2 February 2014
Nurani NgeBlog
Posted by iman under: BLOGGERS; Iman Brotoseno; KESEHARIAN .
Banyak yang bertanya bagaimana sih caranya menjadi blogger yang baik. Baik disini mungkin diartikan sebagai blog yang rajin dikunjungi orang, atau secara ekspektasi menjadi seorang seleb blog. Ini memang pertanyaan sulit. Kenapa ?
Karena sejak awal saya hanya menebak nebak mengapa sebuah tulisan bisa membuat rasa keterikatan dengan pembacanya. Ada yang bilang tergantung isinya. Ada yang bilang harus memberikan gagasan atau kontribusi. Ada yang bilang ikutan komunitas blogger atau aggregator.
Tapi apakah mesti begitu ? Rasa rasanya tidak juga. Banyak blog blog yang isinya mungkin simple dan sama sekali tidak bicara mengenai sebuah gagasan, ide, ataupun topik topik pencerahan. Isinya hanya kopdar atau curhat tapi setiap kali posting pengunjung setianya bisa puluhan.
Jadi kepada mereka yang bertanya dan meminta diajari bagaimana menulis yang bagus. Maka dengan sejuta permohonan maaf, saya juga tidak bisa menjawabnya seketika. Bagi saya menulis adalah nurani, sebuah talent yang tidak bisa seketika dialihkan kepada orang lain. Ini serba sulit karena saya juga tidak merasakan emosi yang mereka rasakan saat menulis. Saya memang bukan guru yang baik. Namun saya mencoba menshare dengan sebuah pemahaman.
Menulis adalah seni yang dipenuhi dengan rasa, emosi dari penulisnya. Jadi walau hanya beberapa kalimat atau postingan remah remah tapi disana ada tautan emosi, nyawanya. Bisa jadi tulisan itu memberikan nafas bagi siapaun yang membacanya.
Ini juga bukan seperti belajar mengendarai mobil atau berenang misalnya. Dengan tekun berlatih, dijamin kita bisa berenang. Sementara sering menulis namun kita lupa menaruh nyawa itu itu disana. Mungkin tulisan itu hanya berupa coretan gersang. Hambar dan mati.
Seorang yang bercerita tentang pengalaman kopdar – kopi darat – misalnya,
“ Wah udah hujan hujan aku bingung mencari alamat restaurant Rendevouz, akhirnya sampai juga ditempat itu. Ternyata sudah ada Pepeng, Saiful, Anang, Eko dan Sarah. Langsung saja aku bersalaman dan berkenalan dengan mereka. Ternyata asyik asyik juga mereka ini, dan kamipun memesan makanan sambil meneruskan pembicaraan kita. Aduh, lama sekali datangnya. Khan udah laper..mana hujan hujan“
Bandingkan dengan sebuah versi tulisan lain.
“ Sore itu masih basah karena hujan. Sambil menarik rapat kerah jaket karena udara bertambah dingin, saya mencari cari alamat Restaurant Rendevouz yang disebut Pepeng sebagai tempat kopdar kami sore ini. Di sebuah pojokan kota, diantara gedung gedung bertingkat. Berdiri sebuah rumah kecil bertuliskan papan nama sederhana. “ Rendevouz “
Ternyata disana sudah ada Pepeng, Saiful, Anang, Eko dan Sarah. Satu satunya wanita yang mata bulatnya lekat menatap saya.
Ah,sebuah pertemuan yang menyenangkan.
Kami tidak memperdulikan lamanya pesanan makanan yang datang, karena larut dalam euphoria kegembiraan kopdar ini. Terus sampai malam dan hujan masih saja turun “
Apa yang anda lihat dari dua bentuk tulisan ini ? Sebuah kopdar yang biasa biasa saja bisa terlihat menyentuh dan inspiratif dengan penggambaran detail situasi yang terjadi saat itu. Sentuhan itu yang saya sebut sebagai nyawa.
Sekali lagi ini menurut pemahaman saya.
Tentu setiap orang atau penulis bisa memiliki referensi yang berbeda dengan ‘ nyawa ‘ ini. Apapun bentuk dan penggambarannya.
Demikian juga aspirasi pembacanya. Contoh versi kedua diatas mungkin saja lain kalau dilihat kaca mata anak anak ABG. Bahasa kok menye menye. Nggak funke !
Ini juga tidak mudah karena kita mustahil bisa memuaskan aspirasi seluruh pembaca, dengan strata sosial, pendidikan, dan pengalaman hidup yang berbeda beda. Karena blog sebagaimana media tradisional mainstream yang memiliki karakteristik segmentasi pembacanya. Ada majalah remaja, ada majalah buat ibu ibu, ada yang dibaca oleh mereka pengambil keputusan dan lain lain.
Namun yang lebih penting kita menulis dengan nurani. Bagi saya semua aspek kehidupan bisa menjadi oase inspirasi yang tak habis habisnya. Lingkungan bekerja, interest suatu topik, apa yang kita lihat , rasakan sampai harapan dan amarah sekalipun.
Selamat menggali nurani itu.