“ Whenever they burn books, they will also, in the end, burn human beings “
(Heinrich Heine).
Tidak ada yang lebih menyesakan ketika melihat pembakaran buku buku “ 5 Kota paling berpengaruh di dunia “ yang dilakukan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, sebagai bagian dari Kelompok Keluarga Kompas Gramedia. Entah apa yang dibenak para pimpinan perusahaan, wartawan atau penulis penulis yang bernaung dalam perusahaan penerbitan terbesar di negeri ini, ketika melihat buku buku di giring ke halaman dan dibakar.
Walau judicial review bisa dilakukan. Tapi dengan mudahnya saya menebak, bahwa perusahaan ini – yang kerap direpresentasikan sebagai simbol bisnis kelompok Katolik – memang mencari jalan aman, untuk tunduk dari tekanan entah itu ormas agama atau lembaga swadaya urusan agama Islam bentukan Pemerintah.
Saya tak berani membayangkan reaksi Pak Dani ( 47 th ) yang mengelola ‘ Bank Kampung Ilmu “ di Surabaya, kalau mendengar aksi ini. Bank yang mengkhususkan simpan pinjam untuk 84 orang anggota, pemilik kios toko buku di kawasan Kampung Ilmu. Bagaimana mereka dengan uang pinjaman, memburu buku buku, baik buku bekas atau baru, termasuk majalah bekas. Komoditi buku tersebut dijual dengan harga yang sangat murah sehingga merupakan surga ilmu pengetahuan bagi masyarakat Surabaya.
Mata mereka berbinar binar jika datang pasokan buku buku yang dibawa tukang becak atau pedagang eceran. Mereka akan berbisik merintih ketika melihat jauh di ibu kota sana, ribuan buku dibakar.
Sebagai pemilik buku buku tersebut, tentu saja PT Gramedia Pustaka Utama berhak menarik dari peredaran. Apapun alasannya. Tapi membakar di depan khalayak ramai menjadi sebuah tontonan barbar ? Tidak cukupkah dengan menariknya dari peredaran.
Kalau sudah begini, saya membayangkan Gramedia, memilih publikasi murahan atas sikapnya untuk tunduk kepada tekanan.