Haruskah Aku Memusuhi Mereka yang bukan Islam dan Sampai Hatikah Tuhan Memasukan Mereka ke Dalam Api Neraka ? – September 1969
Ini adalah penggalan dari catatan harian yang menggetarkan dari seorang pluralis, Ahmad Wahib yang seandainya masih hidup mungkin akan berhadapan dengan golongan garis keras. Saya mengutipnya, karena Catatan harian saat itu , berisi pergulatan pemikirannya tentang pluralisme dan saat ini .masih relevan, ketika persoalan keragaman masih menjadi issue bangsa ini.
Kali ini issue LGBT ( lesbian, gay, bisexual, and transgender ) sudah beberapa lama memenihi time line saya karena postingan bertubi tubi seorang sahabat. Tiba tiba saja saya teringat pengalaman Bung Karno. Dalam penjara di Sukamiskin, Bung Karno pernah mengalami ‘ ditaksir ‘ seorang lelaki Indo Belanda yang juga menjadi tahanan di sana.
Tentu saja Bung Karno merasa ketakutan. Bagaimana tidak, sebagai seorang pencinta wanita yang ulung, kini harus berhadapan dengan lelaki yang tulen dalam penampakan. Tentu saja Bung Karno menolak rayuan tadi. Selain dia lelaki normal, Bung Karno tentu paham, saat itu menjadi homoseksual bisa dihukum pidana oleh pemerintahan kolonial. Pelukis Jerman, Walter Spies pernah dipenjara di Bali tahun 1938, karena tuduhan homoseksual ini.
Memang tidak sesimpel itu, kita menaruh stigma dosa di kening mereka. Membawa dogma agama juga tidak akan menyelesaikan masalah. Tentu kita sepakat. Tidak hanya Islam. Dalam Kristenpun, menolak hubungan sejenis. Sebegitu murkanya Tuhan, melihat umatnya melakukan praktek ini, sehingga sebelum menghancurkan Sodom dan Gomorah. Ia bersabda. “ Tunjukan kepadaku lima orang saja yang baik, sehingga aku tak akan menghancurkan kedua kota ini “.
Ini menjadi pelik ketika sekelompok orang – atas nama Tuhan – menunjukan kebenciannya untuk menggerus mereka yang memiliki orientasi berbeda. Agama menjadi polisi, dengan pecut neraka di tangan kanannya dan api di tangan kirinya.. Tentu saja saya tidak akan mendebat dalam ranah agama. Karena siapa yang akan menyangkal kebenaran Islam.
Saya sepakat dengan orang orang yang menghujat LGBT bahwa Islam adalah jawaban semuanya. Jika itu sudah menjawab atas segala pertanyaan alam semesta. Mengapa kita harus memaksakan kebenaran Islam dengan aroma kebencian versi kita.
Tapi Mas, saya tidak benci dengan LGBT. Saya punya teman teman baik daei mereka juga. Saya hanya benci dengan kegiatan komunitasnya. Saya benci karena ini dilarang agama. Saya benci mereka yang menyebar brosur. Saya juga benci ke mereka yang meminta perkawinan sejenis dilegalkan disini. Begitu seorang ‘ sahabat ‘ yang berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada saya.
Apakah ini menjelaskan semuanya ketika dalam kampanye ini kamu justru menggandeng akun akun atau kelompok yang berpotensi menyebar kebencian selama ini ? Paradoks pada akhirnya.
Bagi yang bekerja dan hidup dalam dunia film seperti saya. Urusan LGBT bukan sebuah hal aneh, karena mereka ada di sekitar saya, menjadi partner kerja, crew saya atau sahabat saya. Memandang mereka tentu bukan dari kacamata kebencian, karena mereka hidup normal seperti saya sehari hari. Mereka juga memiliki empati, nurani dan semangat seperti saya juga.
Jadi kalau ada yang bilang, telah ditemukan penyebaran brousr brosur ajakan LGBT ke sekolah. Reaksi pertama saya, Ini hanya oknum. Bukan menggambarkan aktivitas keseharian pada umumnya. Sama seperti penyebaran brosur yang dilakukan sekte Gereja ‘ Children of God ‘ jaman dulu. Kasus per kasus. Apakah kita serta merta mencap seluruh saudara Kristiani seperti pemuja aliran Children of God ?
Tentu saja alasan saya bisa dianggap buyest. Ah dasar orang film. Sekuler dan tipis kadar keimanannya. Tapi ini terserah. Saya tidak harus mempertontonkan keIslaman saya dan betapa bermoralnya saya kepada publik taimlain.
Apapun itu, pasti pengalaman sehari hari saya membentuk kesadaran yang berbeda. Ini mustahil dialami oleh mereka yang sehari hari tidak merasakan pengalaman seperti saya.
Saya teringat ucapan Kardinal Darmoyuwono, bahwa apakah kita mesti terkurung dalam pagar agama untuk semangat kemanusiaan ? Saya tidak yakin sahabat sahabat LGBT saya begitu bersemangatnya menyebarkan brosur atau meminta legalitas perkawinan sejenis di DPR.
Tentu saja, saya mengenal seorang Bunda Dorce. Ia bisa menjadi teman yang seru sekaligus menjalani agamanya dengan baik. Saya bukan seorang hakim moral yang bisa menilai halal tidaknya ibadah seseorang. Yang saya tahu ia sangat perduli dengan kaum dhuafa, dan menyantuni anak anak yatim piatu.
Saya tidak perlu perlu membenci membabi buta. Mungkin saya hanya belajar dari Joe Miller, seorang pengacara Andrew Beckett yang memiliki pengalaman homophobic, akhirnya bisa berdiri membela kliennya yang terkena AIDS. Sekali lagi saya melihat dari kacamata manusia.
“We’re standing here in Philadelphia, city of brotherly love, the birthplace of freedom, where the founding fathers authored the Declaration of Independence, and I don’t recall that glorious document saying anything about all straight men are created equal. I believe it says all men are created equal “
Tentu kalian akan berteriak, Ini bukan Amerika, Ini Indonesia. Tapi kisah film ini memang menyentuh saya, dan selalu saya simpan catatan ruang kemanusiaan. Membentuk sebuah garis lingkaran dimana sisi ujungnya selalu ada orang saling membunuh atas nama perbedaan. Bertemu dengan ujung lainnya ketika ada orang yang membela atas nama kemanusiaan. Masalah LBGT tidak melulu dilihat dari kacamata azab dan segala hukuman Tuhan. Bagi saya, melakukan sosialisasi AIDS lebih nyata daripada berkampanye untuk menggayang kaum LGBT.
Kita juga tak tahu rahasia Tuhan mengapa diciptakan manusia yang selain berbeda etnis, agama, juga orientasi seksual yang berbeda, kalau pada akhirnya juga menuju sebuah jalan yang sama padaNya. Mempersaingkan religi, memaksakan kesamaan, menarik garis, menebar terror, kebencian mungkin menjadi makanan suplemen sebuah pembenaran.
Kalau sudah begini. Saya memang teringat quote Ahmad Wahib diatas. Haruskah aku memusuhi Bunda Dorce dan sampai hatikah Tuhan memasukan dia ke dalam api neraka ?
29 Comments
DV
April 12, 2013 at 2:58 pmReflektif, Mas.
Di sini saya biasa ngelihat mereka cipokan jg lama2 gakpapa asal semoga ga jd ikut2an hahahaha
Dilla
April 12, 2013 at 3:04 pmnggak respect sama kampanye membabi buta begitu, trus komunitas yang digandeng yang begitu pula. #muyer
Riant Raafi
April 12, 2013 at 3:04 pmMenurut saya apa yang dibilang mas broto tentang ‘kebencian’ Islam terhadap kaum LGBT bukanlah kebencian dalam hal kemanusiaan. Umat Islam ‘benci’ jika umat ini rusak oleh sebagian orang (liberalis) yang mendukung, mensosialisasikan, mengakomodir, kegiatan-kegiatan yang pada hakikatnya bukan mengangkat derajat manusia malah menjatuhkan kelembah keterpurukan. Dalam hal ini ialah dukungan liberalis pada kaum LGBT untuk ‘meminta haknya’ dalam berkehidupan.
Dukungan kaum liberalis kepada LGBT u/ tetap berada pasa posisinya, bahkan ‘mensosialisasikan’ kepada msy ini dari kacamata saya ialah pembiaran thdp kerusakan moral insan. Mereka seperti berteriak, “Saya dukung! Perjuangkan hak kalian! *toh saya gak LGBT, gpp deh kalian terus terjerumus.”
Nah, disini Uni Fahira bersikap menolak LGBT dalam hal kegiatan sosialisasinya, penyebaran brosur, buku, dll, dan hal tsb sering terjadi bukan kadang-kadang. (terlebih di pelosok)
Dalam Islam terdapat hadist “Sampaikan ilmu, walau satu ayat”, uni fahira sebagai muslimah menjalankannya yaitu menyampaikan larangan homoseksual dalam Islam, kalau sudah begini siapa yg salah? Uni fahira menjalankan agamanya, bukan salah beliau. Apa Islam salah? Tidak sama sekali, Islam tidak pernah salah.
Maka kami sebagai muslim berfungsi mengkoreksi kebiasaan hidup itu, krn LGBT bukan ‘gen’ tapi gaya hidup, sama spt gaya hidup boros, gaya hidup bermewah-mewahan, dan hal tsb bisa di STOP.
Wallahu’alam.
nicowijaya
April 12, 2013 at 3:11 pm“I believe it says all men are created equal.”
knatra
April 12, 2013 at 3:13 pm“Membentuk sebuah garis lingkaran dimana sisi ujungnya selalu ada orang saling membunuh atas nama perbedaan. Bertemu dengan ujung lainnya ketika ada orang yang membela atas nama kemanusiaan.”
Persis. Itulah yang terjadi selain dilema di dalam diri: dukung atau tidak. Akhirnya sampai ke konklusi untuk transgender (yg sudah konsisten di 1 gender saja) = no prob, tapi utk yang lain = IDGAF.
meong
April 12, 2013 at 4:10 pmUni fahira dlm kampanye-nya lebih banyak mudharat drpd maslahat krn menyebarkan stereotype ttg LGBT dan berpotensi menyuburkan prasangka.
Dampaknya? Hate crime.
Melakukan kekerasan thd pihak lain yg dilandasi ‘kebencian’ sama spt klu klux klan.
Ratna
April 12, 2013 at 4:23 pmYang saya pahami, Fahira Idris hanya bereaksi terhadap kampanye LGBT. Kalau dianalogikan, seperti ibu-ibu yang bereaksi saat ada kampanye ‘Merokok itu gak apa-apa kok, Nak… It is fine… Merokok itu sama saja dengan makan dan minum. Jangan takut merokok. Baik-baik aja kok…’ Bukan twit-twit yang menyuruh membenci LGBT dan memusuhi, namun untuk memproteksi karena bagaimanapun LGBT itu isme.
Bangsari
April 12, 2013 at 4:36 pmMenurut salah satu pemikir islam kontemporer, yang dikutuk dari peristiwa dibaliknya bumi pada jaman nabi Luth bukanlah homoseksualitas. Tapi kecabulan yang merajalela.
Dengan memahami bagaimana faktor genetik bekerja, saya setuju dengan penafsiran ini.
Chic
April 12, 2013 at 6:09 pmLGBT ini bener-bener ranah abu-abu. Banyak sikap dualisme di sini, terutama di keluarga-keluarga modern. Di satu sisi menerima, tidak keberatan dan bahkan berteman dengan para LGBT ini. Tapi di sisi lainnya, sangat menolak dan marah apabila ada anggota keluarga atau malah si anak sendiri yang kemudian menjadi LGBT. Kasarnya, gue ga masalah kok temenan sama LGBT selama bukan keluarga (anak) gue yang jadi kayak gitu.
Terlepas dari masalah agama soal LGBT, sikap dualisme kayak gini susah juga sih nyikapinnya.
Anggara
April 13, 2013 at 12:47 amagak susah emang kalau sudah sangkutannya sama keluarga sendiri. pasti ada perasaan penolakan. secara umum, mestinya sebagai pribadi mereka punya kedudukan yang sama. mungkin nggak sama kalau sangkutannya dengan membentuk “keluarga”. Setidaknya hukumnya masih bilang nggak boleh
Tondy
April 13, 2013 at 2:51 amKalau dari kacamata Islam, homoseksual jelas salah. Tak perlu diperdebatkan lagi. Pertama, Tuhan Maha Adil. Salah, ya dosa. Adil kan?
Kemudian dari kacamata sosial. Lakum Dinukum Waliadin (“Bagimu Agamamu – Bagiku Agamaku. Al Kafirun: 6”) ini sifatnya universal. Luas. Islam melarang umatnya melakukan seks sesama jenis. Habis perkara. Jika tetap melakukannya, ya biar Tuhan yg menilai si pelaku. bahkan, kaum lelaki saja diharamkan menunjukkan kemaluannya ke sesama lelaki. Dari Al Kafirun:6 tersebut, bisa digunakan untuk tindakan sosial sehari-hari. Bagiku, ini (ajaran) Agamaku, bagimu (itu ajaran) Agamamu. Jika memang ada teman yg demikian itu, ya itu urusan dia dengan keyakinannya dalam hal apapun.
Nah pertanyaannya, ada tidak Agama yg membolehkan hubungan seks sesama jenis?
Andrew Shu
April 13, 2013 at 3:58 amHelo, sudah lama juga tidak berkomunikasi. Hanya saja tulisan ini menggelitik saya untuk menyumbang pemikiran dan pendapat. Seperti halnya mas Iman, sayapun memiliki teman-teman yang berorientasi seperti demikian bahkan beberapa di antara teman-teman itu sangat akrab. Saya tinggal di negara, persisnya negara bagian California yang merupakan sumber dimulainya kerusakan di Amerika ini yang terus menyebar ke seluruh negara bagian lainnya. Sebelum akan mempengaruhi gaya hidup negara-negara lain. Agenda dari LGBT ini sangat meresahkan dan membahayakan generasi selanjutnya. Seperti dikatakan, “It goes too far, and it costs too much.” Dimana propaganda mereka sudah memasuki tahap brainwash terhadap generasi selanjutnya, dan campaign yang dilakukan bukan lagi sekedar ingin “diakui/recognized” tetapi lebih dari itu tindakan membangun supremasi yang mengatasi kaum heteroseksual. Kalendar kerja mereka sudah memasuki sekolah-sekolah publik dan mencekoki para pelajar dengan “sehatnya” gaya hidup mereka. Minggu lalu terjadi satu kasus (di antara kasus-kasun lainnya), sebuah toko bunga yang senantiasa melayani berbagai pelanggan termasuk seorang pelanggan gay diajukan ke pengadilan karena tidak bersedia mendekor acara pernikahan gay di Washington DC, sebelum-sebelumnya toko ini dengan tidak pernah menolak menjual bunga kepada setiap pelanggan terlepas dari batasan-batasan orientasinya. Hanya untuk yang satu ini sang pemilik toko tidak dapat melayani permintaan dekorasi pernikahan karena bertentang dengan keyakinan imannya untuk ikut juga merestui pernikahan sesama jenis dengan mengambil bagian dalam event tersebut. Serta merta dirinya diajukan ke pengadilan untuk dijadikan contoh bagi masyarakat umum. Dengan alasan melakukan diskriminasi, lucunya dalam pengajuan kasus tersebut tidak disebutkan counter action nya yaitu bagaimana dengan keyakinan seseorang dalam menjalankan “religious freedom” dan kebebasan untuk melayani atau tidak melayani seorang konsumen seperti yang sering dipasang pada banyak toko di Amerika ini, “We have rights to refuse to service to anyone.” Memang betul yang disampaikan oleh mas Iman, sering juga bahkan kaum liberal yang sering mengatakan kelompok ‘free-thinker” ini yang lebih giat membumbui propaganda kaum LGBT. Dengan “kesuksesan” LGBT menyodorkan “hak-hak persamaaan” melalui perangko yang bertuliskan “Equality Forever” juga disahkannya pernikahan sejenis yang makin banyak negara bagian sudah memasukkannya didalam hukum negara bagian, maka makin tidak karuan lah jadinya saat ini beberapa rancangan hukum diajukan di antaranya “consenting adult” yaitu usia yang diakui dewasa oleh hukum akan mengalami pembongkaran total yang membolehkan anak kecil sekalipun melakukan hubungan seks secara bebas dan sah secara hukum. Seorang pedophil/child molester boleh memiliki anak (baik secara adopsi atau kelahiran dari pasangannya) dan “gender confusion” yang sedang diajukan untuk menyatukan kamar mandi anak lelaki dan anak perempuan di sekolah-sekolah. Melihat dan mendengar ini membuat darah kita mendidih terlebih lagi bagi yang memiliki anak dan mengharapkan anak kita bisa hidup baik dan beriman. Dan kesetaraan (equality) itu merupakan mirage, kita tidak setara. Walau di mata Tuhan kita itu setara tetapi dalam kehidupan, kesetaraan itu tidak bisa dilakukan sempurna. Ada yang lahir denga kelengkapan organ tubuh ada yang tidak, ada yang lahir dengan rupa yang cantik ada yang kurang. Kesetaraan yang tidak setara ini juga bukan merupakan suatu alasan untuk menindas orang atau kelompok tertentu. Dan Tuhan tidak menciptakan “jenis ketiga” yaitu orientasi seks yang menyimpang.At some point we need to draw a line and say “enough is enough”.
fadhli
April 13, 2013 at 7:08 pmsaya setuju dgn Mas Iman bahwa concern ke AIDS lebih nyata daripada mengganyang LGBT. AIDS tak bisa diobati hingga sekarang tapi bisa dicegah, sedangkan untuk LGBT, ok kita semua tau bahwa orientasi mereka bertentangan dengan agama, bukan cuma Islam, tapi apakah kita harus mengucilkan mereka? bukankah tiap manusia harus jadi blessing (berkat) buat semua yang ada di dunia?
@teguhsano
April 14, 2013 at 7:14 pmYang saya suka dari tulisan dan komentar-komentar di atas, baik yang pro maupun kontra LGBT disampaikan dengan semangat menjauhi kebencian. Kita tak perlu bersepakat tentang hal yang berbeda cukup dengan menghargai perbedaan dan tetap terus berjalan bersama
Swastika Nohara
April 15, 2013 at 2:25 pmSaya punya sebuah skenario film dimana tokohnya adalah seorang gay ditulis sekitar 7 thn lalu. Sampai sekarang belum ada calon investor yang bersedia memfilmkan, malah terakhir kali ada yg mau, tapi tokoh utamanya jangan gay, minta diganti pria straight. Kalau Mas Iman dalam posisi saya, would you do this?
Ryan Perdana
April 16, 2013 at 3:50 pmJelas, masalah LGBT ini masalah sensitif. Karena ini terkait masalah orientasi seksual yang notabene ranah private masing-masing individu. Pun, hal tersebut akan terkait dengan orang-orang di sekitar kita yang kemungkinan termasuk ke dalam LGBT itu sendiri.
Saya rasa poinnya, kegiatan yang digagas salah satu tokoh wanita itu tak ada salahnya, sejauh itu dilakukan tanpa rasa benci. Kegiatan kampanye “membasmi” LGBT sebaiknya dilakukan dengan cara-cara santun, jika kegiatan yang dalam niatnya mengatasnamakan kasih sayang, tapi justru dilakukan dengan penuh kebencian, lantas apa bedanya dengan kaum LGBT yang mereka anggap punya agenda “menjerumuskan” kaum yang berorientasi normal.
Ini memang suatu bahasan yang bakal susah untuk menemukan titik temu. Ini masalah yang selalu mengundang perbedaan pendapat dan sudut pandang. Masalah yang akan selalu membawa agama ke dalamnya.
boyin
April 17, 2013 at 3:17 pmAlam ini seluas samudra dan langit, tidak memaknai apapun…merangkul apapun yang lewat segala dualisme (baik-buruk, dll). kita saja manusia yang terbatas pikirannya yang terdoktrin oleh persepsi yang sempit yang kita pikir benar….
Chandra Iman
May 14, 2013 at 5:01 pmsangat sulit antara mendukung dan menolak jika kita sudah mempunyai ikatan LGBT baik pertemanan dan sebagainya
jika memang LGBT merupakan penyakit… saya harap segera ada obatnya …
jika memang sudah seperti itu … aghh.. saya ga tahu harus menulis apa …
saya cuma berharap orang menyadari hidup cuma sekali dan semoga semua orang memiliki kasih untuk saling mencintai, mengutamakan damai daripada benci…
Rio Damar
June 6, 2013 at 11:18 amNama saya Rio Damar, teman-teman dekat memanggi saya Rio, dan saya adalah seorang gay. Saya mengetahui diri saya berbeda semenjak masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebelum meneruskan cerita, saya ingin meminta maaf jika ada bagian dalam penulisan ini yang membuat pembaca risih. Saya maklum. But I need you to stay with me. I need to tell my story so we can gain broader perspective in this issue. I’m a minority, after all, I don’t get many chances to tell my story. Saya hanya ingin berbagi pengalaman. Kebetulan topik yang diangkat dalam penulisan ini terkait dengan identitas saya, jadi saya berharap diizinkan untuk berbicara.
I am just trying to be honest and I’m hopeful that, in being honest, we can help others too.
Keberbedaan saya dari yang lain dapat saya rasakan ketika bertemu dengan para peserta lomba dari sekolah yang lain. Pada masa itu, saya berkegiatan sama seperti teman-teman saya, ikutan eksul basket dan pencak silat. Terkadang kami juga mengikuti beberapa kejuaraan yang memungkinkan untuk bertemu dengan beberapa siswa dari sekolah lain. Saat itu, saya sudah bisa menilai mana peserta yang ganteng dan mana yang biasa saja. Namun, saat itu saya sekadar melihat gantengnya saja, tidak ada yang lain. Namanya juga anak SD–yang penting adalah dapat mengikuti kegiatan yang saya sukai di luar kelas dan menghabiskan waktu dengan teman-teman berketertarikan minat olahraga yang sama. Ketika bersama mereka saya merasa menjadi bagian dari masyarakat, sesuatu yang lebih besar dari diri saya. I feel empowered. Rasanya gembira sekali. Ini mempengaruhi bagaimana saya membawa diri saya, melakukan aktivitas, dan menorehkan prestasi.
Selepas lulus SD dan masuk ke masa remaja, saya mulai punya pacar. Rasanya, kita bisa bersetuju jika ‘punya pacar’ adalah bagian dari masa remaja. Termasuk juga saya. Putus dengan yang satu, lalu menghabiskan waktu dengan teman-teman, nge-band hanya sekadar atas nama kecintaan terhadap musik tanpa mengetahui musik yang bagus itu seperti apa yang penting bisa manggung (haha), lalu datang ke acara-cara pensi (pentas seni) sekolah-sekolah lain, ngeceng sana, ngeceng sini, dan akhirnya dapat pacar lagi. Saat itu pacar saya perempuan. Namun, keberbedaan yang saya miliki semenjak SD tetap masih ada di dalam diri saya.
Lama-kelamaan keputusan untuk tetap berpacaran dengan wanita menyiksa batin saya. Ada pergolakan di dalam sana. Menjadi menyiksa karena saya harus berbohong–membohongi orang-orang yang saya sayangi: pacar, sahabat, keluarga; mereka adalah orang-orang yang penting buat saya. Dan seharusnya kita tidak membohongi orang-orang yang kita sayangi. Itu prinsipnya. Sederhana saja.
Living a life of a lie had been a constant struggle and–believe me–it’s not easy. Saya merasa jiwa saya nggak sehat kalau saya terus berbohong. Di samping itu, seiring dengan bertambahnya usia, saya juga mulai menyikapi hubungan pacaran lebih serius. Pacaran itu nggak hanya sekadar nonton bioskop dan ciuman di bioskop saja.
Masuk kuliah, pada awalnya, saya memutuskan untuk nggak pacaran dulu, deh. Saya memutuskan untuk menyibukkan diri dengan kegiatan lain. Kebetulan saya suka dengan kuliah saya. Saya ambil jurusan: Sastra Indonesia dan Komunikasi, berbarengan; dua jurusan, dua gelar sarjana, dari dua universitas yang berbeda.
Tadinya saya hanya ingin ambil Sastra Indonesia saja karena saya ingin memahami bangsa saya melalui bahasanya. Sayangnya, saat itu orangtua saya tidak mengizinkan jika hanya mengambil sastra. Katanya, “Anak laki-laki itu harusnya nggak ngambil sastra. Ambillah ilmu hukum atau teknik. Itu cocok buat anak laki-laki” Saya menerima saran dari mereka. Mereka punya hak untuk menjadi khawatir akan pilihan anak-anaknya, walaupun saya setengah bertanya, sejak kapan kajian ilmu dikasih jenis kelamin? Seperti WC. Saya mencintai orangtua saya.
Di awal masa perkuliahan, saya masih berpikir sama seperti orang-orang lain, yakni menjadi gay adalah gaya hidup dan bisa dihentikan. Namun, keberbedaan saya masih bisa saya rasakan. Saya masih bisa menentukan mana yang ganteng. Lalu muncul satu pertanyaan muncul di benak saya: jika menjadi gay adalah sebuah gaya hidup dan bisa dihentikan, mengapa sampai saat saya kuliah pun saya masih merasakan keberbedaan yang saya rasakan semenjak SD? Padahal, rentang waktu masa SD sampai kuliah tidaklah sebentar. Mengapa ini masih saja muncul? Merokok, boros, dan bermewah-mewah bisa dihentikan, bisa dilupakan. Tetapi mengapa menjadi gay tidak?
Saya ambil kuliah sastra di Depok. Waktu masih kuliah, mencoba menulis di media sebagai upaya menambah uang saku. Lalu, selepas kuliah memberanikan diri mendaftar bekerja sebagai wartawan. Alasannya satu: saya pengen bantu orang.
Saya percaya bahwa manusia bisa menentukan pilihan yang lebih baik apabila ia memiliki akses terhadap informasi. That is how I found a bigger purpose as writer (rather than just producing work and meeting the deadline).
Kemudian saya mulai membaca penelitian-penelitian mengenai LGBT (Lesbian, Gay. Biseksual, dan Transgender), saya mulai mengambil mata kuliah yang berkaitan dengan kajian masyarakat dan gender. Dari satu penelitian ke penlitian lain, saya mulai menemukan bahwa gay bukanlah sebuah kelainan, atau hal yang harus disembuhkan. It part of their genes. Some people just born with the qualities. Inilah yang saya temukan. Dari situ saya mulai menghargai orang-orang yang terlahir berbeda. When you know better, you’ll do better.
Lalu saya mulai belajar mengenai diri saya dan mulai memahami alasan mengapa keberbedaan yang saya alami semenjak SD masih saja muncul dalam batin saya. Saya juga belajar mengenai prinsip keberbedaan dalam masyarakat. Indonesia adalah negara yang unik. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Di sini, saya memahami bahwa Bhineka Tunggal Ika ternyata tidak hanya menyoal suku, agama, dan ras saja. Seseorang terlahir gay sama seperti seseorang terlahir sebagai Jawa, Padang, atau Sunda. Keberbedaan itu indah.
Sayangnya, keberbedaan membuat manusia tidak nyaman. Dunia akan jauh lebih nyaman jika semuanya seragam, bukan? Tetapi dengan keseragaman, tidak akan ada yang dapat didiskusikan. Tidak ada keragaman perspektif yang sehat. Tidak akan ada dinamika. Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang berdiskusi. Dari diskusi, sebuah bangsa dapat berkembang, berinovasi, dan menyesuaikan peradabannya dengan konteks zaman.
Lalu ada pertanyaan lain yang muncul dalam benak saya: Mampukah masyarakat Indonesia berdiskusi?
Berdiskusi bukanlah melulu tentang benar atau salah, apalagi menang dan kalah. Semenjak saya menerima diri saya dan mulai membuka identitas saya di masyarakat, saya menemukan beberapa kejadian menarik. Melalui akun twitter saya di @Rio_damar, saya berusaha menjawab banyak pertanyaan mengenai isu LGBT. Saya menghargai mereka yang bertanya mengenai isu ini. And, My Friends, asking about gay doesn’t make you gay. Bertanya artinya peduli.
Yang saya sedihkan ketika yang muncul bukanlah pertanyaan, melainkan penghakiman. Misalnya, ketika berbicara mengenai isu gay, tiba-tiba isu agama selalu muncul dan manusia tiba-tiba menjadi tuhan. Dengan ketuhanannya, manusia bisa bilang mana yang salah, mana yang benar, mana yang masuk surga, dan mana yang masuk neraka. Saya tidak mengatakan Islam itu salah. Yang saya sedihkan bagaimana orang menyikapi pemahamannya. Manusia hidup punya konteks dan proporsi. Melalui konteks, kita menentukan peran kita sebagai apa? Dari peran tersebutlah kita memiliki proporsinya masing-masing. Apakah peran kita sebagai seorang ibu, sebagai seorang warga Negara yang taat pajak, atau sebagai seorang negarawan? Manusia punya proporsi, begitu pula dengan Tuhan. Tujuan diskusi adalah untuk bertukar pikiran, melatih manusia untuk dapat mendengarkan.
Terkadang kita suka sibuk lihat kanan-kiri sampai-sampai lupa lihat ke depan. Saya bukanlah seorang ahli agama, atau ahli yang memiliki gelar Ph.d di bidang kajian masyarakat. Saya hanyalah seseorang yang dilahirkan berbeda dan ingin hidup di masyarakat yang inklusif dan berpikiran terbuka. Saya hanya berbicara mengenai apa yang saya tahu saja.
Indonesia tidak harus menjadi Amerika atau kebarat-baratan untuk bisa besar. Kita berhak untuk menemukan jalannya sendiri menuju bangsa yang besar. Caranya cuman kita sendiri yang tahu dan butuh semua semua lapisan masyarakatnya untuk menuju ke sana. Yes! People from all walk of lives! The tide of history only moves forward when everybody is fully visible, kan? Si Jawa, si Sunda, si Cina, si Islam, si Kristen, si Hindu, dan si Budha; lalu ada si janda, si duda, si gay, si banci, si macho, si cantik, dan si ganteng harus saling menerima keberadaan masing-masing. Kita bisa bersepakat untuk menjadi berbeda untuk tumbuh menjadi lebih kaya dan besar. Bersepakat untuk berbeda.
Wah, kayaknya saya sudah menulis terlalu panjang, ya? Have a good day, Teman!
Salam,
Rio Damar
c
June 18, 2013 at 3:27 pmkembali ke orangnya masing-masing lagi sih harusnya, memang hal itu tidak baik dan dilarang.
Tetapi membenci orang-orang LGBT juga gak akan menyelesaikan masalah sih^^
Archie
July 17, 2013 at 1:54 pmSetelah membaca tulisan ini, kok saya jadi kepikiran….gimana kalau saya ada diposisi mereka? saya analogikan saya adalah seseorang yang hanya bisa makan nasi, gak bisa makan makanan lain, sedangkan nasi dianggap haram oleh agama dan ilegal oleh negara. Tentu bingungnya setengah mati. Hal tsb kan merupukan salah satu kebutuhan mendasar dalam hidup.
Sebagai seorang muslim, saya pasti juga menganggap perbuatan itu salah. Tapi menurut saya, saya tidak berhak mencap mereka bahwa mereka pasti masuk neraka. Karena dalam Islam sendiri dikenal bahwa Allah adalah dzat yang membolak-balikkan hati manusia. Siapa tahu kelak Allah berkenan membalik hati mereka, atau malah hati saya.
Mungkin yang bisa saya tawarkan saat ini adalah saling menghormati. Kita menghormati pilihan hidup mereka, yah mungkin sebatas mengingatkan dengan dalil agama (karena saya sendiri belum tahu obat atau solusi untuk menjadi straight). Di sisi lain, kaum LGBT juga seharusnya menghormati orang2 yang straight dengan tidak mempengaruhi ataupun melakukan tindakan persuasif lainnya pada seseorang untuk masuk dalam komunitas mereka. Mungkin hal ini berlaku juga dalam kehidupan beragama, Untukku agamaku, untukmu agamamu.
Saya punya 3 orang teman gay dan fine2 saja menurut saya.
Mels
July 21, 2013 at 4:15 pmsaya yakin tidak ada satupun ajaran agama yang membenarkan LGBT…tidak pula di agama saya, karena Tuhan sangat membenci LGBT.
Apakah LGBT dosa ? menurut saya sudah pasti iya, merujuk pada kitab suci agama saya.
tapi…soal dosa dan hukuman , biarlah menjadi urusan antara orang menjalannyai dan Tuhan saja, hanya Tuhan yang berhak menghukum atau tidak.
Kita hanya bisa mendoakan agar Tuhan kembali meluruskan jalan mereka. Karena Tuhan menginginkan kita berbuat KASIH …yang semoga hanya di pikiran saya saja…bahwa KASIH di negri kita sudah mulai terkikis dan diganti dengan kebencian dan kekerasan ( untuk kepentingan segelintir orang )
Kal
August 7, 2013 at 1:27 pmMengenai LGBT dan diskriminasi lainnya, saya setuju dengan kata-kata Pandji, “mencoba mamahami sebelum membenci”. Coba tanyakan dulu kepada diri sendiri, sejauh apa saya sudah memahami mereka, sampai saya bisa bersikap seperti ini kepada mereka?
Robin Ticoalu
August 13, 2013 at 7:20 pmLepas dari paparan mas Iman yg asli keren, gue tergugah sama kisah Rio Damar. Rasanya ngga berlebihan kalo gue bilang kisah mas Rio sbg sebuah pencerahan-setidaknya buat gue. Emang susah ‘membelokan paradigma’ yg terlanjur terbentuk. Sama kata Stephen Covey: di mana kita berdiri, tergantung di mana kita duduk. Tindakan kita tergantung bagaimana gambaran di kepala kita dibentuk selama setahun, atau mungkin puluhan tahun. Buat para non gay, butuh waktu dan pengembaraan panjang untuk menerima kenyataan bahwa gay bukanlah sebuah kelainan, hingga dengan keyakinan dan kesadaran, tulus melepas kacamata penghakiman, dan menggantinya dengan kacamata anugrah
Di sisi lain, dibutuhkan juga sebuah aksi para gay untuk dengan berani dan tidak lagi sembunyi-sembunyi, menyatakan eksistensinya. No risk, no gain.
ah, 42 taon gue hidup, belom pernah ngeliat pelangi cuma warna biru…makanya gue masih suka liat pelangi sampe sekarang….
Veron
August 14, 2013 at 6:21 amSetuju dgn Riant Raafi, sebagai Muslim patokan cuma 2 sesuai tuntunan Rasulullah : Alqur’an yg dijaga kesuciannya oleh Allah SWT sampai hari kiamat, yg tidak akan pernah bisa berubah dari masa ke masa, dirubah-rubah, dimusnahkan, dibuat oleh siapapun dan oleh apapun selain-Nya dan yg ke-2 AlHadist.
Kalau bercerita, curhat, pengalaman hidup, perasaan kita terhadap saudara-saudara “LGBT”. Saya pribadi tidak pernah memiliki niat atau apapun membenci, menghujat, mencela mereka, tapi yang saya benci, hujat, mencela mereka karena perbuatannya saja. Bukan orangnya tapi perbuatannya. Saya punya bahkan banyak teman-teman, saudara yang “LGBT” dan saya katakan saya tidak pernah membenci kalian, yang saya benci ketika kalian melakukan perbuatan yg dilarang agama, kalau kalian lagi bercerita, bercanda, berjalan dsb masa saya harus membenci dsb, tapi ketika kalian mengkampanyekan, membuat seminar tentang hal yang dilarang agama itu yg saya benci..
orbaSHIT
August 14, 2013 at 10:41 am@veron waduh sama aja boong dong ente kl gitu masbroooo…simplenya mungkin kek gini : gw kgk benci si “x” tp gw benci kl si “x” beriteraksi,mengeluarkan ide atau bertingkah laku tidak sesuai dengan apa keinginan gw atau sesuai dengan apa yg gw yakini 😛
Arya
January 18, 2015 at 2:03 pmKepada Yth. Mas Rio Damar
Apakah anda juga sudah “coming out” mengaku bahwa anda gay kepada keluarga (Ayah, Ibu, Kakak/Adik) anda? Bagaimana tanggapan mereka? Mendukung atau tidak?
Apakah anda seorang Muslim? Jika “Ya”, apakah anda tau bahwa ajaran Islam melarang dengan tegas perbuatan (ingat kata kuncinya “perbuatan”) liwath atau homoseksual?
Terima kasih.
Arya.
MENCOBA MEMAHAMI SEBELUM MEMBENCI – daydreamer
January 28, 2016 at 6:53 pm[…] http://blog.imanbrotoseno.com/haruskah-aku-memusuhi-mereka/ […]
ibas
October 10, 2023 at 10:58 amgood article, thank you