MELIHAT KEABSAHAN FESTIVAL FILM INDONESIA

Bahtiar Siagian, salah satu bapak perfilman Indonesia, disamping Usmar Ismail, pasti tak akan habis habisnya menyesali di alam kubur, karena seluruh jejak jejak karyanya sudah dimusnahkan oleh Pemerintah orde baru. Sungguh menyedihkan, bahwa kita tidak lagi memiliki dokumentasi perfilman era orde lama, terutama sutradara sutradara yang dicap penganut paham komunis seperti Bahtiar Siagian. Itulah sebabnya film tak pernah lepas dari kepentingan berbagai pihak, terutama pihak yang berkuasa ( baca : pemerintah ). Sampai ketika orde baru rontok, masih ada pertanyaan apakah Pemerintah masih berkepentingan untuk mengatur perfilman ini. Termasuk penyelenggaraan Festival Film Indonesia yang telah digelar sejak tahun 1973. Khrisna Sen dalam bukunya “ Indonesia Cinema – Framing new order “, mengatakan FFI adalah bagian dari proses pengawasan dan pengarahan film nasional selain badan badan film yang dibentuknya. Sampai akhirnya Jum’at kemarin, saya mendapat sms dari Joko Anwar untuk datang ke pertemuan pekerja film untuk berkumpul di bilangan kemang. Topik utama dalam pertemuan ini adalah membahas langkah langkah yang perlu disuarakan mengenai penyelenggaraan Festival Film Indonesia, yang baru baru ini menimbulkan sejumlah kontroversi.

Pemilihan Film “ Ekskul “ sebagai film terbaik disamping sutradaranya, Nayato Fio Nuola sebagi sutradara terbaik, menjadi salah satu pemicu kontroversi mengenai standarisasi dan penilaian sebuah Festival Film Indonesia . Banyak kekecewaan disuarakan mengapa filmnya Nia, ‘ Berbagi Suami’ atau filmnya John De Rantau’ Denias ‘ atau film film yang dianggap bermutu bisa kalah dengan film berkualitas seperti ‘ Eskul ‘. Saya sendiri akhirnya tidak menghadiri undangan itu, namun dari teman teman yang hadir saya mendapat kesan pertemuan itu selain menyiapkan rancangan petisi keprihatinan pekerja film, juga secara tidak langsung menjadi pengadilan terhadap karya Nayato.

Memang sutradara ini cukup unik, dia kerap berganti ganti nama dalam menggarap film filmnya, seperti memakai nama Koya Pagayo dalam filmnya ‘ Panggil namaku 3 X’ dan ‘ 12.00 am ‘, lalu ada Chiska Doppert dalam film ‘ Missing ‘, memakai nama Pinkan Utari dalam film ‘ Gotcha ‘. Dia hanya memakai nama aslinya Nayato Fio Nuola dalam film ‘ Soul ‘ dan ‘ Ekskul ‘ sekarang. Apakah ini karena dia tidak PeDe sehingga memakai nama palsu, saya juga tidak tahu. Mau bertanya secara langsung juga tidak bisa karena saya sudah tidak memiliki nomor telponnya. Terakhir bertemu dengan dia mungkin sekitar 6 – 7 tahun lalu ketika ia masih menjadi sutradara iklan.


Terlepas dari kualitas filmnya yang dianggap biasa biasa saja, saya mengharapkan bahwa ini bukan kampanye secara sistematis terhadap jenis film lain, seperti ketika golongan realisme sosialis menggayang film film manikebu ‘ dari seni untuk seni ‘ jaman orde lama.. Saya lebih melihat bagaimana sistem dan prosedur penjurian ini dilakukan. Pola yang ada sekarang dimana dewan juri yang dipilih sangat rentan terhadap penyelewangan dan bentuk intervensi dari pihak luar, bukan saja Pemerintah tapi mungkin para pebisnis yang sangat berkepentingan terhadap industri ini. Saya sama sekali tidak meragukan integritas anggota dewan juri Rima Melati, Noorca M Massardi, Chaerul Umam, Eddy D Iskandar, Embi C Noer, Remy Silado dan WS Rendra dalam kompetensi bidangnya masing masing. Namun apakah mereka memiliki ‘ mata ‘ yang cukup up to date untuk mengikuti trend pergaulan , budaya, teknologi, serta memiliki pemahaman mengenai bagaimana menilai film yang baik dan buruk. Lihat saja, ada beberapa musik dalam film “ Ekskul ‘ yang jelas jelas menjiplak plak ketiplek soundtrack film Gladiator karya Hans Zimmerman. Ini memang kebodohan dewan juri mengapa sampai kecolongan ? atau memang tidak ada yang tahu siapa music composer kondang itu ? terutama Embi C Noer sebagai wakil dari musisi ( terakhir ia membuat musik filmnya ‘ Pengkhianatan G 30 S PKI ‘). Mudah mudahan Yato, demikian nama panggilannya kelak mau menjelaskan pertanggungjawaban etika penciptaan karya film. Kalau melihat contoh bagaimana Academy Oscar Award dilakukan, yang mana penjurian dilakukan oleh Academy of Motion Picture Art & Science sebuah lembaga non profit yang sangat independen dan memiliki integritas tinggi. Lembaga ini memiliki anggota sekitar 6500 orang yang mewakili 14 cabang interest – actor, animator and short film makers, art director and costume designers, cinematographers, composer and song writers, documentary film makers, directors,executive, producers, film editors, public relations specialist, sound technicians, visual effects expert and writer. Untuk tahap pertama, anggota harus memilih calon yang bidangnya sama, seperti misalnya sutradara yang anggota AMPAS hanya memilih sutradara. Kemudian setelah masuk nominasi baru seluruh 6500 anggota memilih calon calon pilihannya. Seluruh proses ini diawasi dan dilaksanakan melalui PriceWaterhouse & Cooper sebuah lembaga audit independen, dan sampai amplop itu dibuka di depan panggung, hanya dua orang partner PriceWaterhouse & Cooper yang tahu siapa pemenangnya.

Anggap saja dewan juri FFI telah melakukan tugas dengan sebaik baik dengan segala pertimbangan dan standarisasi yang dipakai. Bagaimana jika betul film film tipe horror, remaja, cinta anak sekolah ternyata memang menjadi potret film nasional kita ? Jumlah penonton kita justru menunjukan banyaknya angka penggemar jenis film film tersebut. Apakah kita harus malu dan tetap bersikeras bahwa potret film Indonesia yang sesungguhnya yang berkelas film film festival luar negeri dan penuh philosphy. Lihat India saja tidak pernah merasa rendah diri dengan gaya film menari, dan menyanyi diantara tiang tiang dan tetap memproduksi jumlah film yang terbanyak di dunia. Akhirnya ini memang potret masyarakat kita yang sakit, lebih percaya pada dukun dan tahayul sehingga suka film horror. Masyarakat yang terbiasa dengan poligami, tentang mimpi mimpi kota besar, sehingga film cinta memble lebih digemari, daripada film yang berseting di hutan Papua. Namun bagaimanapun juga kita mesti setuju bahwa film harus memberi kesaksian atas cermin peradaban suatu budaya, sekalipun betapa buruknya peradaban itu. WS Rendra tentu masih ingat sajaknya berjudul Kesaksian ( Aku mendengar suara, jerit hewan terluka/ Ada orang memanah rembulan / ada anak burung terjatuh dari sarangnya/ orang orang harus dibangunkan / kesaksian harus diberikan / Agar kehidupan bisa terjaga ).

Selamat Tahun baru 2007 !

You Might Also Like

35 Comments

  • landy
    January 1, 2007 at 2:43 pm

    mas, aku juga rada heran kok berbagi suami gak menang ya, stidaknya dapet apa gitu, berhubung komen2nya kan bagus baget mengenai film ini bahkan disejajarkan ma film festival luar, ayo donk mas bangunin temen2nya apa gak pada melek…. sebelllllllllllllll

  • dian mercury
    January 1, 2007 at 11:54 pm

    eskul itu singkatan dari apa sih, mas ? estra kurikuler ? lol

    ntar balek ke indo aku beli ah dvd pilem2x indo. yg asli

  • lance
    January 2, 2007 at 5:30 am

    pendapat yang baik mengenai potret masyarakat lewat filmnya. Tapi mungkin memang bayak yang harus dibenahi dalam badan rentan perfilman kita mas. Kalau tidak dimulai mungkin kita akan terus berada dalam kerangka kebijakan dan sistem yang memperlakukan film bukan sebagai produk budaya tapi sebagai alat propaganda semata seperti yag selalu menjadi momok bagi lembaga sensor film maupun pemerintah.

    Rasa takut mereka mengalahkan rasionalitas dan tujuan film yang justru hendak memotret wajah masyarakanya dengan apa adanya?

    Lalu wajah macam apa yang hendak kita tampilkan, mas? Wajah pura-pura kah?

    Atau memang kita senang berpura-pura?

  • amethys
    January 2, 2007 at 10:23 am

    wah..ga nyandak lagi…gimana seh aku ini…sorry yah mas…ga bisa ngasih komen bener aku ini..topiknya ndak mudeng (abis cuma suka pelem yg ringan2…komedi gitu..juga film ttg alam dan kehidupan aku suka)

  • za
    January 2, 2007 at 2:37 pm

    ndak nyangka banget hasil FFI-nya…. Kok beda ma yang za jagoin ya?Apa za yang gak punya selera yang bagus?

    ah sutralah…;)

  • helgeduelbek
    January 2, 2007 at 8:19 pm

    weleh gak bisa komentar blas kalau masalah pilem… buta aksara film kang…
    Wis sumonggo aku moco wae sik-lah

  • NiLA Obsidian
    January 3, 2007 at 12:28 am

    paling ngga….kesalahan dewan juri tahun ini, semoga jadi pemicu para pekerja film utk membuat karya yg bisa bikin melek..dan melek lgi juri2 tahun depan…

    berapa kali ya FFI pernah merasa kecolongan kayak gini?

  • kw
    January 3, 2007 at 3:16 pm

    ya ff1 tahun ini banyak yang protes. kabarnya sore ini, orang2 film mau bikin gerakan anti ffi di tim? ikutan gak mas?
    ok salam kenal

  • pyuriko
    January 3, 2007 at 3:59 pm

    Siapapun yg menang,… mungkin dia punya nilai tersendiri yg jadi patokan dewan juri,… 😀

    Selamat Tahun Baru 2007…

  • Iman Brotoseno
    January 3, 2007 at 4:02 pm

    juri juga manusia…

  • -FM-
    January 3, 2007 at 4:13 pm

    jurinya nampaknya sudah uzur semua ya. apakah nggak ada perwakilan dari orang-orang mudanya? at least, ini yang bikin mereka tetep up to date.

    berbagi suami-nya nia dinata nggak masuk FFI? wah, FFI perlu dipertanyakan lagi tuh keberadaannya.

  • totot
    January 3, 2007 at 4:28 pm

    Di mana saya bisa membaca tulisan yang utuh, mengapa film EKSKUL dianggap tidak layak menang FFI? Supaya penonton film seperti saya bisa tahu persis apa sebetulnya kekurangan atau kejelekan film itu (menurut para pemrotes). Jadi bukan sekadar protes atau keberatan tanpa argumentasi — apalagi dari orang-orang yang belum nonton EKSKUL tapi ikut-ikutan menghakimi.

    Mas Iman sudah nonton EKSKUL? Kalau sudah, daripada ikut-ikutan menghakimi lebih baik bikin posting berisi review/resensi film itu sebagai film, nggak usah dikait-kaitkan dengan FFI atau sutradaranya (Nayato) yang hobi gonta-ganti nama. Tunjukkan secara detail dan argumentatif kepada kami, ini loh jeleknya film EKSKUL sehingga benar-benar tidak layak menang FFI. Jadi kita paham, “Ooooh, begitu toh…” 🙂

    Capek nih denger orang marah-marah tapi nggak ngerti persis apa argumentasi kemarahannya. 🙂

    Soal musik. Menurut saya tugas juri memang cuma menilai apakah musik dalam sebuah film fungsional (gampangnya, bagus atau enggak, cocok atau enggak, efektif atau enggak) dalam membangun adegan atau cerita atau suasana. Dalam bahasa keren: menilai teks sebagai teks.

    Toh di formulir penjurian jelas-jelas tertulis siapa penata musik yang bertanggung jawab. Plis deh Mas, kasihan bener para juri kalau disuruh ngurusin hal-hal di luar itu, termasuk jadi detektif. Nah, yang penting buat kami, bagian mana dari musik di film EKSKUL yang nggak bagus atau nggak cocok atau nggak efektif, hingga membuatnya jadi sebuah karya yang benar-benar jelek?

    Bahwa musik tersebut pernah dipakai di film lain atau ciptaan orang lain, itu bukanlah urusan juri. Urusan hak cipta adalah urusan kreatornya (komposer, sutradara atau produser). Kalau ternyata nyolong, tentu mereka tahu konsekuensi hukumnya. Tapi siapa tahu mereka sudah membayar royalti?

    Saya tunggu reviewnya ya… 🙂

  • Iman Brotoseno
    January 3, 2007 at 4:52 pm

    ha ha totot,
    saya khan nggak pernah bilang film ‘Ekskul’ tidak layak menang, dan sayapun juga tidak ikut ikutan untuk untuk hari ini bersama para pekerja film membuat pernyataan petisi di TIM ( walaupun ditelponin terus sama teman teman ). Hanya saja bagaimanapun juga kejujuran sebuah hasil karya, ( disini – musik score nya ) adalah menunjukan integritas pembuatnya, tanpa harus memaksa team juri menjadi detektif. Justru postingan saya mempertanyakan pemilihan dan kualitas pemahaman para juri terhadap film film modern masa kini. Justru kesimpulan saya apakah justru ini potret film nasional yang sesungguhnya ?
    Kalau untuk review nggak aja deh, sebagaimana dalam posting saya sebelumnya di ‘Kuntilanak’ , bagi saya nggak etis seorang sutradara menilai film film sejawatnya. Cukup dilihat di Majalah Tempo minggu ini atau http:// http://www.sinema-indonesia.com.
    Selamat tahun baru 2007,..salam buat anak anak Satu Citra !

  • a l i
    January 3, 2007 at 8:22 pm

    banyak yang protes ya dengan kemenangan “ekskul”. saya baru aja baca detik, sejumlah pemenang piala citra seperti tora sudiro kabarnya mengembalikan piala citranya.
    kenapa ya mas juri-jurinya “oke” tapi kok bisa salah pertimbangan.
    apa musti gak ada juri, dipilih lewat esemes aja. kayak AFI dunk ;p

    btw selamat tahun 2007
    semoga menjadi lebih baik buat kita semua. salam kenal juga! senang bisa kunjungan balek 🙂

  • Iman Brotoseno
    January 3, 2007 at 8:52 pm

    Ali..
    thats very fresh thoughtful…memilih pakai sms kayak AFI..
    good idea

  • Blogguebo
    January 4, 2007 at 12:28 am

    Sretna Nova Godina!

  • joni
    January 4, 2007 at 3:12 am

    ya mas setuju…
    di India sini mereka pada bangga dengan produknya sendiri!!!
    jadi dibioskop2 sini yg diputar kebanyakan film nasional mereka sendiri.. *mereka gak peduli dibilang norak*
    dan juga lagu2..
    temen2 kul ku disini banyak gak tau artis ato penyanyi dari manca negara mereka taunya cuma preity zinta, john abraham, kareena kapoor dsb..

  • ibunyaima
    January 4, 2007 at 9:15 am

    Baru beli DVD Ekskul hari Minggu lalu, belum ditonton, jadi belum bisa komentar.. hehehe.. Waktu diputar di bioskop ogah nonton karena pengalaman selama ini kalo lihat film yg berbau2 konsep psikologi, pasti pulangnya pingin “nyela”, lantaran konsep psikologinya berantakan (contoh: Belahan Jiwa yang mendefinisikan perpecahan kepribadian sebagai HANYA DALAM PIKIRAN, sehingga pribadi2nya hidup secara paralel, bukan sequential).

    I’ll be back deh with a proper comment kalo udah nonton.. 😉

  • rievees
    January 4, 2007 at 10:51 pm

    Saya termasuk orang yang terheran2 dgn kemenangan EKSKUL.. Terutama kalo dah baca review sy tentang film ini (http://rievees.blogspot.com/2006_05_01_rievees_archive.html)… Emang sy orang awam bgt yg samsek ga ada background film… Bahkan sy juga ga brani bilang kalo selera film sy okeh… Kheranan sy lebih krn film Ekskul ini bisa ‘ngalahin’ film sekualitas Berbagi Suami… Hebat bgt! Oke kalo juri blg mrk liat temanya yang unik… Kalo temanya doank yang bagus, knp ga dibikin award khusus aja… Tema film terbaik gitu kalee (secara kalo kategori tema original terbaik dah ga mungkin masuk kan?!)…
    Wah, maap nech yak kalo jadi terbakar esmosi di blog nya mas Iman.. hehehe..
    Intinya sech kalo sy, masih banyak film & sutradara bagus lainnya yang layak bgt menang di FFI taun ini.. Knp musti fiilm satu ini yg menang?
    Tanya kenapa?? *ala iklan Sampoerna A mild*

    http://rievees.blogpost.com
    http://bitsofrievees.blogspot.com

  • glenn_marsalim
    January 5, 2007 at 12:47 am

    mas iman,
    aku pas liburan natal kemaren nonton DVD Ekskul. karena menang best film, aku jadi pengen tau aja.
    dan pas aku nonton, sejujurnya aku setuju aja kalau film ini jadi film terbaik. aku gak ngerti soal film, tapi aku suka. dari awal sampe akhir film aku menikmati aja.
    soal lagu yang nyontek, aku gak ngerti ngerti amat itu. pun kalau nyontek, harusnya ketika EKSKUL masuk nominasi aja udah dikomplain dong…
    anyway, tahun 2006 mencatat kesamaan antara Citra Pariwara dan FFI. pemenangnya sama-sama ada unsur kesamaan dengan karya dari luar. entah sengaja atau gak sengaja bukan masalah. tapi ada apa dengan pekerja seni komersial kita?
    kebanyakan nonton film luar? kebanyakan liat buku award winning?
    atau harusnya kita jadi negara eksklusif model cina yang gak peduli dengan perkembangan dunia?
    jujurnya, aku setuju yang terakhir. bukan karena aku cenes, hehehe, tapi karena aku berpendapat gak ada salahnya sama sekali untuk ‘tidak tahu apa-apa’.

  • MaIDeN
    January 5, 2007 at 5:27 am

    kalo aku ingat musicnya … pas banget dengan sajaknya … touching … Masih inget yang nyanyi in siapa ?

  • Iman Brotoseno
    January 5, 2007 at 10:13 am

    ibunyaima…gimana proper commentnya ?
    maiden..siapa yg nyanyi ?
    rieeves & glenn,…banyak juga orang membela ekskul sebagai film yang layak menang.terlepas dari originalitas musik, medium formatnya, dan lain lain…tapi sudahlah, tapi ada yang menarik stetemen dari Sophan Sophian pagi ini,..kok karya film sudah menjadi berhala baru, yang dikejar terus sampai ke ujung dunia untuk menang kompetisi…
    btw glenn, saya setuju dengan semakin banyak ketergantungan pekerja seni dengan yang namanya referensi, winning award references dsb,,,membunuh originalitas kita

  • ibunyaima
    January 5, 2007 at 11:40 am

    Mas Iman, ini proper comment-nya.. hehehe..:

    Setelah nonton Ekskul tadi malam, I join the force deh! Join the force untuk mempertanyakan kenapa Ekskul yg menang jadi film terbaik!

    Tadinya saya pikir Denias tidak menang karena “terlalu cantik” penggambarannya. Mungkin Ekskul dan Berbagi Suami at parity dalam menggambarkan kenyataan hidup. Dan karena saya sudah nonton Berbagi Suami, saya kira Ekskul memiliki “nilai lebih” dalam menggambarkan kenyataan hidup.

    Ternyata.. menurut saya, Ekskul film yang membosankan dan tidak natural, hehehe.. Memberikan setting Indonesia pada sesuatu yg Amerika-banget 😉 Di Indonesia siswa “menggencet” adik kelas, tidak “bullying the nerd”. Terus.. saya juga gak jelas kenapa semua guru harus pakai intonasi tinggi. Nggak natural banget deh!

    Yang paling mengganggu buat saya: KENAPA SIH PERCAKAPANNYA HARUS SUPERFISIAL BEGITU?

    Menurut saya aneh banget orang yg disandera masih berusaha bicara dgn logika pada penyanderanya. Dan lebih aneh lagi, penyandera MENGAKUI bahwa tindakannya adalah untuk mendapatkan perhatian dan menjadikan dirinya ‘dianggap’ oleh orang lain.

    Kebutuhan akan perhatian dan “dianggap” itu sangat subconscious! Penyandera gak akan mengakui di level conscious seperti digambarkan di film ini.

    Well.. banyak lagi yg bisa saya komentari.. hehehe.. Tapi kayaknya kepanjangan kalo ditulis di sini ;).

    Intinya: kok bisa ya Ekskul menang? Hehehe..

  • Hani
    January 5, 2007 at 2:48 pm

    yah namanya juga selera 😉 seperti saya yang cuma selera nonton film anak2 ato dokumenter…hehehe

    salam kenal juga mas. kapan2 diving bareng yuuuk!

  • MANUSIASUPER
    January 6, 2007 at 11:13 am

    Saya no koment, di Banjarmasin masih da ada bioskop. Dan saya masih anti liat pilem bajakan, jadi saya buta sama sekali dengan perpileman nasional, he…

  • Arif Kurniawan
    January 7, 2007 at 3:46 am

    Bagus mas, analisanya. Saya juga kaget waktu mendengar soundtracknya eskul. Alhamdulillah ada yang nulis isu ini.

  • Iman Brotoseno
    January 7, 2007 at 10:31 am

    kayaknya sekarang tambah seru tuh he he, udah emosi emosian antar generasi tua dan generasi muda..wadooohhh

  • Rasyid
    January 7, 2007 at 11:47 pm

    gw juga kaget seh bisa menang yah…???? soalnya diliat dari ekstranya aja gw udah rada2 ga napsu…paling ga jauh ceritanya kaya yg disinetron.
    Gw jadi pgn nyewa VCDnya tapi jadi rada males neh..apalagi pas baca komentnya ibunyaima jadi tambah males.
    mas Iman…Ga Penting Piala Citra..!! Ga penting award2an..!!
    Yg penting bikin film yg bermutu dan original tanpa harus contek karya orang lain…!!

    Oh iya mas… bikin film Perang dong..! kaya Band of Brothers ato Saving Privat Ryan versi perang kemerdekaan , gw juga bersedia kok jadi artisnya ..hehheheehe…

  • mei
    January 8, 2007 at 9:01 am

    ekskul???biasa ajah ah…seperti film2 remaja pada umumnya, gak ada yang greget…

  • KEMENTERIAN DESAIN INDONESIA
    January 9, 2007 at 1:43 am

    wah ulasan mas broto memang yahud..

    btw kami juga memiliki ulasan (gak penting) buat perfilman indonesia..

    mohon mampir di

    http://menteridesainindonesia.blogspot.com/2006/12/pemenang-film-terbaik-ffi-2006.html

    dan

    http://menteridesainindonesia.blogspot.com/2006/09/festival-film-indonesia.html

    salam

  • luigi
    January 10, 2007 at 1:57 am

    Terlepas dari pertimbangan untung-rugi dalam mbuat filem, bisa dibilang kita masih beruntung bahwa masih ada filem yang mengekspose Papua dan sisi sosial lain-nya..

    Kemajuan [dan kemunduran] film nasional – terkait juga dari dukungan kita dan usaha grassroot dari masing2 individu untuk senantiasa mendukungnya – dengan terus menonton dan berhenti membeli kopi bajakan si filem2 nasional itu 🙂

    Sebagai kampret yang jauh dari kampung – menonton filem nasional adalah pengobat rindu meski si DVD-Arisan itu udah berkali-kali di tonton [habis udah gak punya yang lain lagi, itu juga dikirimin teman dari kampung].

    Seneng udh bisa mampir kesini, selamattahun baru 2007 – moga2 thn ini filem nasional bisa beranjak dan bangkit dari jalan di tempatnya.

  • bebek
    January 11, 2007 at 1:33 pm

    apa bener gosip yang menyebutkan film ekskul ini jiplakan karya?? uuughh…. kreatifitas sungguh barang mahal di jaman ini 😛

  • MaIDeN
    January 13, 2007 at 8:24 am

    Gosip terbaru piala citranya pada dipulangin. Apa bener ? Ceritain dong …

  • Budi Maryono
    January 15, 2007 at 6:10 am

    Aku sering gak rampung saat nonton film (VCD/DVD) Indonesia. Lha kalo pas di gedung, ya misuh-misuh sampai tamat. Maka jangan kata Ekskul, ketika Arisan! dan Gie menang saja aku kecewa. Tapi karena aku gak punya Piala Citra, ya cuma bisa ketawa, gak bisa mengembalikan apa-apa…

  • zaskia
    July 10, 2014 at 2:51 pm

    thanks sob untuk postingannya…
    article yang menarik,saya tunggu article berikutnya yach.hehe..
    maju terus dan sukses selalu…
    salam kenal yach…
    kunjungi blog saya ya sob,banyak tuh article2 yang seru buat dibaca..
    http://chaniaj.blogspot.com/

Leave a Reply

*