Demokrasi yang kita ingini

“ Demokrasi dapat berjalan baik apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin pemimpin politik “ ( Bung Hatta ‘ Demokrasi Kita – 1966 )

Atas nama demokrasi kita bertengkar. DPR terbelah dengan versi Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. Partai partai politik masih belum selesai merumuskan susunan alat kelengkapan Dewan. Koalisi Merah Putih yang mendapat justifikasi UU MD3 yang memperbolehkan menguasai parlemen berdasarkan sistem paket, merasa tak perlu mengajak unsur Koalisi Indonesia Hebat. Sementara Koalisi partai partai pendukung Kabinet Jokowi – JK, merasa tidak adil dengan tidak ada perwakilan koalisi mereka dalam pimpinan Dewan. Bukankah mereka memiliki jumlah suara yang tidak kecil.

Ini membuat bukan saja anggota DPR, staff ahli dan sekretaris belum menerima gaji. Tetapi dalam konteks yang lebih luas. Para politisi melupakan bahwa rakyat di luar sana memperhatikan dan geleng geleng melihat baku hantam ini. Parlemen kita lupa bahwa kepentingan rakyat lah diatas segala-galanya. Res Republica. Demi kepentingan umum.

Lalu atas nama demokrasi juga kita bertengkar tentang pencantuman nama agama dalam kolom di KTP. Apakah ini juga hak warga dalam demokrasi ? Mereka yang tidak setuju dengan pengosongan agamanya dalam kolom agama menuding ini bagian sistematis untuk menghapuskan KeTuhanan dalam ruang hajat hidup warga negara. Demokrasi yang kebablasan. Apa kita mau dibawa menjadi Atheis ?

Sementara yang mendukung hak tidak mencantumkan nama agama, mengatakan apa urgensinya mencantumkan agama. Hak asasi kita untuk memilih agama masing masing. Praktek Islam KTP menjadi stigma yang menunjukan, agama hanya menjadi stempel, bukan nafas hidup mereka sendiri. Bahkan dalam UU No 24 tahun 2013 pasal 64 ayat 5 memang disebutkan penganut Kepercayaan boleh saja tidak mencantumkan dalam kolom agama.
Negara ternyata memberi kebebasan kepada rakyatnya untuk menentukan isi kolom agama dalam KTP. Bukan harus mengacu pada 6 agama yang dianggap resmi.

Kini kita tergagap gagap atas nama demokrasi. Bingung mana yang menjadi hak dan mana yang menjadi kewajiban.

Yonki Karman – pengajar telogi di Jakarta, mengatakan Demokrasi kita sedang dalam persimpangan jalan. Demokrasi sedang dijadikan sekedar alat teknis meraih kekuasaan. Demokrasi hendak dibuat mandul, tidak melahirkan kaum demokrat, tapi melahirkan penguasa. Demokrasi hendak dibuat tunduk kepada kehendak yang berkuasa, bukan kehendak rakyat.

Sambil menunggu kabar baik tentang rukunnya DPR. Saya berharap kolom agama dalam KTP akan menjadi stempel pass untuk bisa melewati pintu gerbang Surga. Jika merujuk kepada Santo Petrus sebagai penjaga pintu. “ Gerbang ini untuk umat Kristen. Gerbang sana untuk umat Islam “
Umat kepercayaan ? Santo Petrus buru buru masuk, menanyakan dulu kepada petugas di dalam.

You Might Also Like

3 Comments

  • fotodeka
    November 9, 2014 at 8:23 pm

    bagaimana orang yang beragama, sebut saja beragama Islam. Tetapi dengan getolnya tidak ingin agamanya ada di KTP, pripun kui cak? konteksnya saya menganggap dia tidak bangga dengan Agamane.
    Nah sedangkan sing pancen belum diakui oleh negara dikosongkan ya rapopo, dan ndak butuh dimasukkan kedalam salah satu agama. Berdasarkan UU yang ada lho.

  • OrbaFuckinShit
    November 10, 2014 at 11:09 am

    marx once said “….religion is an opiate for the masses…”, Nietzsche once said “…..god is dead…” 😛

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:41 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*