Kiai Sadrach

sadrach1.jpgKetika membongkar dan merapikan koleksi buku buku di lemari ‘ perpustakaan ‘, saya membaca ulang buku ‘ Kiai Sadrach ‘. Buku yang diterbitkan tahun 1985 ini terjemahan dari L’affaire Sadrach, Un Esai de Christianisation a Java au XIXe Siecle dari C. Guillot ( Association Archipel, Paris ). Buku ini menjadi penting karena menceritakan sejarah agama Kristen di Jawa ( Bukan Katolik )
Kiai Sadrach memang dianggap sebagai pendiri Gereja Kristen Jawi.
Dilahirkan dari keluarga Islam Jawa. Raddin Abbas – dengan namanya sebelum dibaptis – telah belajar di dua pesantren, sebelum akhirnya berkenalan dengan Kiai Tunggul Wulung , asal lereng gunung Muria yang telah berpindah Kristen. Sang Kiai ini yang selanjutnya membawa Raddin Abbas ke Batavia dan memperkenalkan dengan komunitas Kristen Belanda.
Ada yang menarik bahwa keberhasilan Kristenisasi pada abad 19 di Jawa adalah hasil aktivitas orang orang pribumi sendiri. Terlepas dari aktivitas misionaris Eropa. Pada tahun 1889 jemaahnya disekitar Kedu sudah mencapai hampir 3000, sementara petugas zending yang bekerja lebih lama hanya mempunyai pengikut puluhan saja. Bahkan dalam perkembangannya Sadrach bersimpangan dengan pihak zending.

Belanda memang berbeda dalam pandangannya tentang penyebaran agama Kristen. Jika kolonialisme Spanyol dan Portugis memandang sebagai bagian dari pewartaan Kerajaan Allah di seluruh muka bumi. Tak heran seluruh negara negara jajahan mereka beragama Katolik, seperti Philipina dan negara negara Amerika Latin / Tengah. Maka kolonialisme Belanda justru setengah hati menyebarkan agama mereka, dengan ketakutan akan muncul rasa kesamaan antara penduduk asli dengan golongan pendatang dari Eropa. Sehingga pada akhirnya ada 2 golongan, yakni Kristen jawa dan Kristen londo.

sadrach2.jpgBuku ini semakin menarik untuk diikuti karena selanjutnya menampilkan permasalahan perbenturan dua budaya. Jawa dan Eropa. Serta menampilkan sinkretisme dalam kebudayaan Jawa. Sadrach dengan jitu berkelana ke pelosok Jawa menyebarkan ajaran baru yang diramu dengan pendekatan lokal. Selain tetap memakai panggilan Kiai, Sadrach juga mempraktekan apa yang pernah dilakukan para Wali Sanga menaklukan masyarakat Hindu. Persis ketika Sunan Ngampel sering melakukan ‘ duel ‘ mengadu ilmu dengan pemuka Hindu Majapahit.

Cara Sadrach menyebarkan agama Kristen dengan berkelana kemana mana, menemui guru guru terkemuka di daerah itu serta berusaha meyakinkan mereka akan kepercayaan Kristen. Jika tidak berhasil maka dilakukan tantangan perang tanding di depan umum, untuk mengetahui siapa yang lebih hebat ilmunya.
Kadang kadang perdebatan itu bersifat dramatis, dengan murid muridnya duduk di belakangnya. Sebelum dimulai ditetapkan aturan permainannya. Sadrach berjanji untuk kembali ke Islam andai ia kalah. Jika menang, ia menuntut lawannya tunduk padanya dan masuk Kristen. Ini menjadi tidak penting mengenai hakekat inti ajaran masing masing agama. Karena Sadrach yang memiliki ngelmu Jawa, pernah belajar di pesantren dan juga ia telah menerima “ ilmu baru “ yakni Kristen. Ditambah ia juga tidak bodoh. Sedikitpun ia tak pernah takut. Begitu kalah sang lawan mengucapkan pengakuan takluk.
Kulo meguru “ ( saya berguru ).
Para murid murid kiai, bersama gurunya menjadi pengikut sang pemenang. Demikianlah cara Sadrach mengkristenkan beberapa Kiai dalam tempo beberapa tahun.

sadrach3.jpgSaya menduga disamping Kiai Sadrach memiliki ketrampilan ‘ilmu presentasi dan komunikasi massa ‘, ia hanya melakukan penetrasi di wilayah wilayah yang kadar keislamannya masih relatif rendah, yang masih bercampur dengan budaya animisme dan hindu. Tak heran, salah satu kunci keberhasilan mereka adalah menggabungkan ajaran ajaran Kristen dengan budaya Jawa seperti Yesus Kristus yang diasosiasikan dengan Ratu adil. Ia juga tetap mempertahankan tradisi kejawen dalam masyarakat dengan memasukan doa doa Kristen.

Dari buku ini kita bisa mempelajari sejarah perkembangan agama agama di Nusantara serta mengambil makna keragaman budaya dan agama. Penelitian atas kasus Sadrach menjelaskan jalannya penyebaran agama di Jawa, yang telah menerima agama Hindu, Budda dan Islam tanpa peperangan atau penaklukan. Sekaligus meyakini bahwa tidak ada agama yang berhak mengklaim sebagai pemilik sesungguhnya negeri ini. Kita juga bisa berkaca dari masa silam mengenai keikhlasan dan toleransi. Ini juga bisa menjelaskan mengapa salah satu komunitas Kristen Jawa tertua berada di Desa Mojowarno, dekat Jombang – Jawa Timur. Sebuah bagian daerah yang secara tradisional sangat kuat kultur Islamnya.
Mempelajari sejarah serta menarik dengan masa kini membuat kita semakin bijak. Semakin mencintai dan mempertahankan kebhinekaan negeri ini.

You Might Also Like

110 Comments

  • yudhi
    January 20, 2008 at 11:09 pm

    Buku yang menarik mas,di gramed masih ada yang jual ga yah 🙂 😀

  • eriek
    January 20, 2008 at 11:33 pm

    meskipun buku ini terbit 12 tahun yang lalu, tapi tetap aktual dibahas dan dibedah oleh Mas Iman. tapi, sayangnya banyak riset-riset sejarah zaman kolonial Belanda banyak ditulis ke dalam buku dari luar Indonesia ya. contohnya buku ini diterbitkan dari Paris, Perancis ya kan Mas?

    saya pikir buku yang cukup ‘berat’ pembahasannya ini perlu juga menjadi diskusi mulai dari anak-anak SMA hingga mahasiswa (terutama jurusan Sejarah), agar mereka dan saya pun punya pandangan luas tentang riwayat kristenisasi di Jawa. kira-kira sudah adakah sekolah dan kampus yang memulainya?

  • Hedi
    January 20, 2008 at 11:40 pm

    sampeyan udah baca berapa kali buku itu, mas? saya sendiri baru sekali dan agak sulit mencerna, rasanya emang harus baca lebih dari sekali buat memahami…buku ini memang agak berat karena berisi 🙂

  • mitra w
    January 21, 2008 at 12:20 am

    menarik banget nih…

    begitu juga dg Islam, cara menyebarkan agama nya ke Indonesia juga dg mengindahkan tradisi dan budaya… well, itu langkah yg bijak saya rasa…

  • sluman slumun slamet
    January 21, 2008 at 1:06 am

    menarik ya…
    bagi2 donk koleksinya

  • bapake evan
    January 21, 2008 at 1:08 am

    cara paling mudah untuk menyebarkan agama atau paham baru memang lewat tradisi masyarakat setempat ya mas. Ada akulturasi di sana, sekaligus infiltrasi sistem nilai dari luar.

  • bapake evan
    January 21, 2008 at 1:10 am

    buku ini masih beredar gak mas?

  • paman tyo
    January 21, 2008 at 1:10 am

    Lho, masih punya buku ini to? Versi lain yang anyar, lebih ringkas dan “popular”, disusun oleh seorang pensiunan wartawan Suara Pembaruan.

  • didut
    January 21, 2008 at 2:31 am

    jadi pengen baca yg penyebaran katolik di tanah jawa soalnya denger adr adik yg sekolah di Van Lith sekarang 😀

  • Goenawan Lee
    January 21, 2008 at 3:31 am

    Menarik memang. Sebuah akulturasi, dengan meminimalisasi unsur fundamentalis agama. 😛

    …tapi nyatanya sekarang gerakan fundamentalis banyak terjadi lagi. 😕

  • leksa
    January 21, 2008 at 5:10 am

    kalau saya sangat tertarik denga pokok bahasan akulturasi budayanya…
    sama halnya kenapa islam yang ada di aceh, padang, jawa, dan dimanapun juga berbeda2 dalam interprestasi adat islam nya ….
    sebuah proses yang sangat manusiawi, dan justru pemahaman agama menyentuh empati rasa karsa manusia

    Justru menjadi aneh ketika agama ditarik2 ulur dalam kerangka memperebutkan lahan kekuasaan.. dan bicara langitan .. jauh menyentuh ranah kemanusiaan lagi

  • edratna
    January 21, 2008 at 7:15 am

    Mas Iman,
    Makasih tulisannya.
    Sangat menarik, dari cerita di atas membuat kita memahami bahwa perbedaan hendaknya disikapi dengan baik, karena sejak awal di Indonesia, terutama di pulau Jawa, antara umat beragama mempunyai toleransi yang tinggi. Banyak keluarga, yang anggota keleuarganya memeluk agama yang berbeda-beda, namun tetap bisa saling menghormati.

    Iya ya, kita memang biasa menerjemahkan orang bule dengan ‘Londo”…jadi ada londo Belanda, londo Amerika dll

  • venus
    January 21, 2008 at 8:23 am

    lha, buku2 berat gini senengane mbilung. saya harry potter aja lah, hihihi…

  • kw
    January 21, 2008 at 8:44 am

    keren. pak kiai nyebarin agama kristen. jadi penasaran ramuan kristen , islam jawa seperti apa hehhe

  • Ajie
    January 21, 2008 at 8:58 am

    Saya malah baru denger ada kyai menyebarkan agama kristen, btw memang dibutuhkan ‘keihklasan’ lebih untuk bisa hidup berdampingan dengan keyakinan yang berbeda 🙂

  • IMAN
    January 21, 2008 at 9:17 am

    yuhi, bapake evan..seperti sudah nggak beredar buku aslinya,..tetapi menurut Paman tyo ada versi yang lebih ringkas dan ada di toko buku.
    ajie,
    jangan salah justru istilah Kyai bukan istilah Islam..dari istilah tradisi setempat yang berarti guru, bisa guru apa saja ya agama, silat …Itulah hebatnya Islam di Jawa, justru digabung Kiai Haji..KH

  • dnk_setiawan
    January 21, 2008 at 10:23 am

    memang, keragaman seperti layak untuk digali, tambahan khasanah akan membuat yang benar teruji akan kebenarannya, dan insyaallah membuat kita lebih arif dalam melihat dunia

  • extremusmilitis
    January 21, 2008 at 10:34 am

    Wah, di-tilik dari sudut se-jarah religius, buku-nya menarik sekali. thanks mas Iman buat nge-sharing ini ke-kita-kita. dari dulu aku senang baca sejarah-sejarah seperti ini
    Btw, ada e-book-nya atawa copy-an-nya Mas 😛

  • ebeSS
    January 21, 2008 at 10:43 am

    sekarang kristen londo ya masih banyak . . . . 🙂
    kilas balik ini tentu seperti menuntun kita ke air yang jernih . . .
    selain Mojowarno . . komunitas Kristen lama di Jatim juga di Peniwen. Malang Selatan.

  • annots
    January 21, 2008 at 12:23 pm

    setau saya di gereja kristen jawa daerah jogja itu pake bahasa jawa waktu misa. dari situ saya pikir beda krsiten jawa dan tidak adalah pada bahasa yang digunakan 😀

  • la mendol
    January 21, 2008 at 12:30 pm

    Wah fakta sejarah yang menarik nih. Saya lagi membayangkan kalau mereka perang tanding adu ilmu. Trus kalau kalah ganti kepercayaan. Wah, taruhannya luar biasa.

  • iman brotoseno
    January 21, 2008 at 2:17 pm

    extremulistis,
    bisa saja saya buat fotocopy buku ini..

  • -may-
    January 21, 2008 at 2:24 pm

    Aih, ada juga ternyata yang pernah baca buku ini ;). Saya membacanya belasan (eh, puluhan) tahun lalu, waktu masih SMA 🙂 Nemu di perpustakaan sekolah 🙂

    Kutip 1: “Jika tidak berhasil maka dilakukan tantangan perang tanding di depan umum, untuk mengetahui siapa yang lebih hebat ilmunya.”

    Kutip 2: “Kita juga bisa berkaca dari masa silam mengenai keikhlasan dan toleransi.”

    Lepas dari menariknya bahasan ini, saya justru tidak melihat keikhlasan dan toleransi di sini. Perpindahan kepercayaan setelah “dikalahkan” dalam perang tanding, justru terlihat sebagai bentuk yang lebih halus (individual?) dari politik penjajahan Spanyol/Portugis. Bukan karena keikhlasan mereka berpindah, namun karena kalah 🙂

  • kombor
    January 21, 2008 at 3:08 pm

    Buku yang bagus. Saya jadi ingin membacanya.

  • gempur
    January 21, 2008 at 3:15 pm

    Saya kira di Indonesia, apapun yang datang dengan lemah lembut akan diterima dengan tangan terbuka…

    Sebentar lagi, Islam yang mayoritas akan kehilangan maknanya, berganti dengan “agama budaya baru” yang bernama “pop culture”.. dan jangan heran jika kemudian orang Islam tapi jauh dari Islamnya.. yang pada prinsipnya, mereka berbaju islam ber-ruh “pop culture”..

    Selamat datang agama baru?!

  • didi
    January 21, 2008 at 4:13 pm

    sayang, mereka nggak juga berhenti.

  • triadi
    January 21, 2008 at 4:20 pm

    yang asal mula ajaran “darmo gandul” punya ga mas iman?

  • Totok Sugianto
    January 21, 2008 at 4:25 pm

    tentang kiai ini di musium kereta keraton jogja, semua nama kereta kudanya pake kiai semua. jadi bener mas iman kiai tidak identik dengan islam kok tetapi kejawen saja

  • funkshit
    January 21, 2008 at 5:26 pm

    wah penyebaran nya pake perang ya.. kok agak2 gimana gitu ..
    pantes disebarin ke yang islam nya masih lemah . ..
    klo gitu si kyiai sadrach (susah ye namanya, aneh klo dipanggil kyai) itu orangnya ngga terkalahkan .. buktinya dia masih kristen tho

  • bangsari
    January 21, 2008 at 6:22 pm

    hmm… jadi pengin pinjem. 😀

  • siska
    January 21, 2008 at 6:39 pm

    hmm cerita sejarah yang menarik. saya baru tahu.

    tapi…lagi cari tahu mengenai agama Hindu di Bali dan Hindu di India, berbeda kah?

  • Wazeen
    January 21, 2008 at 9:21 pm

    eee mas Iman juga moto kopi buku :D….

  • Rystiono
    January 21, 2008 at 9:26 pm

    Lah ini bukunya diterbitkan sayah baru lahir…

    Sayah selalu tertarik membaca sejarah, terutama sejarah agama disebarkan. Bahkan sampai sayah mengambil kesimpulan bahwa bagaimanapun caranya (kekerasan, perang, perdagang, dll) awalnya agama itu dibawa, pada akhirnya agama itu menyebar dengan perdamaian dan kelembutan hati.

    Jadi, kalo ada yang mau berdakwah dengan kekerasan, apapun agamanya kayaknya udah nggak laku deh sekarang ini…

  • mantan kyai
    January 22, 2008 at 1:20 pm

    seng penting ojo perang …

  • kenny
    January 24, 2008 at 12:22 am

    waduh, paling cepet ngantuknya klo skr baca buku kayak gitu

  • wigati
    January 24, 2008 at 6:46 pm

    saya pernah lewat tuh gereja yang di mojowarno. kuno dan masih well-preserved sekali.
    beberapa sodara saya anggota dari gereja tersebut. yang kalau di beberapa kota di jatim ada yang namanya gkjw a.k.a. gereja kristen jawi wetan, yang service nya ada yg full bahasa jawa.

  • yoki
    January 26, 2008 at 2:27 am

    menarik…betapa kuatnya ilmu presentasi dan komunikasi untuk mempengaruhi orang. Kok belum ada yang manjur lagi yah untuk merubah kondisi sekarang?

  • pupus
    January 30, 2008 at 4:07 pm

    Sepertinya sangat menarik.. Saya warga gereja kristen di daerah mana Kyai Sadrach sering diceritakan pernah mengabarkan injil, yaitu GKJ KArangglonggong, Klirong, Kebumen. “http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Desa_Karangglonggong” namun demikian saya belum pernah membaca buku tersebut. Di mana saya bisa mendapatkan buku tersebut?

    Terima kasih

  • mPitz
    February 25, 2008 at 1:58 pm

    pinjem! 😀

  • Ronald
    March 13, 2008 at 11:16 am

    Salam kenal Mas,
    saya termasuk salah satu penghuni greja yg berdirinya juga digagas oleh Kiai Sadrach, yaitu greja kristen jawi wetan (greja kristen jawa timur).

    menilik sejarahnya, umat kristen jawa asal muasalnya ya dari jawa timur sini, dimulai dari sebuah desa di mojokerto yg namanya ngoro. ngoro inilah cikal bakal komunitas kristen jawa mula2, diprakarasi oleh coolen seorang turunan belanda, rusia, dan jawa. kalau mojowarno itu adl dampak perkembangan dari umat kristen jawa yg ada di ngoro situ. dg kata lain mojowarno muncul stl adanya ngoro sbg salah satu bentuk ekspansi agama. tapi yg lebih terkenal sih emang mojowarno krn disitu ada salah satu greja tertua di pulau jawa yg dibangun bukan oleh zending alias londo melainkan oleh komunitas kristen jawa.

    yg menarik dari komunitas kristen jawa adl, perkembangannya dilakukan oleh orang jawa sendiri dan bukan oleh zending spt terjadi di komunitas kristen indonesia lainnya.
    tapi yg lebih menarik lagi, salah satu cikal bakal pendiri komunitas kristen jawa ternyata adl seorang madura yg bernama Paulus Tosari (seorang keturunan kesultanan Bangkalan, Madura).
    dan yg lebih menarik lagi, saya sendiri bukan orang jawa tapi keberadaan saya bisa diterima dg mudah di greja jawa tsb.

  • Santri Gundhul
    March 23, 2008 at 1:28 am

    Kiayai Sadrah…tuh kan yg ada di daerah LODOYO – Blitar selatan…
    Sama gak yah…

  • subarkah
    March 23, 2008 at 11:18 pm

    Saya baca buku kyai Sadrach ini 19 tahun lalu. Karena kampung saya disebut-sebut (Karangglonggong) maka terpaksa saya tulis email Mungkin mas Iman Brotoseno tak tahu..Saya sudah riset kecil-kecilan. Tapi yah tulisan soal karangglonggong itu hilang meski sempat ada di wikipedia. Salam buat mbak Paquita.

  • Klowor
    March 25, 2008 at 9:07 pm

    Iya, emang betul mas..tentang opini anda. Belum lama jemaat di gereja kami malah baru saja mengikuti kebaktian Jumat Agung di gereja yang gambarnya persis di foto dan dilayani perjamuan pendeta di sana. Rumah Kyia Sadrach juga masih terjaga keasliannya lho mas. Katanya sih memang sengaja dibuat begitu. Cuma akses menuju ke sana jalannya agak sempit, soalnya melewati jalan di sawah.

  • Elam
    June 20, 2008 at 4:47 pm

    Penyebaran di lingkungan berpendidikan rendah . Lihat sekarang di Belanda yang berpenduduk mencapai 16 juta jiwa di mana 1 juta di antaranya adalah umat Islam. Saya masih ingat dulu baca injil. Yesus ada dari umur nol tahun sampai 12 tahun . umur 12 s.d. 30 tidak ada keterangan. Baru muncul lagi umur 30 serta meninggal umur 33 tahun. dan masih banyak keganjilan lainnya.

  • mardiyo
    July 7, 2008 at 8:37 am

    Wah kalo ngomongin GKJ Karangglonggong, saya jadi inget waktu kecilku karena saya adalah salah satu orang kristen dari Gereja ini berdekatan dengan gerejanya, dulu ada sekolah SD Masehi dimana saya juga bersekolah di situ. Tetapi yang ada sekarang tinggal gerejanya memang benar Gereja itu di desa Wotbuwono tapi tertulis Gereja Kristen Jawa Karangglonggong karena memang dulu2nya jemaat yang ada kebanyakan dari desa Karangglonggong. Desa Wotbuwono pun sebenarnya disebut Wotbuwono Tempel karena sebenarnya desa itu nempel ke Desa Karangglonggong nggak apa-apa yang penting jiwa kristenku tidak tempelan.

  • stevanus
    July 24, 2008 at 9:00 am

    mas bukunya mash ad ga??? klo mash carinya dmn??pliss kasih tau ya.makasih

  • comments
    September 24, 2008 at 4:36 pm

    Punya buku ini…
    dan sampai detik masih belum selesai membacanya….
    memang ini adalah sejarah yg mana kita harus mengetahui…
    bahwa penyebaran agama yg indah adalah menggabungkan unsur Kultur lokal dan agama itu sendiri…
    jangan seperti saat ini yang …*maaf*…hanya men “dewakan” salah satu kultur saja…yaitu Arab….
    dan sepertinya dengan berperilaku spt orang Arab….surga sudah di tangan….
    anyway…..mungkin sejarah kiai sadrach perlu di ajari disekolah2….terutama pendidikan dasar…
    ini lah fungsi yg lebih indah…dibandingkan dengan penerapan RUU atau UU yg hanya mengekang kebabasan individu….
    Sejarah Indonesia sudah hilang dari pendidikan dasar anak2 kita….

  • The Lion of Jehuda
    November 23, 2008 at 8:09 pm

    saya kira, sadrach mulai dilupakan….ternyata karyanya tetap menjadi kenangan dan semangat bagi generasi penerus, terutama dalam mempertahankan budaya Jawa yang mulai terkikis budaya-budaya lainnya….kiranya hal ini menjadi berkat bagi semua orang….

  • am2
    November 30, 2008 at 1:25 am

    comments
    maaf, pernyataan anda tendesius, dan subyektif

  • immanuel
    February 6, 2009 at 11:05 pm

    Ternyata ada buku sejarah Kyai Sadrach yang lain, bahkan mungkin lengkap ya, karena biasanya justru sejarah kekristenan banyak ditulis tidak dari orang kita sendiri dan pasti terperinci. Sekedar berbagi aku juga punya buku sejarah Sadrach terbitan BPK Gunung Mulia tahun 1974, tetapi karena bukunya udah rusak, maka aku ketik ulang lagi dan udah jadi. sekarang aku publishkan ke http://www.ziddu.com. biar semua orang dapat membaca. Kalau bisa berbagi dengan bukunya mas, sebab sekarang aku sedang belajar tentang sejarah GKJ. Makasih

1 2 3

Leave a Reply

*