MANUSIA MANUSIA DI SEKELILING KITA

Bulan ramadhan sudah dekat, dan seperti biasa Jakarta kembali mematut dirinya, mencuci fitrahnya agar menjadi suci dan bersih. Jumat dan Sabtu ini adalah weekend terakhir sebelum memasuki bulan puasa, juga seperti ritual tahun tahun sebelumnya, club malam, diskotik, berlomba lomba menyelenggarakan ‘ the ultimate party prior to holly ramadhan ‘. Seolah ini adalah hari terakhir sebelum kiamat, ketika Tuhan akan memilah milah siapa yang layak masuk surga dan siapa yang terbakar di api neraka. Semua orang tahu bahwa pada bulan puasa dugem akan dibatasi, razia FPI dimana mana, club malam tutup sampai jam 12 dan mendadak sontak orang akan ramai ramai sholat, serta memuji nama Allah setinggi langit. Ini memang gejala alam biasa setiap tahun menjelang Ramadhan bagi manusia manusia metropolitan. Sehingga seorang sahabat selebritis saya juga harus sibuk membongkar kerudung di sisi paling bawah lemarinya, karena baru saja menandatangani kontrak acara harian Ramadhan di sebuah stasiun TV.

Mochtar Lubis pernah menulis buku berjudul “ MANUSIA INDONESIA “ dengan ilustrasi gambar oleh GM Sudharta yang memakai ikon Om Pasikom . Saat itu cukup popular karena menyengat dan membongkar issue issue manusia Indonesia. Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol adalah Hipokrit atau Munafik. Berpura pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sejak lama. Sejak mereka dipaksa oleh kekuatan kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya di rasakan, dipikirkannya ataupun sebenarnya dikehendakinya. Lebih lanjut ia menulis, “ ..Hal ini dapat kita lihat umpamanya kini dalam hipokrisi kita mengenai seks. Didepan umum kita sangat mengecam penghidupan seks yang terbuka. Namun kita juga membuka mandi uap, tempat pijit,prostitusi, serta menjamin keamanan sang prostitut maupun pelanggannya dengan cara resmi atau setengah resmi..” Bagaimanapun juga malam itu saya harus menjadi sebuah obyek percontohan apa yang ditulis olehnya


Ketika hari semakin larut, dan jalanan semakin macet dengan antrian mobil di depan pusat pusat hiburan malam dimana mana. Malam itu juga saya harus menemui seorang investor film yang juga juga pemilik sebuah tempat hiburan malam di bilangan Permata Hijau. Sebuah private club yang hanya bisa dimasuki oleh tamu yang memiliki membership keanggotaan. Walau sempat tersasar kemana mana, akhirnya saya bisa menemukan tempat itu dan setelah menyebutkan nama orang yang mengundang saya, mereka mempersilahkan masuk dengan terlebih dulu meminjami sebuah jas, karena saya hanya memakai kaos tanpa kerah saat itu. Dalam ruangan luas berinterior mewah, degum musik bercampur dengan botol botol alcohol, dan nafsu syahwat para pengunjung. Selebritis dan tamu tamu pilihan menyaksikan parade gadis gadis memakai bikini yang sangat cantik, dan meloloskan penutup auratnya sehingga telanjang bulat. Seorang anggota DPR yang terkenal tampak masyuk mendekap seorang gadis bugil tersebut. Dipojok sana seorang pengacara yang gemar memperjuangkan hak asasi tampak duduk santai sambil memangku gadis yang meliuk liuk di pahanya. Beberapa teman sutradara film, serta artis selebritis bersorak sorai menyambut kemunculan saya, dan meminta salah seorang gadis ABG telanjang yang wajahnya seperti Tia Ivanka untuk menari erotis di depan saya. Lalu ada gadis model yang fotonya baru baru ini disaksikan di majalah pria, berbisik mesra meminta diajak main film iklan. Semua serba transparan, vulgar dan menggairahkan. Pantas saja manusia tidak memperdulikan surga yang dijanjikan Tuhan jika mereka merasa sudah menemukan surga surga yang bertebaran di sekitarnya. Tentu saja saya tidak munafik untuk tidak menyembunyikan kekaguman terhadap kecantikan si ‘ tia ivanka ‘ dan tubuh moleknya yang hanya 10 cm dari wajah saya. Tapi ada hal yang lebih penting yang memaksa saya untuk meninggalkan tempat itu secara diam diam. Biarlah itu menjadi rahasia saya sendiri.

Mohtar Lubis memang tidak salah. Indonesia yang berteriak teriak sebagai negara religius sesungguhnya adalah negara sekuler, dengan segala kemunafikannya. Bulan puasa diambang pintu, dan manusia hanya takut oleh kesucian selama satu bulan ini saja. Sehingga Tuhan dipandang sebagai sosok dengan pecut api di tangan kananNya dan neraka di tangan kiriNya, bagi mereka yang tidak menghornati bulan suci ini. Sementara saya mendiamkan telpon genggam yang berdering dering, panggilan dari teman teman yang mencari cari saya. Apakah saya berharap Tuhan mau memaafkan kemunafikan ini ? Malam menjelang pagi, hujan rintik rintik membuat Jakarta semakin sepi dengan kemegahannya. Lampu jalanan terasa temaram dan notkah titik air mengalir pelan di jendela kaca. Kosong, sunyi dan melankolis.

Selamat menunaikan ibadah puasa. Insya Allah ibadah kita diterima oleh Allah swt.

You Might Also Like

52 Comments

  • Bangsari
    September 27, 2007 at 11:57 am

    tapi indonesia bukan hanya jakarta bung!

  • Anonymous
    October 4, 2007 at 3:08 pm

    Tuhan…,
    muslim kah hamba?
    bila islam hanyalah sebuah tulisan di kartu tanda pengenal
    bila ayat-ayat-Mu tak satupun yang hamba hapal
    bila sholat hanya hamba tegakkan dalam khayal

1 2

Leave a Reply

*