Kapal “Van Imhoff “ berangkat dari pelabuhan Sibolga pada tanggal 19 Januari 1942, dengan membawa 477 orang Jerman interniran – tahanan yang akan dibawa ke India. Ditengah laut, pesawat Jepang membom kapal ini sehingga tenggelam. Sebagian besar isi tahanan Jeman tewas tenggelam, termasuk diantara Walter Spies, seniman dan pelukis yang hidup di Bali bertahun tahun. Sebagian orang Jerman yang selamat terdampar di Pulau Nias dan ditahan oleh penguasa Belanda di sana. Nias memang sudah menarik orang orang barat untuk datang kesana saat itu.
Rudolf Bonnet, pelukis dan seniman asal Belanda sudah datang tahun 1927 untuk membuat sketsa lukisan penduduk Nias dan patung patung tradisional. Kelak ketika ia pindah ke Bali tahun 1929, ia menjadi sahabat Walter Spies yang asal Jerman itu.
Ketika Belanda menyerah kepada Jepang 9 Maret 1942. Para tahanan Jerman ini mengambil alih kekuasaan Belanda di Nias. Seorang dokter Jerman – bernama Heidts, yang tinggal di Bandung sebelumnya, mengambil alih kekuasaan dan memasang lambang swastika Nazi. Konon perintah memasang lambang swastika datang dari Fischer, seorang Jerman lainnya yang menjadi “ perdana menteri “ lokal atas kekuasaan Jerman di Nias.
Catatan pedagang Arab tahun 851 Masehi, sebagai mana yang kemudian diterjemahkan, menyebut Nias dengan nama Niyan. Pulau Niyan sebagai bagian dari Kekuasaan kerajaan Barus di Sumatera Utara. Disebut pulau itu banyak memiliki emas dan penduduknya gemar menunjukan tengkorak musuh musuhnya.
Nias merupakan salah satu dari misteri besar Indonesia. Tipe khas budaya megalitik yang muncul di Nias tidak dikenal di daerah lain mana pun di Indonesia, arsitektur rumah raja-raja di kampung-kampung Nias Selatan agaknya unik. Kebiasaan dan tradisi masyarakat Nias tidak terkait dengan kebiasaan dan tradisi yang terdapat di pulau-pulau tetangga, yang mengindikasikan bahwa masyarakat Nias mungkin berasal dari tempat yang jauh itu ( Dr. Lea Brown ).
Pertanyaan sekarang adalah: dari mana ? Saat ini, tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban.
Pikiran dari Dr.Lea Brown sebagai peneliti bahasa asli Nias terus menggelitik imajinasi saya saat pesawat Merpati CN 235 mendarat di Bandara Binaka, Gunung Sitoli. Salam ucapan Ya’ahowuu, diteriakan lantang oleh Dale, supir saya yang wajahnya mirip Choky Sihotang. Ia sangat antusias bercerita tentang Nias. Selepas SMA ia sempat merantau ke Padang, namun kembali bekerja menjadi supir milik sebuah travel perjalanan di Gunung Sitoli.
Banua Niha ( Nias ) memang memiliki tradisi panjang berabad abad silam. Batu batu megalitik adalah pintu masuk sekaligus simpul untuk memahami budaya Nias. Orang Nias mengukuhkan eksistensinya melalui batu karena dianggap sebagai simbol kekuatan dan keabadian.
Rumah tradisional Nias juga memiliki konstruksi yang kokoh, terutama penyusunan pondasi kayu bulat yang silang menyilang tanpa menggunakan paku. Konstruksi ini yang membuat tak satupun rumah tradisional Nias rubuh karena gempa dan tsunami tahun 2004.
Bentuk rumah tradisional Nias bagian utara berbeda dengan selatan, terutama bentuk atapnya. Di Nias bagian utara bentuk atapnya mengerucut ke atas menyerupai caping. Sementara di bagian selatan memiliki bubungan yang memanjang. Kedua sub etnik ini juga memiliki berbagai perbedaan dalam hal karakter. Masyarakat Nias bagian utara lebih terdidik dan memiliki kesadaran pariwisata. Mungkin karena akses ke dunia luar, pelabuhan, bandara serta infrastruktur yang lebih baik.
Sedang Nias bagian selatan terutama masyarakat di desa desa tradisionalnya masih tertutup.
Tujuan utama saya memang ke sebuah desa di wilayah Teluk Dalam, Nias Selatan. Desa bernama Bawomataluo dari Gunung Sitoli, ditempuh sekitar 3 jam. Memang ironis, namanya dikenal di manca negara sementara akses jalanan masih compang camping. Rusak dimana mana. Nias dikenal tidak hanya tradisi ( ombo batu ) lompat batunya , tetapi gulungan ombaknya yang panjang di Nias Selatan menjadikan salah satu tempat surfing terbaik di dunia. Taraf kehidupan masyarakat di sana umumnya masih miskin.
Lebih separuh desa / kelurahan di Nias belum terjangkau oleh kendaran roda empat, listrik apalagi jaringan telpon. Baru awal 2006 pusat pusat kecamatan Nias terjangkau sinyal seluler. Keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi tidak hanya antara kabupaten dan tetangga sekitarnya, tetapi juga antar kecamatan dan tetangganya. Jalan yang menghubungkan Teluk Dalam dengan seluruh ibu kota kecamatan sebagian besar rusak parah, bahkan sulit dilalui kendaraan roda dua atau empat.
Bawomataluo terletak di punak bukit setinggi 270 meter dari permukaan laut, sudah menjadi sebuah situs world heritage. Bawamataluo merupakan perkampungan tradisional yang sangat megah. Rumah rumah dengan fondasi kayu berjajar saling berhadapan dan membujur dari selatan ke utara Oma Hada, sebuah rumah paling besar – semacam istana, dianggap kepala adat menjadi titik pusat di tengah tengah, dari pertigaan jalan. Seperti tusuk sate.
Umumnya rumah adat Nias terdiri dari dua lantai. Lantai bawah sebagai gudang sampai tempat hewan, dan lantai atas sebagai ruangan keluarga termasuk tempat tidur.
Halaman yang luas di depan rumah rumah, beralaskan batu batu sebagai tempat untuk atraksi bagi wisatawan. Banyak batu megalitik berserakan yang diletakan berdiri atau tertidur.
Hal yang paling membedakan dengan tempat lain adalah atraksi lompat batu di Bawomataluo, yang sejak jaman dulu dipakai sebagai ritual anak laki laki yang beranjak dewasa.
Hikayat, 50 tahun, menjadi semacam penerjemah bagi kami. Sebagaimana ciri manusia Nias. Ia berkulit putih dan bermata sipit. Entah kenapa, walau rata rata penduduk Bawamataluo bisa berbahasa Indonesia. Mereka enggan bercakap cakap bahasa Indonesia langsung dengan pendatang. Mereka selalu berbahasa daerah dengan sesamanya
Hikayat sekaligus memimpin ritual tarian tarian yang kami minta. Menjelaskan jenis jenis ritual yang akan dilakukan. Sebelumnya ia meminta kami menerima sambutan tuan rumah, yakni upacara makan sirih.
Ritual tariannya memang menggambarkan tradisi perang jaman dulu. Kalung besar dari kayu kelapa yang melingkar di leher, dan ikat pinggang bermata gigi gigi buaya menjadi pelindung alami tubuh mereka dari bacokan pedang lawan. Sekarang karena tak pernah ditemukan buaya, maka diganti dengan kayu kayu yang diukir berbentuk gigi buaya.
Penduduk Nias, terutama bagian selatan memang cenderung masih mempercayai animisme dan kekuatan kekuatan gaib, walau umumnya telah beragama Kristen. Sebelum Agama Kristen dan Katolik masuk, orang orang Nias memang memuja roh roh leluhur yang dianggap menguasai kehidupan seperti laut, sungai, hutan, pohon besar,batu besar, rumah dan sebagainya.
Mereka menjaga hubungan dengan kekuatan roh roh berupa pantangan pantangan dan ritual pemujaan yang bersifat komunal atau dalam lingkup keluarga.
Sampai sekarang kebiasaan itu tak pernah hilang. Orang Nias masih percaya dengan kekuatan yang dimilki benda tertentu seperti batu kecil, potongan kayu , gigi babi, roh, magic dan benda benda bertuah. Dibalik benda itu terdapat spirit yang bisa membuat empunya kebal, sakti dan memiliki keberuntungan.
Dalam atraksi ritual di Bawamataluo, dengan ratusan penari yang bersiap siap, ternyata harus dibayangi ketakuta hujan deras. Awan mulai menggantung dan langit mulai gelap. Ditambah seorang lelaki pemilik sebuah rumah di deretan rumah besar memasang kayu melintang di depan rumahnya.
Ia mengatakan bahwa penari tidak oleh melewati batas kayu yang ditentukan, yang artinya menginjak halaman rumahnya. Setelah mencari tahu, ternyata dia pernah sakit hati dengan kepala desa Bawamataluo.
Saat Kepala Desa menggelar hajatan atraksi tarian untuk kami dari Jakarta, Lelaki itu bertekad menggagalkan acara tersebut, dengan membuatnya hujan deras.
Kami berbicara dengannya dan meminta pengertiannya. Akhirnya dia luluh, lalu tangannya menggeser sebuah batu dari bawah batu megalitikum. Ia hanya menggeser sejengkal lalu melingkari dengan batu kapur. Serta menarik kayu yang diletakan di jalan tadi. Aneh bin ajaib dalam hitungan detik, langit terbuka dan mendadak cerah.
Pemandu saya juga mewanti wanti untuk tidak sembarangan menerima makanan, minuman atau sirih yang disodorkan tuan rumah. Ini karena banyak terjadi perselisihan atau ketidak sukaan antar keluarga di kampung kampung. Sehingga jika ada tamu yang cenderung dekat dengan sebuah keluarga – tentu saja kami adalah tamu Kepala desa – maka keluarga lain yang merasa tidak suka akan melampiaskan dengan memberi racun pada tamunya.
Dalam banyak kasus perselisihan sering terjadi karena pemilihan kepala desa. Sehingga kepala desa terpilih sering menghadapi banyak musuh.
Orang Nias terkenal dengan racun yang bisa membunuh orang lain. Racun terbuat dari bisa binatang atau tumbuhan. Dale bercerita, seorang polisi asal tanah Batak yang baru berdinas beberapa hari di Teluk Dalam, tiba tiba meninggal setelah menerima suguhan di warung. Konon ia diracun karena kehadirannya tidak disukai disana.
Dulu ada peneliti asal UGM, Jajang A Sonjaya, sewaktu tinggal di Nias pernah diminta tidak memberi tahu tanggal kepulangannya ke Jogja kepada siapapun. Ini untuk mencegah ia diracun, dengan memasang di jalan setapak yang biasa ia lewati. Konon racun itu efektif pada korban yang hendak pulang ke pulau seberang.
Nias memang mempesona dengan mitosnya. Mereka percaya bahwa leluhur mereka turun dari langit. Cerita tentang turunnya manusia salah satunya ditemukan dalam sebuah hoho – tradisi lisan – yang ditulis oleh Ama Watilina Hia. Konon di Teteholiana’a, sebuah negeri di atas awan, terjadi pergumulan antara angin Metakheyo Simane Loulou dan angin Hambula. Kedua anging saling berseda gurau, berputar selama Sembilan bulan. Lalu keluarlah tangisan seorang bayi di Teteholiana’a.
Semua orang Nias, percaya bayi itu turun di desa Borunadu, masih di kawasan Nias Selatan.
Sayangnya Nias memang terabaikan oleh Pemerintah Pusat. Rakyatnya masih berkutat dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Entah kenapa potensi wisata yang besar ini tidak menjadi jaminan. Ini mungkin motto saya, jika berpetualang di tempat baru, kenapa tidak mencoba sesuatu yang baru ? Jadilah saya belajar surfing. Agak pontang panting keseret ombak. Namun not bad buat pemula. Untuk bilas, saya hanya bisa bilas disebuah sumur dalam sebuah bilik berpintu seng. Tak jauh dari pantai tempat saya belajar surfing, juga ada pantai Sorake yang pernah digelar kejuaraaan surfing kelas dunia. Deretan hotel hotel murah bercampur rumah penduduk terlihat berantakan. Padahal itu pantai pantai yang terkenal. Namun jika melihat infratrukturnya memang menyedihkan.
Dale , supir saya pesimis dengan Nias. Berbeda dengan penduduk pulau pulau lain yang percaya bisa hidup dengan menjual potensi wisata seperti Bali. Dale sendiri tak percaya Nias akan memberikan jaminan hidup layak.
Ia masih mengimpikan merantau ke Jakarta, karena melihat jalan masa depannya di tanah kelahirannya sangat jauh. Barangkali seperti petikan Hoho yang ditulis, ketika anak pertama sangat sulit menemukan jalan ke bumi.
….Lahirlah anak bernama Daulu yang seperti api.
Dialah disebut langit yang banyak.
Ia melihat ke atas, tak ada jalan lain melihat dunia.
Hampir tak tampak karena jauh sekali .
31 Comments
ajengkol
July 23, 2010 at 1:10 amPesona Nias memang sudah jadi sejerah Alhahamdulillah bisa kesana 🙂
lance
July 23, 2010 at 7:55 amNias memang mempesona, sisi Indonesia yang berbeda sama sekali..sayang jika tak diurus potensinya
edratna
July 23, 2010 at 9:04 amSenang membaca ceritamu mas….saya belum pernah ke pulau ini, cerita tentang pulau ini dan penduduknya hanya dari dari bacaan.
Cerita mas Iman menambah pengetahuan tentang pulau ini…..padahal pulau ini bisa menjadi daya tarik pariwisata ya?
mawi wijna
July 23, 2010 at 10:49 amsaya kepingin saya, tapi kok setelah mbaca kalau disana kental dengan klenik kok saya malah jadi takut yah?
plenki
July 23, 2010 at 11:31 ammantabs ceritanya…cuma masih kurang…cerita ttg gadis2 disana ..gimana? mulus2kah???
hedi
July 23, 2010 at 11:33 ammenteri pariwisata era kapan itu pernah giat memajukan pariwisata Nias, tapi seperti biasa, dana miliaran cuma menguap ke kantong pribadi 😐
meong
July 23, 2010 at 1:57 pmeh itu, plenki, komentarnya kok sengak gitu sih.
walopun saya bukan orang nias, tp merasa komentar itu sgt tidak simpatik.
sarah
July 24, 2010 at 10:37 amSetuju mbak meth..gag gitu gitu amat deh
ika
July 25, 2010 at 12:37 pmih, jadi takud mau pergi kesana. gmana dg pendidikan disana, pak iman?. apa disana tidak ada skolah pariwisata ato semacamnya?
idham biro jasa SIM-STNK-PASPOR
July 26, 2010 at 7:08 amselalu menarik membaca blog mas iman..penguasaan sejarah yang kuat semakin enak di baca..
dewa
July 26, 2010 at 2:35 pmtulisan yang bagus,mas. Semoga saja ada kesempatan buat ke Nias 😀
adihade
July 27, 2010 at 8:30 aminspiring. jadi pengen ke Nias. Bagian serem2nya bikin geleng2 kepala. Makasih mas iman, ceritanya menggugah. Semoga bisa menggugah yang bisa bikin perubahan positip disana <— siapa?
Iman
July 27, 2010 at 4:23 pmIka,
Nggak perlu takut, sepanjang memang hanya buat jalan jalan biasa dan tidur di hotel/ penginapan biasa sih , aman sentausa saja he he..keculai jika ingin tinggal di pedalaman. Mengenai sekolah pariwisata tidak ada..
yonar
July 28, 2010 at 2:44 pmTulisannya menarik. Kebetulan aku pernah tinggal beberapa waktu di Nias, dan syukurlah bisa mengunjungi daerah2 kecamatan disana. Mulai dari Selatan (Sorake,Amanraya dan Bawomataluo) hingga daerah Barat (sirombu), Gunung Sitoli, dan Lahewa (utara). Aku hanaya ingin menambah sedikit. Dalam ulasan ini ditulis: Masyarakat Nias bagian utara lebih terdidik dan memiliki kesadaran pariwisata. Mungkin karena akses ke dunia luar, pelabuhan, bandara serta infrastruktur yang lebih baik.
Sedang Nias bagian selatan terutama masyarakat di desa desa tradisionalnya masih tertutup (pr.7-8) Namun menurut pengamatanku, daerah selatan jg tidak kalah maju dalam bidang pariwisata. Di sorake dulu pernah menjadi tempat untuk kontes surfing internasional, makanya tidak heran kalau disitu ada resort yg lumayan besar walaupun keadaannya sekarang jg cukup memprihatinkan. Kurang meratanya pembangunan erat sekali dengan kebijakan pemerintah lokal Nias dalam mengelolanya, apalagi banyak sekali kepentingan disana.
Banyak sekali yang bisa digali di Pulau ini. Budaya yg unik, dan peninggalan2 megalitiknya jg menarik untuk dipelajari. Untung masih ada Museum Pusaka disana yang menyimpan berbagai artefak maupun peninggalan2 kuno, yang ironisnya pembangunan museum ini justru diprakarsai oleh misionaris dr jerman.
neng rara
July 28, 2010 at 7:28 pmassalamualaikum..
hampir 3 tahunan ga berkunjung kesini mas,
membaca tulisan ttg nias ini, semakin mempertebal keyakinan bahwa pesona nias sungguh asyik dan memukau, mudah-mudahan suatu saat saya bisa berkunjung ke sana..hiks
salam
dilla
July 29, 2010 at 3:05 pmwahh menarik bgt mas..
tapi tentang kebiasaan ‘meracuni’ kok agak serem ya… 0_o
hanny
August 5, 2010 at 5:16 pmmas iman, buku-buku sejarahmu itu dapetnya di mana sihhh *ngiler*
Mossack Anme
August 10, 2010 at 2:29 pmWaw! Akhirnya sedikit-demi-sedikit Visit Nias sudah mulai nampak di permukaan. ^^
Saya kemarin tinggal disana selama 8 minggu.
Kunci dari rating wisata yang tinggi adalah informasi, kemasan, dan infrastruktur.
Khusus mengenai informasi, posisi Nias yang “terhalang” oleh daratan Sumatera sedikit banyak membuat informasi mengenai turis lebih banyak berbelok ke obyek wisata di Sumatera daratan, contohnya Danau Toba. Lihat saja iklan wisata propinsi Sumatera Utara, porsi Nias hanya 1 gambar saja (biasa, selalu lompat batu), padahal sangat banyak obyek lain di Tanah Manusia itu. (-.-‘)
Mengenai kemasan, sebenarnya banyak contoh yang bagus seperti Miga Beach Resort milik Pak Agus, namun terlalu banyak kawasan lain yang tidak terkemas dengan baik, bisa dibilang sangat buruk malah. (*.*)
Infrastruktur juga sangat parah, samapai sekelas BPN Nias saja malah bingung ketika ditanya mengenai pemetaan daerah dan penyebaran potensi Nias. (-..-‘)
Yang akhirnya saya yakini, Nias sebenarnya punya potensi yang setara dengan Bali…!! Dan sudah seharusnya menjadi penyeimbang arus wisata yang sudah membuat Bali menjadi sangat crowded.
Kita akan membangun Nias bersama-sama walau kita belum pernah bertemu. \(^.^)/
Salam hangat dari Bandung.
Nias, the lost Bali.
Jajang A Sonjaya
August 13, 2010 at 1:16 amCara bertutur yang sungguh menarik untuk mengungkap Nias yang memang unik. Sauhagolo talifuso. Moga kita bisa ketemu dalam perjalanan di Nias.
Salam
Jajang A. Sonjaya (Ama Robi Hia)
Iman Brotoseno
August 13, 2010 at 4:55 amJajang A Sonjaya,
Kehormatan dikunjungi mengingat saya banyak membaca buku buku karya Jajang sebagai referensi Nias..
Ya’ahowuu
Doni Kristian Dachi
November 2, 2010 at 5:09 amNias sebagai bagian dari kesultanan barus sepertinya masih bisa di perdebatkan.
Karena bahkan sampai tahun 1600-an Nias masih sangat terisolir. Masyarakat nias saat itu baru memulai kebudayaan batu, dan bahkan belum mengenal agama.
Sekitar tahun 1800 Raffless pernah mengunjungi nias, dan menyebutkan bahwa tidak ada satu pun bukti atau petunjuk bahwa pulau ini dikuasai oleh kerajaan tertentu.
Sayang sekali saya belum pernah membaca buku asli “relation de la chines et de inde” dimana info tentang nias sebagai bagian dari barus disebutkan.
referensi buku kuliah
September 16, 2011 at 10:13 pmbelanja buku, belanja ilmu pengetahuan,betul kan ??
hari saktiawan
March 5, 2013 at 1:34 amAda kesamaan, kalo tak bisa dikatakan banyak, antara budaya dan kebiasaan orang nias dengan masyarakat di kampung saya, Pulau Simeulue, khususnya di Simeulue barat. Bahkan bahasanya mirip. Karakter orangnya juga sama, putih dan bermata sipit. Kebiasaan meracuni orang juga sama, bahkan terhadap saudara sendiri jika sudah sakit hati, atau hanya utk show off ilmu yg dimiliki. Itu sebagian kecil yg saya ingat ttg kesamaan antara org nias dan org simeulue barat. Ohya, ada mitos di kampung saya yg mengatakan bahwa zaman dahulu kala pulau nias dan simeulue itu bersatu, ketika ada bencana, bisa jadi gempa, nias dan simeulue akhirnya terpisah. Makanya banyak kesamaan antara keduanya. Masih tersisa ingatan saya ketika dulu ada seorang anak/pemuda nias yg dikejar2 warga di pulau saya. Pantang bagi orang simeulue, terutama dulu, jika ada org nias didaerah mereka. Konon kabarnya, org nias itu kemana2 minimal membawa sembilu (buluh/bambu yg dijadikan pisau) yang telah dibubuhi racun. Wassalam 🙂
marniwulan laia
August 7, 2014 at 1:27 pmbagi yang masih penasaran mau berkunjung ke pulau Nias …
silah kan tidak tertutup kemungkinan, pulau nias indah banyak kesan yang kita alami, pariwisatanya banyak dan indah di pandang, nikmat rasa nya ,air laut nya indah bukan seperti pantai cermin dimedan berkeruh…
silvester buulolo
August 14, 2014 at 11:00 amYa’ahowu
Nias bukan seperti dulu, Nias sudah bisa membedakan yang baik dan yang buruk, so jangan takut untuk datang ke Nias. Kami orang Nias sangat mengharapkan kedatangan kalian ke pulau Nias, karena pulau kami memiliki keindahan yang begitu bagus yang tidak dimiliki oleh daerah lain.
Terima kasih telah mengenal budaya kami.
Marselino Fau
April 7, 2015 at 5:41 pmYa’ahowu Talifusõ
Terlepas dari kesan positif dan negatif dari tulisan ini saya sangat berterima kasih kepada penulis sudah mengisahkan pengalamannya disini sehingga orang yang membacanya bisa mengenal NIAS sekalipun informasi yang didapat masih sedikit.
Kepada para pembaca yang tertarik berwisata ke pulau nias silahkan berkunjung di sana.
Prinsipnya sama dimanapun daerah kita kunjungi saling menghormati dan menghargai itu nomor satu. Semua tergantung dari kita.
Saohagõlõ
Zebua
November 6, 2015 at 10:46 amnias semua tidak sana tata cara masyarakatnya untuk kedatangan tamu tp yg pastinya qta sbg tamu tentu menghormati org yg qta kunjungin… serta memberikan salam tiap2 yg qta jumpai.. sifat utama org nias adl menjunjungtinggi nilai2 harga diri….. mrk rela mati ketimbang harga dirinya dijatuhkan, jdi jika qta yg berkunjung datang kenias saya sarankan spy anda harus ramah,sopan, dan saling menghargai… jdi masalh racun…. q rasa ini sdh jaman modern. bahkan 75% org nias sudah banyak meninggkan sisi negatif yg. dlu ada di tengah2 para leluhur. dn satu lgi pantangan yg bla berkunjung ke nias adl anda jgn sesekali memaki atau bermain mata dgn cwek2 dsana….
Riny Zend
February 17, 2016 at 3:34 pmSaohagolo buat cerita-cerita tentang Niasnya..
Nias memang kaya akan budaya. Tapi,
Kalau berbicara tentang hal-hal mistik seperti meracuni orang lain seperti para wisatawan, saya pikir itu sudah tidak ada lagi….
Memang saat ini kondisi pariwisata di Nias masih kurang dibandingkan daerah wisata lain…tapi semoga di waktu mendatang , kami generasi Nias dapat membenahi dan memajukannya…
kalau masalah pendidikan, saya pikir Nias juga tidak kalah dengan teman-teman dari daerah lain..barangkali karena kurangnya fasilitas lah potensi anak-anak Nias kelihatan kurang dari yg lainnya
Oiya, meskipun masih ada daerah yg belum terjangkau transportasi, namun akses jalan ke Bawomataluo sudah bagus kok dengan adanya pembangunan jalan..
Semoga Bpk/Ibu/Sdr/i berkesempatan mengunjungi Pulau kami…
Welcome to Our Kingdom, Nias Island….
Suku
March 7, 2016 at 12:07 amHakhak..,, yg ingin.. dan yg saya penasaran.. dan yg ingin saya di expos, ditelusuri, di ungkap, misteri gua laowomaru,, itu sangat misterius sampai sekarang. Dulu katanya, itu gua adalah tempat tinggal orng yg sangat kuat di nias, disama kekuatan spt samson, dia memiliki rambut kawat. Dan dngr cerita jga di dalam guanya terdapat harta karun. Smoga ada yg bisa memecahkan misteri gua laowomaru, dgn menelusuri guanya. Thank you. Saya mohon kepada pembaca, atau yg punya blog di rekomendasi entah kemana untuk menguak misteri gua ini. Letaknya di desa Fodo, Gunung Sitoli.
Luwan Lase
March 17, 2017 at 9:35 amSaya senang daerah kelahiran saya di angkat jadi topik perbincangan. bagi yg mau ke nias secepatnya gih. mumpung saya lg pulang kampung. hehehe. bisalah ngajak kamu semua jalan ke pariwisatanya. Ya’ahowu fefu !!! (salam kenal semua !!!)
hendi novarlin hia
July 15, 2017 at 4:34 pmNias memang pulau yg unik..
indah asri dn penuh mistery..
bahkan di Nias utara ada LAUT MATI….
DATNGLAH KE NIAS.
NIAS PULAU PARIWISATA