Browsing Category

BLOGGERS

Membangun percakapan digital

Kehadiran internet khususnya media sosial telah mengubah banyak hal, misalnya pola komunikasi orang-orang masa kini di media sosial. Percakapan, dialog, diskusi mendapat tempat di ruang-ruang media sosial tersebut. Itu pulalah yang menjadi model percakapan di antara para konsumen sekarang ini. Sebab itu, di era percakapan ala media sosial ini, pemasar kudu bisa memahami dan mengerti pola komunikasi para konsumen sendiri.

Sebab itu, era yang sering digaungkan sebagai era New Wave Marketing di mana telah terjadi horisontalisasi segala bidang.

“ Promosi yang sifatnya satu arah sudah kurang signifikan lagi. Pemasar kudu bisa menciptakan percakapan bagi konsumennya. Tidak sekadar menciptakan, tapi juga terlibat dalam percakapan sejajar dengan konsumennya. Sebab itu, di era ini, promotion adalah conversation “

Sekarang, semakin banyak merek yang terjun ke media-media sosial. Ada yang sukses membangun percakapan dan melakukan customer engagement di media-media ini. Namun, tak sedikit, yang masih kelihatan kikuk—entah karena tidak tahu atau memang menganggap hal itu sekadar tempelan semata. Tak jarang, kita temui di linimasa Twitter, Instagram, akun merek yang berkomunikasi searah. Sekadar berpromosi dan minus dialog. Mereka masih terjebak pola konservatif pemasaran. Promosi discount harga, jualan store atau outlet, sampai terus berkata ‘ kecap no 1 ‘ diantara merek lain.

Lebih dari itu, ada merek yang ingin membangun percakapan, tapi selalu kebentur dengan kesulitan mendapatkan ide percakapan.

Menciptakan percakapan yang seru memang tidak gampang. Pemasar butuh ide-ide. Lois Kelly—co-founder serta mitra Beeline Labas—seperti dikutip dalam buku “Connect! Surfing New Wave Marketing” (2010) memaparkan ada sembilan ide untuk membangun percakapan.

Continue Reading

Kebencian dalam social media

Ada orang yang melemparkan pertanyaan, ‘ Kenapa postingan di twitter atau facebook sekarang sangat provokatif ‘. Lebih jauh dia berseru ‘ kembalikan twitter seperti dulu, saat masih fun ‘.
Ini mungkin bentuk kegelisahan orang yang merasa bahwa kanal kanal social media telah berevolusi dari media utuk social networking menjadi media perang dalam arti sesungguhnya. Masing masing orang, kelompok berusaha menjadikan rumahnya ( baca : akun ) sebagai tempat menyampaikan gagasan, ide dan yang berujung pada bagaimana cara memaksakan gagasan dan ide tersebut.

Rym Benarous, jurnalis dari Tunisa menggambarkan demam social media dalam beberapa tahun terakhir, setelah revolusi tahun 2011. Kondisi politik yang keruh membuat media sosial, terutama facebook dibanjiri ujaran kebencian.
Menurutnya 55 % penduduk di Tunisia terkoneksi dengan facebook dan social media lainnya, membuat kini semua orang bisa berbicara apa saja. Mulailah kebebasan berbicara menjadi ujaran kebencian. Sementara di Turki, diungkap beberapa kasus sejumlah jurnalis terbunuh antara lain karena berbeda ideology.

Ada teori ‘ Groundswell ‘ sebuah trend sosial dimana orang untuk mendapatkan kebutuhannya, lebih memilih dari orang lain ketimbang dari produsen. Ini bisa juga mencari informasi apapun melalui teman atau komunitasnya. Sehingga secara tidak sadar, manusia akan terus cenderung berada dalam kelompok kelompoknya.

Perbedaan pandangan terhadap Pemerintahan Jokowi JK, dan yang sedang “ panas panasnya “ dalam pilkada DKI Jakarta telah membuat media sosial tidak menjadi ruang ekspresi yang yang mengedepankan rasionalitas kritis, tapi sudah menjadi ruang ekspresi hanya untuk saling cela antar para pendukung. Bahkan mencaci maki, menyerang dengan ungkapan kasar. Penilaian bukan lagi pada logika, tapi berdasarkan suka atau tidak.

Continue Reading

Kebebasan berekspresi ? Lonte !

Apakah ada batasan dalam menulis postingan di twitter atau kanal kanal social media lainnya ? Hal hal ini sebenarnya sudah sering dibahas, dan umumnya semua harus sepakat bahwa ‘ freedom of expression ‘ merupakan elemen utama dalam penulisan. Tapi apakah serta merta sebebas itu ?
Berbeda dengan media jurnalis mainstream lainnya, kanal socmed yang mobile dengan cepat berinteraksi dan secara cair bebas bergerak kemana saja tanpa melalui penyaringan seperti yang ditemui pada fungsi redaktur pada media tradisional.
Karena kita adalah penulis, pengedit, sekaligus dan penerbit. Sehingga filter itu berada pada kita sendiri sebagai redaktur. Itulah tantangan sekaligus seninya.
Sekarang kembali kepada kita, sejauh mana kita mengekspresikan kebebasan itu.

Ada tatananan moral. budaya, agama, perilaku dan kehidupan sosial yang mau tidak mau harus menjadi batasan dalam menuliskan suatu topik.
Ironis ? atau memang semestinya kita hormati ?
Anda bebas saja memaki maki dengan kata Lonte, menyebar fitnah, memposting gambar gambar porno, menyerang orang atau meragukan sebuah agama. Toh anda bisa berkilah ini akun saya. Jangan baca kalau tidak suka. Jangan follow atau di mute saja. Tapi apakah sesimpel itu. Tentu saja tidak.
Saya selalu percaya selalu ada tatanan di luar sana yang tetap kita hormati.
Ini analoginya. Jika anda memasang speaker dari rumah anda sendiri kemudian anda berteriak teriak menyerang tetangga kita. Apakah anda bisa dengan mudahnya berkilah ini rumah saya, silahkan tutup kuping.

Continue Reading

Crowdsourcing

Bahwa banyak orang akan mampu menghasilkan keputusan yang sering kali lebih baik dibanding keputusan yang dibuat tiap tiap individu. Jangan sekali kali mengabaikan apa yang dikatakan orang banyak ( James Surowiecki )

Dari kutipan diatas yang menjadi intisari ‘ Wisdom of the crowd ‘, dimana publik menjadi sebuah acuan untuk kebijakan maupun sebuah kekuatan untuk menentukan jalannya masa depan negeri ini, seperti yang kita lihat dalam proses pemilihan Presiden.

Jelang pengumuman hasil penghitungan suara pemilu presiden Indonesia tanggal 22 Juli kemarin, berbagai kelompok masyarakat ingin ikut mengawal suara untuk memastikan hasil akhir yang diumumkan adalah hasil yang memang benar adanya. Banyak orang yang ingin mengawal menjadi bagian dari partisipasi publik.

Continue Reading

Nurani NgeBlog

Banyak yang bertanya bagaimana sih caranya menjadi blogger yang baik. Baik disini mungkin diartikan sebagai blog yang rajin dikunjungi orang, atau secara ekspektasi menjadi seorang seleb blog. Ini memang pertanyaan sulit. Kenapa ?
Karena sejak awal saya hanya menebak nebak mengapa sebuah tulisan bisa membuat rasa keterikatan dengan pembacanya. Ada yang bilang tergantung isinya. Ada yang bilang harus memberikan gagasan atau kontribusi. Ada yang bilang ikutan komunitas blogger atau aggregator.
Tapi apakah mesti begitu ? Rasa rasanya tidak juga. Banyak blog blog yang isinya mungkin simple dan sama sekali tidak bicara mengenai sebuah gagasan, ide, ataupun topik topik pencerahan. Isinya hanya kopdar atau curhat tapi setiap kali posting pengunjung setianya bisa puluhan.

Jadi kepada mereka yang bertanya dan meminta diajari bagaimana menulis yang bagus. Maka dengan sejuta permohonan maaf, saya juga tidak bisa menjawabnya seketika. Bagi saya menulis adalah nurani, sebuah talent yang tidak bisa seketika dialihkan kepada orang lain. Ini serba sulit karena saya juga tidak merasakan emosi yang mereka rasakan saat menulis. Saya memang bukan guru yang baik. Namun saya mencoba menshare dengan sebuah pemahaman.

Menulis adalah seni yang dipenuhi dengan rasa, emosi dari penulisnya. Jadi walau hanya beberapa kalimat atau postingan remah remah tapi disana ada tautan emosi, nyawanya. Bisa jadi tulisan itu memberikan nafas bagi siapaun yang membacanya.
Ini juga bukan seperti belajar mengendarai mobil atau berenang misalnya. Dengan tekun berlatih, dijamin kita bisa berenang. Sementara sering menulis namun kita lupa menaruh nyawa itu itu disana. Mungkin tulisan itu hanya berupa coretan gersang. Hambar dan mati.

Continue Reading

Blogger vs SBY

London tahun 1579. Seantero Kerajaan Inggris Raya heboh karena ada pamflet yang berisi menanyakan benar tidaknya desas desus perkawinan Ratu Elizabeth I dengan seorang bangsawan Perancis. John Stubbe sebagai penulis dan Hugh Singleton sebagai pencetak mempertanyakan apa logikanya bersatunya dua pemimpin yang selalu berperang itu.

Ratu marah karena ada orang yang berani mengomentari kekuasaannya. Keduanya masuk penjara dengan tuduhan menyebarkan berita bohong yang dikategorikan sebagai pemberontakan. Kelak keduanya dijatuhi hukuman potong tangan kanan. Stubbe tetap setia terhadap ratu. Bahkan ia menghormati ratu dengan tangan kirinya kelak. Sementara hukuman untuk Singleton dibatalkan. KIsah itu adalah catatan sejarah ketika pertama kali hukum – penguasa – bisa menuntut seseorang ke dalam penjara atas dasar tulisan yang dibuatnya.

The Charter oh human rights and principles for the internet yang dikembangkan oleh Internet Rights and Principles Coalition, pertama mendefinisikan kebebasan online untuk berekspresi termasuk kebebasan untuk menyatakan protes, kebebasan dari penyensoran, hak atas informasi, kebebasan media, dan kebebasan dari kebencian ( hate speech ).
Visioner sejak awal membayangkan internet sebagai dunia tanpa batas, di mana aturan hukum dan norma-norma sehari hari tidak berlaku. Kebebasan berekspresi telah dibayangkan sebagai hak, sebuah fitur dari dunia maya.
Pertanyaannya kebebasan yang bagaimana ?

Ini menjadi berita ketika seorang blogger Kompasiana, Sri Mulyono harus menghadapi somasi yang dilayangkan oleh pengacara yang ‘diduga’ mewakili Presiden SBY. Somasi terkait tulisan Sri Mulyono di Kompasiana berjudul “Anas: Kejarlah Daku Kau Terungkap“. Sang penulis blog berdalih, kebebasan berekpresinya telah terciderai dengan somasi ini. Secara tidak langsung ia menggalang dukungan dan simpati dari para kompasianer, Blogger Kompasiana melalui postingan berikutnya.

Continue Reading

This is ASEAN Way

Udara malam ini tidak terlalu dingin sehingga banyak orang yang lalu lalang disekitar Nortwest Street, Washington DC. Sebuah kawasan banyak kedai makanan, bar atau toko toko, dimana saya menghabiskan waktu bersama teman lama dari Indonesia yang bekerja sebagai lawyer disini.
Sambil menikmati kuliner Afrika di sebuah restaurant Ethiopia, saya memperhatikan time line tentang hajatan ASEAN Blogger Festival di Solo. Senangnya melihat hiruk pikuk time line dari seluruh Indonesia. Ada yang bergembira bisa kopdar bertemu teman teman baru dari kawasan ASEAN. Ada juga yang nyinyir mempertanyakan hajatan ini. Ada juga yang mengutip di time linenya, ini sekadar komunitas EO mantenan ( perkawinan ). Saya hanya tersenyum. Bukankah kita harus bergembira dengan kehidupan demokrasi dalam menyampaikan kebebasan ekspresi ini ?

Seperti biasa saya hanya ngunandika, bergumam dalam hati. Selalu kegiatan blogger dikaitkan dengan urusan urusan seperti ini. Sepanjang kegiatan atau hajatan itu bermanfaat bagi blogger. Kenapa tidak ?
Namun ada yang menarik, ketika saya melihat kicauan teman diatas tadi. Sebut saja Dodo. Tampaknya teman ini mempertanyakan ( atau marah ? ) karena tidak mendapat jawaban memuaskan tentang bagaimana peranan ASEAN Blogger Community khususnya di Indonesia, tentang keadaan blogger blogger di kawasan Asia Tenggara yang mendapat tekanan represif dari penguasa negerinya.

Tentu ini tidak salah, karena netizen Indonesia setelah merasakan kebebasan berekspresi di internet seperti punya kewajiban moral menyuarakan hak hak ini, khususnya kepada netizen lainnya yang hidup di kawasan Asia Tenggara.
Pertanyaannya adalah seberapa bisa kita bisa membantu. Apa dengan melakukan advokasi terhadap blogger Vietnam yang dipenjara ? atau melakukan protes di depan kedutaan Myanmar ? atau cukup dengan menggalang dukungan publik melalui blog masing masing ?

Dalam diskusi di Washington DC dengan Dr. Pek Koon Heng, Direktur ASEAN studies di American University, kami – 10 partisipan delegasi ASEAN ‘ International Leadership Visitor Program ‘ kecuali Laos – menyadari dan sepakat bahwa kebebasan berekspresi merupakan hal esensial para warga. Secara spesisik Dr Heng menyebut Indonesia sebagai penjaga ASEAN, memiliki contoh tentang bagaimana social media di Indonesia yang bergerak menjadi Social movement. Sudah semestinya solidaritas masyarakat netizen seluruh ASEAN mulai digalang.

Continue Reading

Ini Korea Bung !

Ketika kita bicara Korea ( baca : Korea Selatan ) sekarang. Apalagi selain film drama, Boys band, tekhnologi, efisiensi kultur kerja sampai sepak bola. Mereka adalah bangsa yang kaya dan produkstif. Coba tengok perjalanan sejarah mereka dan bandingkan dengan kita sendiri.
Ketika kita sudah merdeka, mereka tak jauh lebih miskin dari kita, sampai kemudian mereka melalui perang saudara yang memisahkan bagian utara dan selatan.
Mereka memiliki Jenderal Park Chung Hee yang mirip mirip diktatornya dengan Soeharto dalam membangun negeri. Bedanya karena Korea Selatan tak punya sumber daya alam, kecuali tanah tanah berbatu. Maka dia memiliki orientasi ekspor, kalau perlu ambil teknologi luar serta mengembangkan. Sementara Soeharto dengan program penananam modal asingnya justru mengundang investor menguras sumber daya alam kita.

Tidak hanya itu. Tahun 60an, Sepak bola Korea Selatan masih ternganga meihat kelihaian Ramang, Soecipto Suntoro mengolah bola. Sementara akhir 70an, Korea Selatan meminjam pelatih bulutangkis Olih Solichin dari Bandung untuk mengembangkan bulutangkis di negeri ginseng sana.
Kini Park Ji Sung sudah melanglang buana sampai Manchester United, sementara kita masih berkutat PSSI versi siapa yang berhak memutar kompetisi. Di sisi lain, pebulutangkis kita malah keok kalau bertemu pemain Korea Selatan.

Continue Reading

Internet Bebas untuk siapa ?

The internet is a “ plaza publica ‘ – a public place where we can all participate
( Frank La Rue )

Visioner sejak awal membayangkan internet sebagai dunia tanpa batas, di mana aturan hukum dan norma-norma sehari hari tidak berlaku. Kebebasan berekspresi telah dibayangkan sebagai hak, sebuah fitur dari dunia maya. Konsep idealis itu dengan cepat berganti bahwa internet pada akhirnya dikuasai oleh orang-orang, sehingga dapat dikontrol juga : perusahaan, para pembuat kebijakan, atau pemerintah.
Elemen terakhir ini mulai menegaskan berhak memliki kontrol atas internet, memberlakukan batas untuk dunia maya dan mencegah arus informasi yang bebas, tidak berbeda dengan penjaga di perbatasan negara yang mencegah masuknya orang orang tanpa permit visa.

Penggunaan internet dalam pemberontakan di Timur Tengah dan Afrika Utara – dengan mengambil contoh bagaimana aktivis di Tunisia dan di Mesir mengorganisir revolusi menggunakan social media serta pembatasan oleh pemerintah mereka, telah menginspirasi publik tentang wacana kebebasan berinternet.

Tidak seperti majalah misalnya dapat dibatasi untuk dijual kepada anak di bawah umur. Atau program televisi atau film yang dbisa dibungkus dengan kemasan mozaik, atau dibatasi dengan usia peringatan. Konten online tidak begitu mudah dibatasi. Sebaliknya, metode yang paling sering digunakan adalah dengan penyaringan atau block, sehingga tidak bisa membedakan antara siapa siapa yang membukanya.

Demikian pula, di Tunisia, sekelompok hakim berhasil mengajukan petisi pengadilan untuk memerintahkan Badan Internet negara itu untuk memblokir akses untuk peta besar situs porno.
Memblokir situs-situs tidak satu-satunya alat membatasi akses. Seperti di Iran dan di Suriah, misalnya, negara telah memperlambat bandwidth sehingga kecepatan merangkak untuk membatasi kemampuan upload atau download konten seperti video atau gambar.
Beberapa negara, termasuk Korea Selatan, telah berusaha untuk mengontrol akses ke konten tertentu, atau mengharuskan identifikasi pemerintah untuk menggunakan situs-situs tertentu.
Bahkan yang lebih buruk, negara bisa menangkap blogger atau mematikan internet sepenuhnya seperti yang terjadi di Mesir, Libya dan Suriah.

Continue Reading

Catatan tentang menyebarkan semangat positif

Seorang Christopher Columbus dari Genoa berjanji kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, untuk menemukan kepulauan yang bersentuhan dengan Hindia, dengan berlayar dari titik yang paling barat di kepulauannya. Ia meminta kapal dan segala perlengkapan untk berlayar dan tidak hanya menjanjikan penyebaran agama Kristen, namun jaminan membawa pulang mutiara, rempah dan emas dengan jumlah yang melampaui imajinasi paling liar sekalipun.
– Catatan Peter Martyr, De Orhe Novo , 1530

Kutipan diatas menjelaskan bagaimana kepulauan rempah Hindia sejak abad pertengahan menjadi incaran para penjelajah Eropa untuk menemukan dunia baru. Ketika orang orang Eropa dalam abad pertengahan masih mengkonsumsi makanan yang rasanya hambar, tidak enak – karena rendahnya taraf kehidupan disana, Sementara di negeri Hindia sudah biasa mencampur lada, jahe, kayu manis dan cengkih untuk menyamarkan rasa asin dan mengawetkan daging serta makanan agar tidak cepat membusuk.
Kisah selanjutnya adalah sejarah yang menuliskan ketika Hindia, kelak bernama Indonesia menjadi tanah jajahan dari negeri negeri penjarah berkulit pucat yang berawal dari pencarian rempah rempah.

Semua ini saya kaitkan dengan Anies Baswedan yang menyampaikan orasinya di pembukaan hajatan ON | OFF kemarin.
Sebuah pidato yang inspiratif tentang bagaimana mengkonstruksikan Indonesia dengan pikiran positif. Sebuah ide besar tentang Indonesia tidak dimulai hari ini. Tapi ketika Soekarno – Hatta membuang pikiran pesimisnya tentang modal dasar pendirian republik ini.
Dikatakan, untuk jumlah penduduk 70 juta orang, hanya terdapat sekolah setingkat SMA sebanyak 95 buah dan sekitar 300 an sekolah dasar. Sehingga jumlah penduduk yang buta huruf hampir 95 persen dari keseluruhan populasi.
Tapi semuanya tidak mengurungkan niat para bapak bangsa untuk tetap optimis mendirikan republik ini.

Continue Reading

ASEAN BLOGGERS DECLARATION


What was once envisioned by the founders of ASEAN when they signed the 1967 Bangkok’s declaration probably not until this far. ASEAN just become a symbol of the organization. Now with the changing times. State boundaries perhaps is no longer exist. Later in 2015, ASEAN was transformed into a society intact. Blogger and social media can hold this role.

Today bloggers from ASEAN countries plus approxmately 100 bloggers from all cities in Indonesia, gathered at the Museum Pasifika, Nusa Dua – Bali ASEAN. 1st BLOGGER CONFERENCE held in conjunction with the 19th ASEAN summit.

The host, the ASEAN Blogger Community (ABC) of the Chapter Indonesia, was established through the Jakarta Declaration of 10 May 2011 by representatives of bloggers from all over Indonesia. The establishment of the ASEAN blogger community was initiated by the Indonesian bloggers, taking advantage of the Indonesian chairmanship of ASEAN in 2011. Indonesian bloggers hope other chapters from its counterparts in 10 member-countries of ASEAN will follow suit.
The main agenda of the 2-day meeting of the 1st ASEAN Blogger Conference, are among others, exchange of views and experience among ASEAN bloggers, including best practices in their respective countries, in taking advantage of the positive side of rapid development of the social media, and to reach all ASEAN people at the grass-root level and to involve them in the process of ASEAN community establishment.

Continue Reading

Potret Blogger Indonesia

Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang teman saya, seorang blogger baru nan jatmika pembawaannya.
Dia bilang ke saya. “ Mas saya ingin ngeblog dan tak berpretensi apa apa, kecuali tulisan saya bisa dibaca dan syukur syukur memberi pencerahan “

“ Setelah itu saya ingin ke level berikut, yakni bisa berkenalan dan sekaligus kopi darat, alias bertemu blogger lain secara offline “. Demikian ia melanjutkan.
Saya mengamini. Bukan salah juga, atau menuduh dia blogger labil. Karena memang blogger – baca orang Indonesia, memang sukanya berkumpul.

Ini mungkin fenomena satu satunya di dunia. Komunitas blogger dibentuk berdasarkan kepentingan wilayah, etnis, profesi, agama atau interest.
Tapi karena memang dasarnya orang Indonesia juga. Budaya nyinyir, ngrasani, bergossip juga dibawa bawa sampai ke dalam komunitas itu. Tak salah, Mohtar Lubis dalam bukunya ‘ Manusia Indonesia – sebuah pertanggungjawaban ‘, menulis salah satu ciri orang Indonesia memang suka bergunjing.

Apakah ini salah ? Tidak juga menurut saya. Bergunjing kadang mengasyikan sepanjang untuk fun dan kita tidak kehilangan penilaian yang obyektif. Problemnya bergunjing bisa berujung pada pertentangan tidak penting.
Awal dari sebuah gunjingan, ada yang mengganggap kelompok blogger anu sebagai antek negeri asing, ada juga melihat kelompok blogger anu sebagai blogger borjuis hura hura, ada juga yang menertawakan kelompok blogger yang gemar mengatakan sebagai blogger independen. Ada kelompok yang dianggap tidak wongke, ‘ tidak memanusiakan bloger lainnya, Macam macam.

Continue Reading