Suatu waktu Menteri luar negeri H. Agus Salim jaman revolusi kemerdekaan, disela disela jamuan makan di London menyempatkan merokok kretek kegemarannya. Mendadak banyak diplomat diplomat asing bertanya tanya bau apa gerangan, sambil mencari cari sumber asap.
Dengan tenang salah satu founding father negera kita, menjelaskan dengan santun.
“ Tuan tuan, sesuatu dalam rokok inilah yang membuat armada negara negara anda rela menempuh ribuan mil mendatangi negeri saya ratusan tahun lalu “.
Anekdot yang diceritakan itu tidak berlebihan, bahwa begitu banyak hal tentang Indonesia yang diketahui oleh bangsa asing ,tapi justru mereka tidak sadar bahwa itu adalah bagian atau menjadi ciri Indonesia.
Dalam perjalanan road show blogger asing di Bali kemarin . Mark, dari Amerika mengatakan bahwa banyak orang di negerinya justru menganggap Indonesia adalah bagian Bali. Tentu saja saya tidak mengkritik bagaimana pelajaran geografi anak anak di sana, padahal berkat pelajaran itu pula, sejak SD saya tahu ada negara yang namanya Pantai Gading di Afrika.
Ini juga mengingatkan perjalanan di atas kereta dari Italy menuju Paris duapuluh tahun lalu, sebelum atau sesudah kota Nice – saya lupa – saya harus menjelaskan kepada sepasang bule bahwa presiden Republik Indonesia sekarang sudah bukan Soekarno.
Bagaimana mengemas sebuah paket yang namanya Indonesia memang sudah menjadi problem sejak dulu. Ini yang membuat kita selalu ketinggalan dengan negara negara lain dalam mempublic relations negerinya.
Ini masalah strategi komunikasi dan sepertinya Pemerintah sudah memiliki cara baru dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk mempromosikan Indonesia. Termasuk dengan memakai blogger blogger untuk menyebar sebuah pewartaan tentang Indonesia. Mudah dan efektif.
Efek spreading dari penulisan blog bisa jadi lebih dipercaya daripada pameran pariwisata yang kerap digemari birokrat. Brosur brosur yang disebarkan di manca negara, dengan kualitas kertas cetakan buruk, bahasa Inggris yang salah dan gambar foto yang buram.
Walhasil kalau dipajang di pameran, orang lebih suka mencomot brosur dari Maldives, yang gambar lautnya indah dan stand out. Padahal percayalah, setiba disana lautnya biasa biasa saja. Alam bawah lautnya tidak ada seujung kuku dengan apa yang dimiliki Indonesia. Hanya bermodal pasir putih dan pelayanan resort hotel yang bagus.
Kedatangan Anthony dari Australia secara tidak langsung justru membuat counter opini yang berlawanan dengan kebijakan travel warning yang dikeluarkan pemerintahnya karena proses eksekusi Amrozi.
Kehidupan di Indonesia aman aman saja, tidak ada pasukan yang berseliweran di mana mana. Orang orang masih menyapa ramah. Satu satunya yang dikeluhkan mereka – para blogger asing – hanya jaringan internet yang sucks katanya.
Memang tak ada yang sempurna. Catatan Cheng Ho terhadap negeri yang panas dan lembab ini, membuat ia juga menjaga jarak terhadap penduduk asli ‘ pemuja setan ‘ serta gemar makan ‘ ular dan serangga ‘. Namun ia tak bisa memungkiri betapa menariknya negeri ini untuk dijelajahi.
Dalam laporan Frederick De Houtman – saudara Cornelis de Houtman yang terbunuh – setelah kembali ke Belanda tahun 1603. Ia menulis daftar kata kata bahasa bahasa melayu dan katalog bintang bintang sebelah selatan.
Catatan catatan para penjelajah benua yang kelak akan mengundang armada yang jauh lebih besar. Mencari dunia baru. Jika jaman sekarang dibutuhkan catatan catatan untuk mengundang turis.
Perjalanan para blogger asing walau tidak kesemua daerah di Indonesia. Hanya Bali, Jogja dan Jakarta setidaknya akan memberikan perspektif beda tentang sebuah negeri yang sebenarnya menakjubkan. Bahwa Indonesia tidak melulu identik dengan teroris, elit politik yang kacau balau, korupsi dan ketidakadilan. Negeri yang membuat saya selalu rindu dan ingin cepat cepat pulang sewaktu berada di luar negeri.
Kebanggan yang merekat dalam tulang tulang sumsum saya dan kecintaan yang bisa membuat kita bersyukur, berzikir atas penciptaanNya. Tak heran MAW Brouwer pernah mengatakan, Tuhan sambil tersenyum ketika menciptakan bumi parahiyangan. Mungkin bisa diartikan Indonesia secara keseluruhan.
Selama di Bali, mungkin sebenarnya saya melihat bahwa Bali adalah sebuah cita cita Indonesia yang ideal. Pengakuan atas pluralisme dan bumbu lokalnya yang tak pernah hilang dengan arus jaman.
Saya juga melihat teman teman Blogger Bali yang antusias dan begitu menakjubkan mempersiapkan acara penyambutan tamu tamu blogger dari luar.
Ini memang perjalanan yang menyenangkan. Bertemu teman teman baru dan menumbuhkan sedikit harapan tentang Indonesia yang jauh lebih baik. Ini bukan gagasan di antah berantah. Ini kenyataan di depan mata kita sendiri. Gagasan mewartakan negeri ini.
49 Comments
stey
November 20, 2008 at 8:35 ammasak saya pertamax sih?
edy
November 20, 2008 at 8:39 ammungkin perlu pewartaan yg seimbang ya, mas
bahwa selain jeleknya masih ada bagusnya juga
walopun makan ati liat kelakuan penguasanya…
stey
November 20, 2008 at 8:41 amgimana kalo besok2 blogger asing yg berkunjung kesini jgn cm dibawa ketempat2 yg udah common kyk bali,jogja or jakarta..gimana kalo mereka juga diajk ngliat otherside of Indonesia yang cantik lainnya macam Bunaken, Sumatra atau bahkan Papua?
mantan kyai
November 20, 2008 at 9:53 amgreat idea. mewartakan negeri sendiri bukan menertawakan diri sendiri. !!!
angki
November 20, 2008 at 10:10 amTak share di Facebook-ku ah.
Aris Heru Utomo
November 20, 2008 at 10:43 amUpaya mewartakan Indonesia bukan cuma tugas pemerintah, tetapi memerlukan keterlibatan seluruh elemen bangsa. Mesin birokrasi pemerintah masih terlalu lambat untuk mewartakan berbagai hal tentang Indonesia. Contoh sederhana sudah dikemukakan mas Iman mengenai bagaimana sederhananya brosur promosi yang dibuat, belum lagi masalah keterlambatan. Ketika tahun 2008 dinyatakan secara resmi sebagai Visit Indonesia Year, sampai sekitar April 2008 brosur2 promosi masih belum tercetak, yang ada sisa tahun2 sebelumnya.
Selain melalui promosi wisata, upaya mewartakan Indonesia juga sudah dilakukan dengan antara lain mengundang wartawan mengunjungi beberapa daerah di tanah air (dengan biaya pemerintah tentunya) ataupun memberikan beasiswa untuk mempelajari kesenian selama beberapa bulan. Tapi ya itu tadi, semua itu masih belum cukup jika tidak didukung berbagai pihak lainnya.
Salut untuk panitia PB08 yang telah mengundang blogger asing untuk membantu mewartakan Indonesia. Ke depan semoga lebih banyak lagi yang terlibat. Salam.
btw kayaknya saya enggak bisa datang ke PB08 nich, tiba2 harus konsinyering tgl tsb. Padahal sudah jauh2 hari sudah diset utk ikutan. 🙁
Wazeen
November 20, 2008 at 11:07 amMas berarti negeri kita terkenal dengan rokok dan para perokoknya?
Setiaji
November 20, 2008 at 11:22 amBlogger Indonesia sedikit banyak menjadi Public Relation bagi bangsanya sendiri. Dengan mewartakan hal-hal yang menarik dari Indonesia semisal Bali sebagai surga wisatawan dan daerah lain yg kaya akan budaya.
Dan ide ini jauh lebih baik dan bermanfaat ketimbang selalu dengan gesitnya menjelek-jelekkan bangsa sendiri.
Tiap-tiap dari kita memang tidak wajib membanggakan Indonesia. Tapi satu yang harus diingat. Kita lahir disini dan kemungkinan besar juga dikubur di tanah ini.
Nazieb
November 20, 2008 at 11:28 amSemoga saja bisa dibarengi dengan langkah kongkret pemerintah untuk bisa mengubah citra negeri ini..
Moh Arif Widarto
November 20, 2008 at 12:39 pmJadi, kapan kita akan mulai mewartakan tentang Indonesia, Mas? Saya akan mencoba mengusahakannya deh. Walaupun boso Inggris lebih belepotan daripada brosur-brosur itu.
Nyante Aza Lae
November 20, 2008 at 2:57 pmwah..slamat niy..anda2 yg hadir pada pertemuan blogger di Bali itu adalah merupakan “duta” bangsa Indonesia dalam rangka menepis image negatif yg kadung melekat di negeri tercinta yang bernama INDONESIA!
edratna
November 20, 2008 at 3:00 pm@Aris Heru Utomo
Yahh kok nggak jadi datang mas?
Mudah2an saya sampai detik terakhir aman…tak ada gangguan.
Mas Iman, benar yang dikatakan mas Aris ini, bahwa tak hanya pemerintah tapi seluruh elemen bangsa…dan bagaimana para blogger berperan serta untuk melakukan hal-hal positif agar Indonesia di kenal di luar sebagai bangsa yang beradab…
Epat
November 20, 2008 at 4:04 pmSuara baru indonesia! semakin terbukti nyata….
erander
November 20, 2008 at 4:39 pmEnaknya bisa kopdar dengan blogger seluruh dunia.
Ocha
November 20, 2008 at 5:07 pmKapan2 bloger asing kalo diundang ke Indonesia lagi, harus ke Papua 😀
ke Sorong aja cukup kayaknya.
auliahazza
November 20, 2008 at 5:46 pmiya mas benar, brosur kita biasa,biasa saja, bahasa inggrisnya ada yang salah, contohnya brosur agenda ulang tahun kota sawahlunto ke 120 mulai tgl 28 november – 2 desember :D. Seringkali, pelaku pariwisata kita tidak siap atas pertanyaan para wisatawan. Soal foto-foto pariwisata memang susah didapat.
Demi meriahnya acara ultah sawahlunto, saya nyebar pengumuman lewat dunia maya baik blog, di forum, dan milist.
oh, ya mas, nanti di pestablogger, rencananya saya mau pake sendal made in kampung saya yaitu silungkang. Bagaimana kalau peserta pestablogger, pake salah satu bagian dari khas daerahnya masing-masing 🙂 misalnya blangkon (CMIIW) selain pake baju pestablogger 😀
Dony Alfan
November 20, 2008 at 6:31 pmYa, para blogger bisa menjadi ‘humas’ yang baik bagi Indonesia. Asal bukan blogger seperti lapotuak.wordpress
kyai slamet
November 20, 2008 at 6:48 pminspiring….
mau nulis tentang gang dolly ah…
lho?
Hedi
November 20, 2008 at 6:51 pmsalah satu sarana mewartakan Indonesia adalah blogging by english, cuma energinya ga tahan, mas 😀
junjungpurba
November 20, 2008 at 10:33 pmbelajar sejarah nih:D
Iman
November 20, 2008 at 10:57 pmdony alfan,
itu memang blogger sontoloyo si lapo tuak..tapi nggak mungkin orang denganh mudah terprovokasi.Mudah mudahan.
Ocha, stey,
itu yang kita diskusikan untuk tahun depan, lebih ke daerah daerah luar jawa, dengan jumlah blogger asing yang lebih banyak. Doakan saja
Arif Widarto,
saya sudah kok..he he lirik dunialaut.com
nadia febina
November 21, 2008 at 3:30 amwaah senangnya kalau sedikit2 Indonesia mulai dikenal dunia luar seperti apa adanya. 🙂 Pernah ada teman dari Eropa bilang, “oh I’ve made it to Bali, but never get a chance to go to Indonesia” Gubraak, mau dibenerin cape ya, hihihihi… 🙂
Donny Verdian
November 21, 2008 at 4:39 amSlamat berpesta, Mas!
dian
November 21, 2008 at 5:18 amaku seumur idup kok gak pernah ketemu orang yg menyangka bahwa indonesia adalah bagian dari bali yak….meski gak pernah dengar nama indonesia, setidaknya mereka taulah bali itu bukan nama negara. apalagi yg udah pernah ke bali. didestinasinya pasti tertulis, Bali, Indonesia. atau setidaknya dia cari tau bali itu di negara mana.
elly.s
November 21, 2008 at 6:21 ambener mas..
pewartaan Indonesia diluar asal2an bgt…
padahal kita punya semuanya…
sediihhh..
didut
November 21, 2008 at 7:48 amsama sedihnya ketike ke tourism center dan mendapati hanya brosur lama yg ada disitu plus mrk tdk tau agenda event kotanya sendiri
Soedarsono Esthu
November 21, 2008 at 10:06 amCampur Sari
Dualitas sosiobudaya di Indonesia telah terinisiasi sejak zaman imperial. Dua sistem sosial: moderen dan “alamiah” [menghindari istilah tradisional] hidup berdampingan.
Tetapi uniknya, kedua sistem tersebut tak berkomunikasi apalagi berhubungan secara fungsional.
Kedua sektor tadi seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri-sendiri.
Sektor modern dari dan untuk Orang Luar [kolonial], dan sektor alamiah [pribumi] bekerja terpisah-pisah mengikuti kehendak sejarah lokal.
Anehnya, meski tak berhubungan secara fungsional, dualitas sosiobudaya tadi telah mampu melahirkan budaya feodalisme yang sangat kental, meski pada awalnya masih bersifat kedaerahan.
Bahkan, aliran feodalisme tersebut semakin menjadi besar manakala sektor moderen [baca pemerintahan] semakin memekarkan birokrasi.
Birokrasi menjadi rumah sekaligus pasar untuk tumbuhnya budaya feodalisme [yang nantinya menjadi tempat persemaian KKN].
Oleh sebab-sebab yang sama pula, dualitas sosiobudaya terlanjutkan pada Zaman Kemerdekaan. Sektor moderen yang ditinggalkan kaum kolonial diisi oleh kalangan terdidik pribumi yang berkesempatan mengecap pendidikan moderen di sekolah-sekolah elite Pasca Polotik Etis 1903. Indonesia versi mereka adalah Indonesia-normatif, Indonesia versi agen dan sekaligus pasien kebudayaan. Mereka berkiprah terutama lewat sektor Negara, yaitu: birokrasi, militer, badan dan jawatan milik Negara yang dinasionalisasi.
Namun apa lacur, karena nasionalisasi hanya terhenti sebatas tataran struktur politik; [pribumisasi, nasionalisasi struktur peninggalan Jepang dan Belanda] tertinggal atau senjang pada tataran kultur. Blue print perubahan di Era Kemerdekaan tetap merujuk pada kultur kolonial yang, diketahui berjarak senjang dari makna dan pemaknaan anak-anak negeri sepanjang zaman. Ini terbukti dari peran aktif sektor moderen berupa penyingkiran segala bentuk lokalitas [nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, hukum, pranata sosial, religi, agama, persekutuan, ulayat] dari Sistem Hukum Nasional [SHN].
Bukan bualan jika SHN Zaman Kemerdekaan lebih kolonialistik dibanding sistem hukum Kolonial Belanda. Akibatnya proses evolusi sosiobudaya secara nasional kalau tidak terbelokkan maka juga tersumbat atau terkacaukan. Masyarakat lokal dan lebih-lebih sektor alamiah tak lebih dari tamu di negeri sendiri. Evolusi sosio budaya lebih tragis lagi, ketika peranan perantara yang pernah dimainkan oleh golongan Asia Timur pada Zaman Kolonial justru absen pada zaman kemerdekan. Meski kelas menengah tumbuh cukup signifikan, tetapi mereka lebih menjadi konglomerasi baru. Merekalah yang lalu berkuasa di bidang industri dimana masyarakatnya lebih mengutamakan “keseiasekataannya” [patembayatannya] sehingga “patembayatannya” menjadi unsur utama ikatan kemasyarakatannya. Pada masyarakat industri, masalah yang diutamakan adalah ’patembayatannya’ [bersepakat/bersekutu seia sekata] yaitu pasar industri yang diutamakan. Maka ikatan kemasyarakatannya adalah derivatif dari serba kepentingan.
Pola komunikasi yang bekerja selama itu hanya searah: dari negara kepada rakyat, dari nasional ke lokal, dari normatif ke realita, dari moderen ke alamiah. Gagasan keindonesiaan yang diterima di tingkat lokal, praktis hanya Indonesia-normatif atau Indonesia-ide, bukan Indonesia yang sebenar-benarnya. Sebaliknya, umpanbalik dari lokal ke nasional, dari empiris ke teori, dari realita ke norma, tersumbat oleh struktur sosial yang invalid [dual].
Media massa misalnya, lebih efektif berperan sebagai corong ideologis sektor moderen [dahulu pemerintah, sekarang pasar] kepada rakyat, ketimbang alat kontrol sosial atau panggung apresiasi publik. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah pengerdilan diri nasional. Di satu sisi terus-menerus mengisi ruang yang terlalu sesak, di sisi lain membiarkan ruang kosong makin hampa.
Anomali berkepanjangan pasca Soeharto pun berakar pada disfungsi komunikasi sektor moderen dengan sektor alamiah. Sektor moderen seperti berhalusinasi menafsirkan keadaan.
Sektor moderen asyik dengan dunianya sendiri yang menyempit oleh belenggu modernitas pinggiran, yaitu konsumerisme dan ekonomisme.
Tendensi itu memperdalam kejatuhan, memperlancar periferalisasi Indonesia. Patut dicatat, relisiensi [daya kenyal, daya pegas] sektor alamiah yang menyangga Indonesia sehingga terhindar dari kebangkrutan pasca Soeharto. Pada saat Indonesia menuju sampai kepada puncak kehancuran ekonomi [1996-1997] ternyata usaha mikro tetap berkibar bahkan menjadi daya penopang perekonomian nasional yang begitu kokoh. Ribuan kelompok usaha bersama dan ratusan institusi keuangan mikro yang tak pernah mendapat sentuhan kebijakan pemerintah [baca; subsidi] justru bebas dari KKN dan benar-benar mengangkat harkat serta derajat dan mewujudkan kesejahteraan wong cilik.
Perilaku media terutama televisi lima tahun terakhir pasca Soeharto menjadi cermin.
Televisi baru, asyik mengeksplorasi realitas pusat kota [baca: Jakarta], realitas modernitas pinggiran [baca: konsumerisme], atau realitas pasien kebudayaan [baca: selebritis].
Lihat saja acara-acara televisi yang lebih gencar memasarkan produk-produk konsumerisme kelas atas daripada hasil-hasil kreativitas masyarakat kecil.
Realitas Indonesia di balik gunung, di lembah, di padang rumput, di tengah hutan, di tengah laut, di setiap tempat yang kaya makna dan magis tak pernah disingkap. Realitas Indonesia belum terkuak, dan karenanya Indonesia belum menemukan jendela pesona diri dan dunianya.
Disfungsi komunikasi sektor moderen vs alamiah penting segera diatasi. Sektor moderen yang menguasai infrastruktur material harus dibantu agar dapat menyandarkan diri pada realitas Indonesia. Sebaliknya sektor alamiah yang kaya ide dan perspektif penting didorong mengorganisir diri, sehingga menemukan kambali élan vital-nya. Kekuatan sektor moderen [infrastruktur] mesti dipersambungkan dengan kekuatan sektor alamiah [ide dan perspektif].
Fenomena “Campur Sari” dalam berkesenian adalah teladan aktual. Di situ, modernitas dan “naturalitas” berkolaborasi mencuatkan ragam atau perspektif baru yang terbukti dapat diterima publik secara meluas [meski baru terbatas orang Jawa?].
“Campur Sari” tampil sebagai model komunikasi yang rekonsiliatif dalam lapangan kesenian, melunakkan kontras dan mendekatkan sentimental unsur dual, yaitu modernitas dan naturalitas.
Model “Campur Sari” ini dapat diadopsi sebagai upaya memecah kebekuan pada lapangan kebudayaan yang lebih luas. Jika proses Menjadi Indonesia diasumsikan sangat ditentukan oleh dinamika sektor moderen, dan jika sektor moderen merupakan arena hegemoni yang selalu terbuka sepanjang zaman, maka hegemoni dapat menjadi salah satu strategi pokok mendorong tumbuhnya “campur sari” kebudayaan Indonesia.
Kekayaan ide dan perspektif di sektor ‘natural” yang sebagian besar mungkin telah berantakan atau terkoyak-koyak, mestilah diusung memasuki arus utama wacana di sektor moderen.
Struktur perantara [intermediary structure] diperlukan sebagai “mak comblang” atau komunikator untuk: mengenali, menggali, merekonstruksi, menganalisis, menulis, menceritakan, memberitakan, mengartikulasikan, mengkritik, mengapresiasi, mengemas, dll.
Pada tataran praksis, tugas ini sebenarnya relatif sederhana, yakni merajut kolaborasi sistem media [cetak dan elektronik] dengan sistem pegiat [LSM. CSOs] yang bergerak di sektor “natural”.
Kolaborasi ini sangat menjanjikan. Banjirilah sektor moderen dengan fakta dan realitas Indonesia.
Di sana ada pesona, merangsang orang beranjak dari Indonesia-norma ke Indonesia-Nyata, MENJADI INDONESIA.
Nah, Mas Iman kan masih muda, banyak fansnya. bagaimana kalau lewat Pesta Bloger nanti kita bikin rencana untuk memenuhi media dengan Indonesia Nyata? Saya siap jadi volunteer.
Soedarsono Esthu
0878-8070-4468
boyin
November 21, 2008 at 10:33 amMudah2an tahun depan masih ke Bali lagi..jadi saya bisa ikut.
afwan auliyar
November 21, 2008 at 5:22 pmehmm, emang dari segi promosi blogger memiliki prosentase yang cukup besar 🙂
salut neh buat para blogger yang telah memberikan citra positif buat indonesia 🙂
sue
November 21, 2008 at 5:43 pmsaya pernah liat ada brosur dari biro perjalanan di salahsatu kota di Prancis yang menawarkan paket liburan ke Bali. Surprise juga, soalnya kota itu kecil aja. Mudah2an bakalan ada paket tour ke kota2 lain di indonesia. tapi kalo indonesia dianggap bagian dari bali, saya juga pernah ngalamin sendiri ditanya darimana saya bilang dari indonesia, eh si nenek itu malah bilang, “oh indonesia itu di bali ya?” cape deh 🙂
Asap di Pesta Blogger 2008 « kopidangdut
November 21, 2008 at 6:45 pm[…] nanti ada ruangan acara photoblogger dari Mas Iman di ruang A1 dan dibuatkan teleconfrence dari ruangan A2 yang isinya para blogger perokok yang […]
tanteangga
November 21, 2008 at 8:37 pm“alam bawah lautnya nggak ada seujung kuku-nya Indonesia”
wewww…setuju mas.
minanube
November 21, 2008 at 9:48 pmmaaf author… saya gak selesai bacanya
mumet aku….
bingung
tapi apaun untuk indonesia tercinta, saya dukung…
salam. peace, love n respect
cc-line
November 21, 2008 at 11:28 pm“itulah Indonesia…” mengutip sepenggal bait lagu nasional.
“bukan lautan, tapi kolam susu… ” mengutip sepenggal bait lagu lama.
Mas Iman, mungkin perlu kita dukung upaya Iwan EsJePe dengan kampanye Dangerous Beautiful-nya di Luar Negeri… hmmmh…. ironis memang!!!
varda
November 22, 2008 at 12:55 amsaya beberapa kali ‘dikomplain’ karena iklan ttg pariwisata indonesia tidak pernah muncul di tv sini. padahal orang-orang banyak yang sudah ke bali dan kemudian lanjut ke bagian indonesia lainnya. rata2 mereka mengetahui indonesia ketika sudah terbang quarterway around the world ke thailand/australia/NZ. karena tertarik, terbanglah mereka ke bali. itu membuktikan betapa hebatnya bali (indonesia?) nggak perlu iklan, tapi orang-orang sudah kenal. ‘ketuk tular’ bukan ya istilahnya? too bad, seandainya bisa dikelola lebih serius.
uum.. tentang terorisme, saya tahu beberapa orang yang hampir membatalkan rencananya ke indonesia gara2 travel warning dari negara tetangga di sebelah selatan. semua akhirnya jadi berangkat karena 2 alasan: 1. godaan indonesia begitu kuat; 2. setelah dikonfirmasi ke embassy-nya sendiri, orang di embassy malah ketawa. ‘ah travel warning itu dari jaman dulu kala, nggak pernah diganti. kalau mau dateng ke indonesia, dateng aja.’ believe it or not, it’s true.
Juliach
November 22, 2008 at 6:42 amKetika aku ke Perancis pertama kali th 1997, promosiku adalah keping uang bergambar komodo, lembar Rp. 500,- bergambar orang utan, koteka dan cerita asal-asalan mengenai harimau.
Ternyata bule-bule itu terjerat oleh rayuan gombalku. Banyak juga loh permintaan mereka, sehingga setiap pulang kampung aku harus membawa bule. Ada yang minta di antar melihat komodo, harimau, orang hutan, sekedar jalan-jalan dari gunung sampai laut, ada juga yang mau mencoba semua transport di Indonesia, bahkan pengen tahu kehidupan orang indonesia sebenarnya.
Begitu mendapat order, langsung aku cari-cari informasi, khususnya transport menuju ke tempat yang mereka tuju. Inilah masalah utama. Tak ada informasi yang jelas.
Mis:
Denpasar-Labuhan Bajo, kita tidak bisa booking tiket dari Perancis. Untung aku banyak kawan di mana-mana, jadi tinggal TT uang dan teman bisa booking tiket.
Jakarta-Way Kanan lewat darat dengan transportasi umum, tidak ada informasi yang bisa aku dapat.
G-land di selatan Banyuwangi
…
Orang Indonesia belum seperti orang asing yang selalu memprogram perjalanannya jauh-jauh hari. Misalanya ke P. Rinca selama 14 hari (sudah termasuk perjalanan pesawat 2hr utk pp) dan budget X XXX€. Jadi bisa dibayangkan betapa mereka sangat kecewa jika ada waktu 3 hari hilang untuk menunggu jadwal pesawat terbang.
Pariwisata-pariwisata yang dipromosikan oleh Kedubes, biasanya yang sudah di kelola oleh travel agent, yang hanya melihat Indonesia yang semu saja. Indah sih, tapi semu. Sedangkan bule yang pakai ransel dibilang bule kere.
Salah seorang temanku (dia pernah datang ke Indonesia th. 88 dgn travel agent) sangat bergembira sekali pergi bersamaku dan aku bawa dia dari Yogya-Bandung dengan kereta api ekonomi. Dia bilang ini benar-benar tour dan dia kembali lagi bersamaku hingga 5X @1 bulan, karena Indonesia sangat luas dan sangat beragam budayanya.
rezco
November 22, 2008 at 9:11 amkalo gitu, perlu ada blogger yg diangkat sebagai duta pariwisata juga.
Gelandangan
November 22, 2008 at 12:34 pmMasa sih mereka mau ngomong yang jelek2 didepan orang indonesia hehehehehe
mitra w
November 22, 2008 at 3:13 pmitulah sebabnya saya ingin sekali ke Bali
Lance
November 23, 2008 at 7:21 amsemangt ini harus dipelihara, salut buat bloggers
Dhani Hargo
December 1, 2008 at 1:09 amAh saya tidak peduli dengan perihal mewartakan Indonesia dimata bangsa kulit babi.
Setiap bangsa itu kesini, selalu saja isinya hanya berusaha memanfaatkan keramahan (baca;konon) yang suka kita gembar gemborkan.
Kenapa kita tidak melihat potensi besar wisatawan lokal saja yang notabene 200 juta.
Melakukan promosi besar besaran antar daerah dan membuat perputaran uang yang lebih mandiri.
Daripada
Berkoar koar
Mengiba bangsa yang susah susah kita usir dengan pengorbana darah untuk kembali dan membuat kotor negeri ini.
Sharon
December 9, 2008 at 10:49 amwah soalnya orang bali dah biasa nerima turis ya, jadi mereka bisa merancangkan acara dan menyambut dengan baik… hehehehehe
bonek kesasar
January 4, 2009 at 4:55 amSebaiknya departemen pariwisata ditiadakan aja, wong nggak ada kerjaannya. Hanya satu dua yang bisa bekerja dengan bagus, sisanya jian njelehi sama sekali. Orang2 Indonesia yang bermukim di luar negeri bisa jadi corong promosi yang potensial. Enak kan bisa ngirit anggaran negara.
dessy pratiwi
October 16, 2009 at 2:01 pmwah senang y bisa berkumpul dan membangun, mengembangkan, melestarikan dan menjaga
Kebudayaan dan Alam Indonesia, semoga semua ini dapat kita lestarikan.
Ryan Green
July 1, 2010 at 12:02 amPublic Relations is all about pleasing the common people.-‘:
Luis Howard
September 14, 2010 at 2:18 pmyou should always maintain good public relations specially if you operate a business’,*
Movers and Packers Kolkata
March 11, 2011 at 7:03 pmThis is a great site, very useful,more informative, just what i was looking for, keep up the good work…
Management colleges in India
April 27, 2011 at 6:59 pmood website
Very g
komunitas bahari
May 7, 2011 at 10:23 ammari bersama-sama membangun citra indonesia