tapi kami senang hidup begini “
Demikian petikan seorang nelayan bajo yang menceritakan tentang sejarah dan cara hidup suku Bajo.

Konon seorang gadis puteri raja asal Malaka yang hilang atau melarikan diri dengan perahu lalu hanyut sampai di Bone, Sulawesi. Ayah si gadis itu lalu memerintahkan semua rakyatnya untuk pergi mencari anaknya yang hilang. Jadilah mereka merantau ke berbagai arah mata angin. Beranak pinak. Ini dianggap hikayat yang menjelaskan tentang komunitas bajo yang tinggal di India, Filipina , Jepang bahkan sampai Eropa. Di Indonesia sendiri perkampungan suku bajo ditemukan juag di Manado, Kalimantan sampai Flores.

Ini kilas balik ketika tahun 1926, Torsiaje resmi menjadi desa tradisional. Dikatakan desa karena tahun itu pertama kali suku Bajo membayar pajak kepada pemerintah Hindia Belanda.
Waktu itu desa hanya berupa soppe soppe ( perahu perahu besar berukuran panjang 8 – 10 meter, tempat orang bajo tinggal ). Saat itu orang orang bajo mulai berkelompok.
Bahkan 30 tahun yang lalu Torosiaje hanya merupakan tempat singgah singkat bagi orang orang Bajo. Mereka berpindah pindah tempat dalam kelompok 5 sampai 10 soppe dan singgah di sekitar pulau pulau dikawasan teluk tomini.

Continue Reading

Fanatik Keblinger

Seorang Kiai NU pernah bercerita tentang bagaimana Wali Sanga menggubah wayang kulit sebagai media dakwah. Diceritakannya tentang Pandawa Lima. Urutan mereka, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa mengandung rukun Islam yang lima.
Yudhistira adalah lambang syahadat, orang yang memegang teguh kalimah Thayyibah dan risalah mempunyai sifat sifat seperti dimiliki Yudhistira, yakni kejujuran dalam segala ucapan dan perbuatan.

Bima alias Brotoseno adalah lambang rukun Islam yang kedua, yaitu sembahyang lima 5 waktu yang tidak bisa ditawar. Dimana saja, dalam keadaan – sakit , sehat. Cocok dengan sifat Bima yang tegas, memperlakukan semua orang sama. Tidak dibeda bedakan.

Arjuna merupakan lambang rukun Islam ketiga, yakni Zakat. Berzakat dengan sendirinya orang harus mempunyai harta kekayaan. Semua orang mendambakan kekayaan. Persis seperti Arjuna yang disenangi semua orang, bahkan dipandang lanang ing jagad.

Lalu Nakula dan Sadewa merupakan lambang rukun Islam ke empat dan ke Lima. Sebagaimana puasa dan haji. Tidak dikerjakan setiap hari, dan ada persyaratan tertentu. Demikian pula tokoh Nakula dan Sadewa tidak sembarang waktu ditampilkan dalam lakon wayang.

Apa yang dipikirkan Wali Sanga jika ternyata tokoh tokoh wayang ini di robohkan, dalam sebuah arak arakan kekerasan oleh sebagian orang di Purwakarta baru baru ini. Apa salah Semar dan Gatot Kaca ? Mereka hanya simbol budaya yang jauh lebih lama hidup sebelum agama Islam datang.
Persoalannya bukan urusan patung patung yang dianggap musrik. Ini bagaimana kita mengingkari sejarah. Tidak ada yang bisa mengklaim sebagai pemilik orisinal budaya di negeri ini. Bukan juga budaya Islam, Kristen atau hindu.

Continue Reading

Warok & Gemblak

Suatu hari di tahun 1973. Sudarno asal Desa Kacangan, Kecamatan Sawo – Ponorogo, waktu itu masih berusia 10 tahun. Ia curiga akan terjadi sesuatu yang merubah jalan hidupnya kelak, ketika beberapa warok datang mengamati dirinya seusai pulang sekolah. Hampir tiga bulan, ia ditunggui di pagar luar sekolah. Sesuatu yang membuatnya ketakutan. Tidak salah. Para Warok sudah menilai layak tidaknya bocah Sudarno dipinang menjadi Gemblak.

Selama itu, teman temannya sudah mengejeknya sebagai calon Gemblak. Ia marah dan tidak terima sehingga melempar teman temannya dengan batu. Ia bahkan tidak bisa meminta perlindungan orang tuanya, Kehidupan keluarganya yang teramat miskin, membuat orang tuanya tak bisa menolak imbalan 2 ekor sapi dewasa untuk kontrak Gemblak selama 3 tahun.

Sudarno tidak terima dengan takdir ini, Ia berontak, membuang isi lemari pakaiannya. Dengan kalap ia memaculi lantai rumahnya yang masih tanah sehingga berantakan. Airmatanya tak berarti karena ia harus menjalani perintah orang tuanya, demi penghidupan keluarganya.
Hingga suatu watu ia diajak memancing oleh Sang warok. Anehnya, setiba di rumah orang tuanya, ia merasa ingin cepat cepat keluar dari rumahnya dan pergi bersama Warok yang telah membelinya. Kelak ia menduga bahwa si warok telah memberinya guna guna agar ia mau menjadi gemblak.

Sejak itu Sudarno menjadi milik perkumpulan Warok. Istilah ini dinamakan Gemblak Kumpulan. Ia dikontrak sebagai gemblak dari sekumpulan orang orang yang menjadi warok. Para warok berpatungan untuk memiliki gemblak. Artinya beberapa hari sekali, Sudarno kecil dipindahtangankan dari satu warok ke warok lainnya selama 3 tahun, sesuai isi perjanjian.

Continue Reading