Mengenal Kuba

Terik matahari menyengat begitu menjejakkan kaki di terminal kedatangan Bandara Jose Marti, Havana yang sepintas seperti bangunan tua Halim Perdana Kusumah. Udara panas yang menyentuh 38 derajat Celcius tak menghalangi antusias yang meluap luap karena akhirnya bisa mengunjungi negara Kuba.

Negara yang terletak di kawasan Karibia ini terasa akrab bagi karena hubungan sejarah kedua negara, terutama periode perang dingin. Gambar gambar keakraban Bung Karno dan Fidel Castro banyak memenuhi literatur sejarah. Bahkan Bung Karno adalah kepala negara pertama yang mengunjungi Kuba pada tahun 1960 sejak Fidel Castro menggulingkan Rezim Batista yang tiran dan didukung Amerika.

Perjalanan memasuki Ibu kota Havana, kita melihat dominasi bangunan dan rumah tua yang mengesankan negeri yang terbelakang. Jalanan sepi dengan mobil yang tak terlalu banyak, sehingga hampir tak pernah ada kemacetan. Beberapa warga tampak antri di pinggir jalan menunggu kendaraan umum. Perjalanan tak sampai 45 menit sudah memasuki pusat kota yang terbagi dua antara Old Havana dan New Havana.

Khususnya bagian Old Havana memang tidak banyak mengalami perubahan sejak dulu hingga saat ini. Sementara bagian New Havana mulai tumbuh dengan munculnya beberapa gedung baru seperti perkantoran atau Hotel. Namun menurut penuturan warga, secara umum tidak banyak yang berubah sejak era Batista.

Old Havana merupakan bagian dari sejarah panjang sejak era Spanyol di Kuba. Bangunan bangunan tua eksotis masih berdiri tegak dan menjadi denyut nadi kehidupan warga Havana. Fidel Castro tidak membangun atau mengubah struktur lingkungan dan arsitek di kawasan kota. Walau beberapa tempat terkesan kumuh, karena penduduk Kuba umumnya berada dalam garis kemiskinan, namun kawasan ini menjadi obyek wisata yang paling sering dikunjungi turis mancanegara.

Para penduduk menyewakan rumahnya untuk wisatawan yang ingin bermalam. Turis turis berjalan dengan nyaman dan aman, karena angka kriminal sangat rendah disini. Ada pameo di Kuba bahwa orang lebih takut dengan penjara daripada neraka. Beberapa polisi terlihat berjaga jaga di pojokan. Memang turisme menjadi sumber pendapatan utama setelah ambruknya Uni Sovyet yang menjadi penyokong utama perekonomian Kuba. Dengan embargo ekonomi dari Amerika saja, jumlah turis yang datang bisa mencapai 4 juta orang pertahun.

Old Havana berdekatan dengan pelabuhan dan laut dimana toko toko, bar, café jalanan, restoran, gallery, hotel bercampur dengan rumah rumah penduduk. Salah satu bar dan restoran yang terkenal adalah “ Floridita “. yang menjadi tempat kesukaan sastrawan Ernest Hemingway. Di sebuah pojokan lain, kira kira 2 blok jauhnya ada “ La Bodegita Del Medio “.

Gus Dur semasa jadi Presiden pernah berkunjung ke sini. Beliau hanya minum juice dan fotonya sempat dipasang didinding restorant. Fidel Castro memang sangat pemilih dalam menemui pemimpin negara yang berkunjung ke Kuba. Gus Dur satu satunya Presiden Indonesia yang ditemui Fidel Castro selain Bung Karno. Bahkan dalam kunjungan Presiden SBY saat itu hanya ditemui oleh Raul Castro. Kepala protokoler Istana Wahyu Muryadi pernah mengisahkan kunjungan Fidel ke hotel tanpa pemberitahuan. Sang El Comandante tiba tiba muncul di hotel dan memaksa masuk ke kamar suite Presiden Gus Dur.
“ Its Okay Mr President, Don’t be in a hurry “ demikian Fidel Castro tiba tiba hadir di kamar Gus Dur yang masih memakai sandal jepit.

Adam Malik, ketika menjadi Wapres dan memimpin delegasi Indonesia dalam KTT Non Blok tahun 1979 di Havana, juga sempat dikunjungi oleh Fidel Castro di hotel. Mungkin Fidel mengetahui latar belakang Adam Malik sebagai Trostsky dan mantan Duta besar Indonesia di Moscow. Harian Kompas sempat menulis berita ini dimana secara mendadak pada malam hari, tiba tiba Fidel datang ke hotel dimana delegasi Indonesia menginap. Begitu mendadaknya tanpa pemberitahuan sebelumnya, sehingga Adam Malik hanya bisa menjamu Fidel dengan rempeyek yang dibawa dari Jakarta.

Negara memang memonopoli perekonomian. Hampir semua unit usaha dimiliki negara melalui BUMN setempat seperti pabrik, perusahaan taxi, hotel, restaurant, toko sembako, supermarket sampai barber shop dengan pengecualian lapak atau toko kecil yang boleh dimiliki warga. Dalam sistem komunis, maka negara melarang warga jadi kaya sehingga warga tidak boleh melakukan diversifikasi bisnis. Mereka hanya boleh berdagang di satu lapak, tidak boleh memiliki lapak yang berbeda. Tak ada PKL memenuhi trotoar atau jalan. Kalaupun ada, mereka sangat tertib dan tidak mengganggu kenyamanan. Para pedagang eceran yang berjualan juga harus mendapat ijin dari negara dan membayar retribusi yang sangat murah.

Karena berdekatan dengan laut, maka sepanjang Old Havana menuju New Havana terbentang kawasan bernama “ Malecon “. Sebuah kawasan troatar luas dengan konsep water front city sepanjang 15 kilometer. Setiap sore banyak warga yang jalan jalan disini sambil menikmati suasana. Ada juga sebagian yang memancing. Banyak aktivasi dilakukan di kawasan Malecon, seperti saat ini ada bazaar dan pertunjukan musik dalam memperingati saat Fidel Castro menjejaki kakinya di Kuba dengan kapal boat dari Mexico. Seorang diplomat asing mengatakan, Kuba bukan komunis sebenarnya. Mana ada komunis dimana ada bar bar dengan music hidup, festival, pesta dan perempuan perempuan berpakaian minim.

Memang kota tua Havana ini merupakan kawasan hunian miskin, maka sangat lazim kita melihat penduduk duduk didepan rumah atau di depan gang sambil berkecengkerama dengan tetangga. Ketika revolusi Kuba terjadi, banyak pemilik bangunan yang pergi keluar dari Kuba, sehingga Fidel Castro memberikan kepada orang orang miskin untuk ditinggali. Umumnya mereka tinggal di lantai atas, dan lantai bawah jadi toko milik negara. Warisan sistem komunal masih kental, sehingga kadang mereka biasa meminta bumbu dapur atau makanan kepada tetangga.

Jangan coba coba mengajak bicara soal politik pada rakyat Kuba. Karena mereka yang tadinya ramah, sertamerta menarik diri dan mengangkat bahu. Kehebatan Fidel Castro adalah bisa membuat rakyat Kuba pecaya diri dengan nasionalismenya. Fidel bisa meyakinkan jalan ‘ susah ‘ ini sebagai bagian dari keadilan sosial seluruh negeri. Walau ada 5 juta warga Kuba di perantauan seperti Miami, tapi mereka tak memutuskan tali hubungan dengan tanah airnya. Saat ini mereka bisa bolak balik dari Miami ke Havana untuk menengok kerabatnya dan membawa dollar dollar yang dibutuhkan untuk devisa Kuba.

Salah satu bentuk propaganda Pemerintah ini bisa dilihat dengan beberapa toko buku yang khusus menjual buku, novel sampai komik tentang sosialisme serta perjuangan Fidel Castro mensejahterakan rakyat. Sayang buku buku itu dijual dalam Bahasa Spanyol
Banyak pedagang PKL yang berjualan di tangga tangga rumah. Gloria yang sepintas mirip artis sinetron Indonesia harus membantu ibunya berjualan dan menjaga lapaknya siang hari. Jika malam ibunya akan bergantian berjualan. Gloria tampak senang ketika tamu Indonesianya memborong tas tas kain bergambar Che Guevara.

Wajah wajah cantik perempuan latin seperti Gloria memang pemandangan biasa di Havana. Sebagaimana pria pria latin, mereka tetap terlihat festive dan charming walau sebenarnya hidup miskin. Seorang diplomat Indonesia di Havana mengatakan, banyak warga Indonesia yang masih bujangan dan bekerja – sektor perhotelan, keuangan – di sekitar Karibia seperti Cayman Islands, Bahamas umumnya memilki kekasih perempuan Kuba yang dikunjungi setiap akhir pekan. Bagi perempuan Kuba, berhubungan dengan pria asing yang berpenghasilan dollar, juga merupakan jalan keluar dari susahnya hidup.

Internet menjadi barang langka. Mereka yang berlangganan telepon seluler paska bayar memiliki kuota data yang sangat sedikit dan harga yang sangat mahal. Jika kuota habis maka ia harus menunggu tanggal 1 awal bulan berikutnya. Opsi lain adalah membeli voucher wifi, dimana di beberapa tempat seperti taman, restaurant, kita bisa mengakses internet berbekal dengan voucher. Seorang teman mengatakan, di Kuba kita bisa terbebas dari godaan social media. Betapa tidak, bagi turis satu satunya cara bisa berselancar hanya di hotel hotel tertentu yang kadang hanya bisa mengakses internet di lobby saja.

Warga negara Kuba mendapat subsidi dari negara untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan lainnya. Seorang insinyur atau dokter berpenghasilan 50 dollar sebulan dan mereka masih bisa hidup. Tentu dengan keterbatasan barang barang yang harus dibeli dengan atrian. Belum lagi air bersih kadang bisa berhari hari tidak keluar dari kran.
Warga tidak bisa bebas membeli barang barang yang diinginkan di toko. Mereka hanya bisa membeli barang barang yang saat itu ada di toko, karena bisa jadi esok harinya barang itu sudah tidak ada lagi. Itupun barang yang boleh dibeli dijatah, misalnya tiap orang hanya boleh membeli 2 paket berisi ayam potong.

Istri Duta besar Republik Indonesia di Havana menceritakan bagaimana staff dapurnya harus membeli ikan laut secara gelap, karena secara resmi nelayan harus menjual hasil tangkapannya kepada negara. Kelak negara yang akan menyalurkan ke warga melalui toko toko milik negara juga. Semua kelangkaan bahan makanan hanya terjadi di masyarakat, sementara hotel hotel dan restaurant – karena dimiliki negara – tetap melayani tamu tamu dengan standar kelasnya. Turispun seolah tidak merasakan kesusahan warga Kuba.

Satu hal, warga mendapat pendidikan dan kesehatan gratis. Banyak klinik klinik kesehatan di penjuru kota untuk melayani warga. Mereka juga bisa memperoleh obat obatan secara gratis, walau tetap harus antri juga. Salah satu kelebihan Kuba. Walau mereka miskin, namun angka literasi dan kesehatan warga adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Anggaran belanja negaranya mengalokasikan 35 % untuk sektor kesehatan. Riset dan penelitian medis mendapat perhatian besar dari negara, sehingga Kuba bisa menghasilkan obat obatan yang ironisnya hak patennya dibeli oleh perusahaan perusahaan Amerika atau Eropa. Mereka juga mencetak dokter dokter yang diekspor ke negara negara lain. Kuba juga mengirimkan dokter dokter ke Venezuela yang dibarter dengan minyak.

Fidel bagaimanapun memprioritaskan kesejahteraan bagi warganya dengan prinsip prinsip sosialisme. Sebelum revolusi Kuba, dari 6 juta rakyat sebagian besar rakyat hidup dalam kemiskinan, kelaparan, tanpa sanitasi, air bersih dan listrik. Hampir 90 % anak anak saat itu terkena infeksi parasit karena orang tua mereka tidak mampu membelikan baju dan alas kaki. Sebagian rakyat Kuba saat itu menjadi buruh petani perkebunan – yang dikuasai tuan tanah dan korporasi asing – hanya bisa bekerja 4 bulan dalam setahun, terutama dalam masa panen.

Sementara di Havana, ibu kota dimana masyarakat kelas bergelimang kehidupan hedon. Sangat kontras dengan ribuan anak anak yang tidur di jalanan tanpa ada kesempatan mengenyam pendidikan. Dalam buku ‘ Fidel Castro – What did he find at the victory of the revolution ‘, disebutkan saat itu di Havana ada 26.710 orang hidup dalam judi. 11.500 hidup dari prostitusi dan 15.064 hidup di jalanan.

Pendidikan dan kesehatan merupakan program utama Fidel untuk mensejahterakan rakyatnya. Dari 1,6 juta anak anak saat itu, separuhnya tidak bisa bersekolah, sehingga dalam tahun awal kekuasaanya ada 69 barak militer yang diubah jadi sekolah untuk 40 ribu anak. Total ada 11,000 sekolah di daerah pedesaan yang telah dibangun. Ini di luar membangun 100 rumah sakit dan klinik di pedalaman Kuba. Fidel juga membagikan tanah tanah kepada rakyat melalui program landreform agraria. Ketika banyak warga asing dan kelas atas kabur keluar negeri, Fidel mempersilahkan warga menempati rumah rumah dan flat yang ditinggalkan pemiliknya.

Banyak gedung gedung dan rumah peninggalan era Batista yang beralih fungsi sosialnya saat Fidel Castro berkuasa. Sebuah gedung tinggi bekas bank dan korporasi besar diubah jadi sebuah rumah sakit terbesar – sejenis RSCM – di Havana. Kawasan elite seperti Menteng di Jakarta bekas rumah rumah orang kaya dijadikan kawasan kedutaan besar di Havana.

Kuba sangat identik dengan mobil mobil antiknya. Kendaraan ini umumnya diimpor dari Amerika masa rezim Batista sebelum Castro menggulingkannya, masih digunakan jadi transportasi bagi warga. Perusahaan negara memoles mobil mobil tua ini dengan cantik dan dijadikan bagian atraksi turis untuk keliling kota. Ramon, seorang supir yang bekerja pada perusahan taxi milik negara menjelaskan karena kekehabisan onderdil asli, maka mobil mobil ini harus dikanibalisasi atau menggunakan onderdil mobil mobil Korea Selatan. Ramon juga menjadi guide untuk berkeliling kota. Ketika kami melewati kawasan kedutaan ia menunjuk kedutaan Korea Utara dan mengatakan. Their leader is crazy. Sambil menunjuk kepalanya. Saya mengatakan, bahwa Korea Utara itu komunis. Begitu juga Kuba. Sambil tersenyum Ramon berkata “ Ya. Kuba juga komunis “.

Dalam setiap perjalanan ke negara lain, saya selalu meluangkan waktu mengunjungi Museum museumnya. Mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin pernah mengatakan suatu kota dikatakan berbudaya atau tidak, dilihat dari jumlah museum yang dimiliki. Jadilah Ramon membawa saya ke museum revolusi Kuba. Museum ini bekas istana kepresidenan Batista. Kalau kita melihat film “ The Godfather II “ , ada suatu adegan fiksi dimana Presiden Batista bersama tamu tamunya termasuk Michael Corleone mengadakan pesta tahun baru di istana ini. Tak berapa lama, datang beberapa pemimpin militernya yang mengatakan Havana tak bisa dipertahankan lagi, sehingga Batista mengucapkan pidato perpisahan dan melarikan diri ke luar negeri.

Ketika prajurit prajurit Fidel memasuki Istana, mereka menembaki dan lubang lubang peluru masih dibiarkan membekas di tembok tembok sebagai ingatan peristiwa ini. Dari diorama yang ada tampak foto Bung Karno bersama Fidel Castro. Memang Fidel mengganggap Presiden Indonesia saat itu sebagai sosok yang dikagumi. Bahkan Fidel mengutus Che Guevara ke Indonesia untuk mengadopsi pemikiran pemikiran Bung Karno dalam melawan kolonialisme dan imperialisme. Konon dalam kunjungannya ke Kuba, Bung Karno mengajarkan kepada Fidel soal kemandirian dan bagaimana negara mensejahterakan rakyat. Hasil diskusi mereka diwujudkan Fidel dengan serangkaian kebijakan seperti program landreform agraria, pendidikan dan kesehatan bagi rakyatnya.

Dipenghujung kekuasaannya, Bung Karno sempat menulis surat khusus kepada Fidel Castro. Surat itu dititipkan pada Duta Besar Indonesia, AM Hanafi yang memang seorang Soekarnois. Tak ada yang tahu apa isi surat itu. Yang jelas awal orde baru, hubungan Kuba dan Indonesia memburuk, bahkan sampai 1972 Indonesia tidak membuka kedutaannya disana. Duta besar AM Hanafi menjadi eksil dan pelarian politik di Eropa sejak saat itu.

Setelah Fidel Castro meninggal dunia, Kuba mereformasi perekonomiannya. Mereka ingin mencontoh Vietnam dan Cina, bagaimana tetap mempertahankan symbol komunisme tetapi menjalankan perekonomian secara bebas seperti prinsip prinsip kapitalisme. Duta besar Indonesia di Havana menjelaskan bagaimana akhir akhir ini para perancang ekonomi Kuba secara intens melakukan studi banding ke Cina dan Vietnam.Mungkin Fidel Castro tak bisa membayangkan dari alam kubur bahwa akhirnya Kuba harus menyerah dari mimpi kemandirian yang dicanangkan sejak dulu.

Musim panas saat ini di Kuba membuat malam semakin lambat. Matahari masih bersinar terang sampai jam 8 malam, dan setelah senja membuat pendar langit menuju gelap terasa melankolis. Havana terus menggeliat dimana bar bar dan resto semakin ramai. Ramon yang menyudahi tour keliling kota bertanya sambil matanya berbicara penuh arti, “ Where are you gonna do tonight ? “. Jalanan semakin ramai ketika beberapa warga menari salsa di trotoar dengan iringan musik jalanan. Tawa tawa perempuan perempuan Kuba yang menggelitik.. Malam ini masih panjang. Cuba ? Si !

You Might Also Like

1 Comment

Leave a Reply

*