Bagaimana Bung Karno memaknai fotografi sebagai kekuatan citra

Sering dibicarakan bahwa pencitraan dianggap menjadi sebuah berhala baru. Banyak tokoh di republik ini dianggap menggunakan pencitraan visual untuk mendongkrak popularitas. Karena ini multimedia maka sebuah momen dengan mudah terekam dalam sebuah medium fotografi yang kemudian tersebar secara viral. Padahal fotografi sebagai medium pencitraan tidak melulu salah. Ini adalah alat yang paling sering digunakan oleh tokoh publik.

Pertanyaannya apakah boleh melakukan setingan? Sebagai tukang pembuat film iklan, saya jawab, sepanjang tidak dianggap foto foto jurnalistik. Boleh saja dan bahkan perlu. Apalagi berhubungan dengan pencitraan si tokoh. Ini hal yang biasa, dalam pekerjaan fotografer professional. Bahwa ada orang atau para pihak yang terganggu dengan foto tersebut, ya lain masalah.

Kalau sudah demikian kita bicara 2 hal. Pertama dari sisi fotografernya ( teknis, metode ) dan Kedua, dari sisi obyek ( gaya / style, kesadaran dipotret ). Sejarah membuktikan bahwa kolaborasi antara fotografer dengan obyek ( tokoh ) akan menghasilkan gambar gambar yang secara visual menjadi bungkus branding penokohan.

Coba kita lihat foto ini. Kisah Stalin lebih menyerupai monster pembunuh berdarah dingin, yang membunuh rakyatnya. Dari dokumenter yang pernah dibuat, digambarkan Stalin bukan orang yang mudah tertawa. Ia kaku dan serius. Para pejabat pejabat sering dipanggil ke peristirahatannya, hanya untuk dipaksa menari dengan lagu yang diputar. Mereka menari dengan ketakutan ,karena ada kemungkinan bisa dikirim ke kamp Siberia jika gagal menyenangkan Stalin.
Bisa jadi ini sebuah setingan ketika Stalin bisa tertawa lepas, membaca surat sambil membiarkan rakyat memegang pundaknya. Dalam keseharian jangankan memegang pundak, melihat mata sang diktaktor saja, rakyat kebanyakan tidak berani.Disini Stalin punya keberanian untuk keluar dari zona cap kesehariannya untuk beracting, dengan tertawa. Artinya ada kerjasama, kolaborasi antara juru potret dengan obyek. Sebuah foto propaganda memang memerlukan seting seperti itu.

Namun tak ada yang memahami tentang kekuatan fotografi seperti Sukarno. Sudah menjadi kesaksian para wartawan, bahwa Bung Karno tak pernah mau pergi kemana mana tanpa ditemani fotografer. Lagipula Presiden pertama Republik Indonesia selalu mengizinkan fotografer memotretnya dari dekat, sementara wartawan tulis hanya berdiri dipojokan. Sukarno tak ragu menghentikan mobil kepresidenan di pinggir jalan sekadar untuk memberikan tumpangan kepada juru kamera yang tertinggal angkutan. Baginya lebih baik ketinggalan seorang Menteri, daripada fotografer.

Lebih dari 50 tahun lalu, Jakob Oetama menulis bahwa dalam dunia Bung Karno, “ kekenesan pribadinya berperan “. Sejauh yang berhubungan dengan citra diri, hal itu sudah bisa kita rasakan, bahkan sejak gambar gambar dirinya dibuat oleh para tukang potret tak bernama di awal abad silam. Berpose di deretan paling belakang, atau dikelilingi rekan rekan sekolahnya di HBS Surabaya. Semua penuh gaya dari ujung blangkon, hingga ujung jarik dan selopnya. Seolah olah dalam foto keroyokan itu, hanya ada cuma Sukarno seorang.

Sukarno selalu menegaskan kehadirannya, dan orang lain akhirnya hanya menjadi gambar latar baginya. Lihat saja, secara tersirat dan tersurat, Bung Hatta selalu satu dua langkah di belakangnya. Seluas apapun dimensi kemanusiaannya, di mata publik, Hatta hanya seorang yang kalem dan lembut seolah hanya punya satu pesona, yakni sebagai orang nomor dua abadi.

Pada konperensi pers Kabinet pertama RI dengan wartawan asing tanggal 4 Oktober 1945. Dari 16 orang pejabat tinggi, hanya 4 tokoh yang memakai dasi – Sukarno, Menteri Pendidikan Ali Sastroamijoyo, Menteri Sosial Iwa Kusumasumantri dan jubir Sukarjo Wirjopranoto. Tidak semuanya menggunakan jas. Menteri Luar negeri Achmad Subardjo mengenakan jas yang terlihat sempit untuk tubuhnya yang gemuk. Sementara Menteri Penerangan Amir Syarifuddin, mengenakan jas yang tampak kedodoran dan dipadu celana pendek ala kaum sekolahan Hindia Belanda. Walau pada jaman itu, masih susah untuk mendapatkan bahan pakaian. Toh hari itu hanya Bung Karno yang paling parlente dan percaya diri.

Ada ribuan foto yang dibuat para fotografer sebagai bukti Bung Karno memiliki daya pikat. Ada Sukarno di atas panggung. Ada Sukarno yang menggulung celananya berjalan di sela sela luapan banjir. Ada Sukarno yang membiarkan dirianya menjadi model bagi seniman. Ada Sukarno sebagai bapak negara sedang mengajar baca tulis. Ada Sukarno sedang menyalami pengemis. Sukarno pemerhati otomotif. Sukarno sedang bercakap cakap dengan kepala negara asing. Sukarno sedang bermain bola dengan anak anak kecil. Sukarno naik getek. Berbagi nasi bungkus dengan pembantunya. Berkelakar dengan gadis gadis desa. Main sepak bola dengan anak anak, melantai bersama Megawati sampai menjahili – mengambil- lauk pauk dari piring Bung Hatta. Bung Karno bisa terlihat dengan serius memproklamirkan Indonesia, merancang bangunan Gedung Sarinah dengan team arsitek.Sekali lagi, semua dalam foto foto itu menegaskan sosok Sukarno sebagai ‘ center of universe ‘.

Coba lihat photo Sukarno bersama mahasiswa Indonesia di Jepang tahun 1943. Dalam foto resmi – yang diarahkan juru potret Jepang – Sukarno tahu semua peserta memakai gaya yang sama, Maka dia justru memilih dengan gaya kedua tangan disilangkan di dada. Sebuah gaya berbeda dan sudah diperhitungkan, sehingga membuat mata yang melihat foto itu justru hanya melihat Sukarno sendiri.
Sekali lagi, semua dalam foto foto itu menegaskan sosok Sukarno sebagai ‘ center of universe ‘.

Sebuah foto Sukarno sedang berjalan menyusuri pinggir sungai pada bulan Juni 1947 bersama seorang prajurit pengawalnya, memperlihatkan Sukarno berjalan beberapa langkah di depan pengawalnya yang tidak terlalu dekat. Disitu kita berpikir apakah Sukarno melarang prajuritnya dekat dekat ? Namun semuanya kelihatan begitu alami. Kelak 15 tahun kemudian, kita melihat Presiden Kennedy juga terlihat berpose seperti itu sambil menghadap pantai.

Ditinjau dari semua dokumentasi yang dibuat tentang Bung Karno menunjukan pola yang sama, apapun kejadiannya dan dimanapun lokasinya. Bung Karno tahu menyenangkan hati juru kamera ( dan juga menyenangkan dirinya sendiri ). Ia tahu kapan harus tampil serius, kapan bersahaja, kapan penuh canda dan yang paling penting dia tahu dimana posisi kamera. Coba lihat foto BK sedang antri di depan kotak suara pada Pemilu 1955. Apa yang aneh ? Mungkinkah seorang Presiden RI antri. Kalaupun iya, pasti orang orang disekitarnya sudah diseleksi. Kemudian dalam posisi antri, BK menempatkan separuh badannya selalu di sebelah kirinya sehingga tertangkap kamera.

Semua pose begitu alami, begitu intim sehingga kita nyaris lupa bahwa adegan adegan yang penuh spontanitas itu direkam bukan oleh anggota keluarganya atau sahabatnya. Tapi melalui mata lensa seorang juru photo profesional yang hadir disana dalam rangka tugas. Artinya momen momen bersahaja itu bukan lagi persoalan ‘ kekenesan ‘ saja, tapi sudah memasuki perhitungan ( baca : setting ) yang matang.

Ketika Presiden Sukarno ditangkap oleh serdadu Belanda pada aksi polisional kedua tahun 1948. Ia membiarkan dirinya dipotret oleh juru kamera musuh. Raut wajahnya tenang, nyaris dingin. Dibalut pakaian yang licin diseterika, selembar jas panjang menjuntai dari lengannya. Langkahnya bak seorang gentleman Inggris. Dan sebagaimana seorang kelas tinggi, seorang ajudan yang menenteng koper terlihat mengiringi di sisinya. Sang fotografer boleh bangga mendapat materi eksklusif untuk propaganda Kerajaan Belanda, tapi tanpa disadarai seluruh penampilan Bung Karno saat itu memperlihatkan sebaliknya. Betapa wibawa serta kebenaran ada ditangan Republik Indonesia. Yang salah justru Belanda sebagai sang aggresor.

Setelah Belanda mundur, dengan perhitungan yang sama Presiden Sukarno menugaskan Letkol Soeharto, wartawan Rosihan Anwar dan Frans Mendur dari IPPHOS untuk menjemput Panglima Besar Sudirman di markas gerilya, dekat Wonosari.. Sang Jenderal dengan paru paru yang tinggal sebelah harus ditandu menembus hutan dan bukit untuk sampai di serambi kediaman Presiden RI keesokan harinya. Suasana sangat tegang, karena Sudirman masih marah ke Sukarno – Hatta yang memutuskan menyerahkan diri kepada Belanda. Ia berdiri kaku dengan tongkat pada sebelah tangan yang menyangga tubuhnya. Serta merta Sukarno menghampiri dan merangkulnya.

Frans Mendur yang memegang kamera. Langsung memotret. Namun lagi lagi Bung Karno mengeceknya.
“ Momennya dapat tidak ? “ Tanya Bung Karno.
Frans Mendur menggeleng sambil menjawab “ Tidak, Terlalu cepat “
“ Kalau begitu diulang lagi adegan Zoentjes-nya “ Kata Bung Karno.

Puluhan tahun kemudian, foto foto inilah yang muncul di buku buku sejarah. Kita melihat sebuah fragmen mengharukan. Dalam buku Lukisan Revolusi yang memuat kumpulan foto foto bersejarah tahun 1945 – 1949. Pertemuan Sukarno dan Sudirman ditulis “ Laksana adik dan kakak yang sekian lama tiada bersua, bertemu kembali. Rindu yang tertanam dan tertahan, menjelaskan sikap yang tidak dapat dilukiskan dengan kata kata “

Melihat kerangka waktu ketika foto foto itu dibuat, terlihat pemahaman Bung Karno terhadap kekuatan fotografi dan pencitraan yang luar biasa. Berbagai kepala negara tak ada yang bisa menandingi Sukarno dalam urusan ini. Kennedy dipotret Magnum seorang fotografer muda. Sementara Sukarno dipotret Henri Cartier-Bresson. Foto keluarga Sukarno ini masuk Majalah LIFE edisi 13 Feb 1950.

Hubungan dekat antara fotografer dengan tokoh memang bisa jadi kunci untuk mendapatkan foto foto yang lebih dalam. Seperti hubungan Mark Shaw dengan Kennedy dan istrinya yang terjalin sebelum jadi Presiden. Secara tidak langsung mark menjadi juru potret tidak resminya, termasuk mengikuti masa masa kampanye Kennedy.
Disatu sisi Shaw bisa membangun persepsi bahwa kesuksesan Kennedy karena ada istri yang mendukungnya. Pencitraan keluarga yang harmonis ini penting. Bahkan dalam sebuah pidato kemenangan, juru photo Paul Schutzer membingkai komposisi Kennedy dengan Jacqueline yang berada disampingnya, terpukau memandang penuh cinta. Apakah ini settingan ? Jelas Jacqueline harus selalu ada di dekat Kennedy.

Senyum dan gaya Bung Karno sejak awal sudah penuh perhitungan. Kekenesan yang dirancangnya lebih menyerupai aktor professional yang tahu bahwa fotonya kelak siap dibingkai dalam poster ukuran raksasa untuk arak arakan massa. Lihat dengan tangan yang masih diperban, Sukarno tetap percaya diri untuk berfoto. Dia juga tak masalah. Masih mengenakan piyama menerima Alex dan Frans Mendur di serambi rumahnya.

Ketika Bung Karno wafat, dan jauh setelah kematiannya, para pemujanya tetap memburu foto fotonya, persis seperti penyanyi penyanyi legendaris dunia. Mereka memasang fotonya dalam pigura besar di rumah. Ada juga yang dijadikan sticker untuk ditempelkan di belakang bajaj. Para pelukis jalanan selalu menggambar Bung Karno dan dipajang diantara karya karyanya. Ada juga yang mengusung fotonya diatas Metromini ketika musim kampanye tiba. Ah, Bung Karno hidup kembali.


You Might Also Like

3 Comments

  • Sridewanto Pinuji
    December 20, 2017 at 11:00 am

    Terima kasih, Mas, untuk artikel yang sangat luar biasa ini.

    Barangkali perlu juga diulas, bagaimana tokoh-tokoh politik sekarang, termasuk mungkin Presiden memanfaatkan foto untuk menaikkan citra dirinya.

    Salam

  • OrbaFuckinShit
    January 4, 2018 at 1:59 pm

    hidup BUNG KARNO!

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:24 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*