Berniaga dengan Tuhan

Ada suatu kisah yang diceritakan Emha Ainun Nadjib, tentang temannya Kiai Sudrun yang karena keasyikan melakukan gotong royong bersama warga memperbaiki jembatan desa, ia lupa agar segera shalat lohor. Ketika sadar buru buru ia bergegas menuju masjid. Ternyata Asar sudah menjelang. Ia sudah berada di sumur sambil memegang tali timba. Tampak olehnya seekor semut sedang terkatung katung di permukaan air.
Kiai Sudrun lalu menggerakan tangannya di bibir sumur, mendekatkan ember timba untuk menolong semut yang hampir tenggelam. Ia berkonsentrasi agar si semut masuk kedalam air di ember, sebab ia akan dihantui perasaan bersalah kalau gagal menyelamatkan semut.

Alhamdulilah. Semut masuk kedalam air di ember. Namun begitu Kiai Sudrun ingin menaikan ember timba ke atas. Terdengar suara azan dari speaker masjid. Kiai Sudrun menarik nafas panjang. Lebih besar manakah dosa tidak salat lohor dibanding ‘ jasa ‘ menolong semut yang nyaris tenggelam.
Lalu Kiai meletakan dengan hati hati si semut di permukaan tanah. Membiarkannya pergi menuju rerumputan. Barulah Kiai berwudhu dan berangkat solat.

Dalam doa, Kiai Sudrun berkata “ Ya Allah hukumlah kelalaianku sehingga kehilangan waktu lohor yang kau berikan. Adapun tentang semut dan segala hal baik yang telah kulakukan, rasanya belum pantas untuk kujadikan alasan memohon pahala dariMu “

Cerita yang remeh remeh itu sangat menarik bagi saya karena, ada sebuah konsep persilangan jalan syariat dengan jalan realita. Cak Nun menyebutnya dengan bagaimana berniaga dengan Allah. Dan ternyata memang Allah tidak mematok untung rugi dalam berniaga – berdagang – dengan manusia.
Jika manusia menyelewengkan waktu dan ruang kemerdekaan yang ia berikan. Ia tetap ada ada-Nya. Tidak terluka. Tidak dendam. Tidak tertawa. Tidak menangis. Karena dia tidak mempunyai kebutuhan untung rugi, ketika manusia bersedia atau tidak mematuhinya.

Cerita Cak Nun tiba tiba muncul ketika saya membaca berita MUI meminta Jokowi mencari Sekretaris Daerah yang beragama Islam. Tentu ada alasan sektarian yang membuat betapa kasihannya orang yang tidak bisa menduduki jabatan publik karena agamanya non muslim. Akhirnya kemampuan seseorang dinilai dari agamanya, golongannya. Bukan dari kaca mata mampu atau tidak. Jujur atau maling.
Allah pastinya tidak perduli dengan jabatan Gubernur Kristen sekalipun. Katakanlah semua orang memusuhi Islam, membenci atau meninggalkan Islam. Seincipun Islam tidak berubah. Islam tak menjadi lebih tinggi karena dicintai, dan tidak menjadi rendah karena dibenci. Islam tetap Islam, tak mungkin berubah. Laa raiba fiih. Tak ada keraguan. Islam tidak rugi. Islam bebas dari untung rugi. Manusia saja yang terikat untung rugi.

Islam tidak harus dibela atas nama hukum Tuhan. Kalau Haji Sudrun diatas, tidak sholat lohor. Kita tak berhak memarahinya. Kalau teman kita mengunyah makanan di depan kita saat puasa, juga bukan berarti kita harus membencinya. Mereka sudah cukup punya kalkulasi perhitungan dengan Allah. Sementara Allah sudah mempunyai lembaga peradilan atas dosa dan pahala manusia. Hitungan berniaganya sudah baku, yang tak perlu diambil alih oleh ormas manusia.
Menjelang bulan puasapun, saya sudah mencium kekuatiran ormas laskar surgawi akan melakukan sweeping warung makan yang buka di siang hari.

Jika seseorang masih dalam fase ana’abdulah atau aku hamba Allah. Maka nasib semut tadi pasti mati tenggelam, karena ia menjalankan kepatuhan kepada Allah. Tapi jika ia sudah menjadi Khalifatulah. Ia pasti memilih menyelamatkan seekor semut. Ia telah menerjemahkan ibadahnya kedalam komitmen sosial di seluruh alam semesta. Termasuk mendirikan keadilan sosial, melawan kebodohan dan kemiskinan dalam perspektif yang lebih luas. Tidak sekadar memberangus warung makanan, merazia toko yang menjual miras.

Kalau sudah begitu, kidung yang dibacakan Sunan Panggung beberapa abad lalu, masih terasa relevan.

“ Orang yang tak mengetuk pintu rahasia |
Hanyalah terbelenggu oleh tata karma |
Sembahyang sunnah dan fardu yang tak pernah tertinggal |
Untuk menutupi kelalaiannya terhadap tetangganya yang lapar |
Sepedati penuh kertasnya |
Yang dibicarakan hanya masalah halal haram..”

Mari sambut bulan Ramadhan, dengan segenap jiwa yang bersih. Tuhan tidak meminta kita menjadi satpam fiqih di bulan suci ini. Mohon maaf lahir dan bathin.

You Might Also Like

17 Comments

  • Wahyudi Adhiutomo
    July 8, 2013 at 8:53 am

    Setuju dengan kalimat penutupnya. “Tuhan tidak meminta kita menjadi satpam fiqih di bulan suci ini.”

  • bukik
    July 8, 2013 at 10:43 am

    Mau berniaga dengan tuhan, boleh
    Mau berteman dengan tuhan, boleh
    Selama kita berlaku sebagai manusia, bukan mengatasnamakan tuhan
    Kecuali sudah jadi tuhan sih *eh

  • meong
    July 8, 2013 at 12:19 pm

    Ah itu kan tafsir antum saja, haditsnya bagaimana, sahih tidak? jangan sepotong2 menafsirkan, antum bisa membahayakan aqidah umat.

    *Mlayu njinjing rok*

  • fadhli
    July 8, 2013 at 11:22 pm

    Kiai Sudrun saat menyelamatkan semut yang nyaris tenggelam udah menerapkan tugasnya sebagai khalifah tanpa ngomongin khilafah. sibuk ngomongin khilafah dan hukum syariah, tapi apakah tugas sebagai khilafah dan penerapan syariah dalam kehidupan sebagai individu udah diterapkan?

  • Bang Fiko
    July 9, 2013 at 9:28 am

    Salam Mas Iman, untuk urusan agama, tidak bisa kita menafsirkan segala sesuatu menurut pemikiran kita.
    Selayaknya kita mengikuti pemahaman para ulama yang memang telah mengkhususkan diri belajar agama.
    Kalau kita tidak memercayai ulama, maka pada siapa lagi kita kan bertanya urusan agama.
    Semoga Allah memberi taufq dan hidayah kepada kita untuk memahami dan menjalankan agamaNya dengan baik… Selamat menunaikan ibadah puasa 🙂

  • eduardo
    July 11, 2013 at 6:25 am

    saya rasa melawan kebodohan = menyensor film, pak

  • Steven R
    July 11, 2013 at 11:07 pm

    blog ini kontennya bagus-bagus ya, kok bisa ya Mas Imam Brotoseno nyusun konten yang bermutu-mutu gini… joss gandos pokokmen buat Mas Imam

  • orbaSHIT
    July 12, 2013 at 10:05 am

    lha klo ulamanya KOPLAK bijimana? 😛

  • jakober
    July 12, 2013 at 10:33 am

    @orba, menurutku ga ada ulama koplak, kalau orang koplak dianggap ulama mungkin ada

  • Pertapa Genit
    July 12, 2013 at 11:48 am

    Ulamanya mau nyebur jurang kita ikut2an nyebur juga,,…? g perlu belajar tp ikut2an aja gtu…? hmmm, bener2 koplakk,…:)

  • linova rifianty
    July 15, 2013 at 4:09 pm

    Sisi pandang yang menarik.

  • Anton
    July 20, 2013 at 2:42 am

    Subhanallah, menentramkan hati tulisannya…..

  • Ika
    July 21, 2013 at 9:03 pm

    Persilangan jalan syariat dan realita… Kalimatnya bagus 🙂

  • Ryan Perdana
    July 22, 2013 at 1:17 pm

    Razia warung yang buka di bulan puasa terjadi karena ada egoisme sebagai Muslim yang di dalamnya terkandung sedikit kecongkakan karena Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia. Pun mereka kurang memahami dengan baik hakikat puasa. Mereka ingin menjadi pihak yang dihormati ketika berpuasa, dan bukan menghormati mereka yang berpuasa. Meminjam kalimat Gus Dur, bahwa yang berpuasalah yang harus menghormati mereka yang tidak berpuasa, kenapa harus minta dihormati karena yang berpuasa adalah Muslim yang terhormat.

    Saya sebagai Muslim juga tidak merasa tentram ketika ada ormas yang mengedepankan kekerasan dalam gerakannya. Karena ketika diawali dengan kekerasan, sesungguhnya saat itu pula sudah timbul bahaya laten kekerasan lain yang cepat atau lambat akan melawannya. Setidaknya itu sudah terbukti di peristiwa Sukorejo Kendal minggu lalu..

    Selamat berpuasa.. Semoga kita semua disayangi Tuhan dan seluruh ciptaanNya..

  • Agus Firmansyah (@Aguss_eff)
    July 23, 2013 at 2:16 pm

    kata pertama Allah kepada muhammad “Bacalah!”, bukan sembahlah Aku
    kalau dari kericuhan yg ditimbulkan orang2 surgawi, mereka seolah gk memahami al-Qur’an, bahkan untuk kata yang paling pertama

  • Abdul Kholik
    July 23, 2013 at 8:57 pm

    Keren Kang.. Mencerahkan.. 🙂

  • ibas
    October 10, 2023 at 9:15 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*