Jakarta, 10 Juli 2006
Akhirnya ajang festival film iklan Indonesia yang pertama selesai diselenggarakan pada tanggal 7 juni lalu bertempat di Gedung Usmar Ismail ( d/h PPHUI ). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan AIOEU itu memang didukung oleh APFII sebagai salah satu agenda tahunan yang patut diwujudkan. Sudah sejak lama, timbul kegelisahan diantara para pekerja film iklan, bahwa mereka kurang mendapat apresiasi atau penghargaan atas kerja kerasnya selama ini. Ajang festival iklan yang ada selama ini lebih mengedepankan teman teman advertising disamping lebih menonjolkan kategori kategori identitas produk. Karena sebagus bagusnya konsep itu berasal, hanya akan menjadi sebuah iklan yang biasa saja dan hambar, tanpa komitmen dan kerja keras kami para pekerja film. Untuk itu sangat wajar jika ada sedikit perhatian dan penghargaan terhadap orang orang belakang layar ini. Sehingga dalam festival ini, seyogyanya kita akan melihat suatu bentuk penilaian sinematografi yang seutuh utuhnya , sebagaimana yang kita lihat dalam festival film pada umumnya,
Hanya saja dalam malam pelaksanaan, terasa kurang ‘gregetnya’ sebuah festival yang kerap kali disebut sebagai pestanya pekerja film. Tidak semua pekerja film hadir disana,bahkan ada kesan ajang ini hanya dihadiri oleh para petinggi petinggi perusahaan film, pemilik PH atau produser , DOP dan director saja. Itupun tidak mewakili seluruh komunitas film yang ada, bandingkan dengan kongres APFII bulan Maret lalu yang dihadiri ratusan pekerja film secara antusias. Ada apa gerangan ?
Memang APFII hanya memberikan dukungan dan tidak terlibat secara pengorganisasian dalam penyelenggaraan festival fines ini. Hanya saja potensi networking di kalangan APFII tidak dimanfaatkan secara langsung oleh panitia penyelenggara, ini dapat dilihat dari tidak adanya pekerja film iklan,atau pengurus APFII dalam proses penyelenggaraan ajang festival ini. Sehingga timbul jurang komunikasi dalam proses sosialisasi ke komunitas pekerja film, disamping banyak hal hal yang akhirnya justru menghambat kehadiran para pekerja film, seperti tiket hanya dapat diperoleh di secretariat panitia, baru hanya beberapa hari terakhir dilakukan penyebaran tiket di sejumlah tempat. Itupun tak banyak menolong, lalu harga yang cukup mahal bagi para pekerja film yang umumnya pekerja freelance. Sehingga umumnya yang bisa membeli adalah produser atau pegawai in house suatu PH, karena ditanggung oleh perusahaan mereka sendiri.
Kemudian struktur dewan juri yang justru tidak ada representasi sama sekali dari pekerja film iklan sendiri. Dalam hal ini bukannya tidak menghargai integritas dan kemampuan anggota dewan juri lainnya seperti tokoh perfilman nasional, kritikus, praktisi iklan lainnya. Tetapi alangkah eloknya serta bermanfaat jika kami kami yang sangat memahami seluk beluk industri film iklan ini dapat dilibatkan dalam proses penjurian. Cira Adi Pariwara saja tetap dinilai oleh sebagian para pekerja creative biro advertising tanpa harus ada intervensi atau conflict of interest, atas penilaian sebuah karya.
Ini dapat dilihat dari hasil penjurian yang ada. Bagaimana tidak ? ada beberapa karya yang mungkin baik dalam kategori special efek, namun tidak bisa dinilai dalam kategori tersebut, karena hanya didaftarkan dalam kategori wardrobe atau musik misalnya. Ini terjadi karena proses pendaftaran tiap kategori sudah dibatasi dan hanya diisi oleh perusahaan atau pihak yang mendaftarkan. Mestinya perlu dipikirkan suatu mekanisme dimana suatu karya film didaftarkan secara utuh, dan pihak juri yang akan menilai dari seluruh aspek kategori yang ada dan menetapkan di kategori mana karya itu bisa mendapatkan nilai tinggi.
Dan yang lebih mengherankan, bahwa dalam pengumuman tiap kategori dipanggung, misalnya kategori best editing, tidak disebutkan siapa editornya, best sinematografer tapi tidak disebutkan Director of Photographynya, demikian pula tidak disebutkan siapa sutradaranya dalam best commercial. Memang dalam penjelasan oleh ketua Panitia Penyelenggara, sdr Nurmanjaya, disebutkan bahwa nama nama yang bersangkutan ditulis dalam piagam kemenangan yang diterima. Namun esensi sebuah festival film adalah sebuah penghargaan dengan mengumumkan orang orang terbaik dibidangnya didepan audiens yang hadir. Lalu apa bedanya dengan festival film iklan lainnya, yang hanya mengedepankan perusahaan yang mendaftarkan. Sehingga jika ajang ini diklaim sebagai pestanya para pekerja film, patut dipertanyakan lagi kebenarannya.
Memang tak ada gading tak tak retak, demikian pula penyelenggaraan Fines festival ini, karena bagaimanapun , kita wajib memberikan penghargaan setinggi tingginya kepada rekan Nurmanjaya dan panitia yang bisa mewujudkan ajang ini. Adanya kesemerawutan dalam teknis pelaksanaan adalah hal biasa dalam sebuah proses, tentu saja tidak fair memperbandingkan dengan Citra Adi Pariwara yang sudah lama ada. Namun yang lebih penting apakah Fines festival benar benar menjadi sebuah pestanya pekerja film iklan ?
No Comments