Browsing Category

PERIKLANAN

MBAH MARIJAN JUGA MANUSIA

Ngger Asih anakku,
Aku masih lelah setelah syuting kemarin, lha iyo…rupanya sebuah produsen minuman serbuk energi mencium suatu potensi yang lain, menjadikan diriku bintang iklan untuk digabungkan bersama icon lainnya, petinju juara dunia Chris John. Rupa rupanya pemilik perusahaan Sido Muncul yang memproduksi Kuku Bima Energi melihat suatu peluang untuk mendongkrak volume penjualannya. Ia bisa dikatakan secara tidak langsung mengambil langkah pertama dari konsep advertising yang diajarkan Neil French, yakni Get Noticed. Dan ini nyata nyata berhasil, untuk attrack attention. Bagaimana tidak, ketokohan diriku dalam iklan ini membuat efek baru dalam sejarah iklan minuman energi. Orang menjadi memperhatikan iklan ini, karena selama ini minuman energi selalu diasosiasikan dengan lelaki macho, jagoan gagah perkasa dan kalau bisa aspirasional wajahnya.

Ini menunjukan pernyataan positioning yang berani. Karena positioning merupakan alasan keberadaan sebuah produk. Kalau sesuatu produk tidak memiliki ciri ciri pembeda dengan produk lain maka tak selayaknya ada di pasar. Sementara menurut pakar pemasaran Phillip Kotler, positioning merupakan tindakan untuk merancang apa yang ditawarkan perusahaan berikut citra yang mereka harapkan, sehingga pasar dapat memahami. Wong aku, tua renta yang berjalan saja susah, wajah ndeso dengan profesinya berbau klenik sebagai juru kunci Gunung Merapi. Disini kejelian perusahaan jamu nasional ini, aku diposisikan sebagai lelaki pemberani, ya lelaki yang tidak mau turun dari gunung Merapi, walaupun dengan ancaman bisa meletus setiap saat !

Bagaimana dengan Chris John yang berlari lari dengan stamina tinggi menuju puncak gunung berapi ? Ia juga lelaki pemberani karena memilih berlatih tinju di tempat yang sangat berbahaya. Lalu apa hubungan keduanya ? jelas tidak ada. Jadi kalau ada yang bilang bahwa iklan ini tidak masuk akal, logika nggak nyambung. Memang benar, tapi siapa peduli. Dunia advertising tidak memerlukan jawaban itu le… Jim Riswold, executive creative director Wieden & Kennedy menerangkan dengan gamblang “ We live in illogical world ! when you can make an emotional connection with somebody, its far stronger bond than you can get by creating a logical bond with somebody. I don’t know who gets married for logical reasons. “

Jelas mendaftarkan iklan ini ke Citra Pariwara hanya membuang buang uang pendaftaran saja. Sudah pasti kalah. Tetapi bagi seorang Irwan Hidayat, pemilik imperium industri jamu Sido Muncul, mendongkrak penjualan hingga 80 % setelah iklan ini ditayangkan di televisi adalah jauh lebih penting. Klien happy dan biro iklan pun juga happy karena terus dipercaya memegang produk ini. Bagaimana dengan sutradaranya ? tentu saja happy karena aku denger dia di -calling lagi untuk membuat seri berikutnya dari iklan Kuku Bima Energi.

Tadinya aku tidak mau karena rasanya bagaimana kalau dalam situasi bencana ini kok terkesan aku mengambil kesempatan. Tapi setelah kupikir pikir , dari honor seratus lima puluh juta itu bisa aku akan bagikan rata seratus juta buat masyarakat di sini, disamping juga sebagai tambahan pembangunan mesjid di seberang rumah kita. Ya setidaknya, ini bisa membawa manfaat yang besar bagi masyarakat sekitarnya. Yo wis berita dari aku, bagaimana dengan pekerjaanmu di kampus ? ati ati, mugi mugi Gusti Allah maringi urip sing gak rekoso. Pangestu seko bapakmu.
Pokoke Roso !

Marijan

ANTARA EKSPETASI DAN REALITA

Neil French, worldwide creative director dari Ogilvy & Mather pernah menerangkan apa yang disebut 3 langkah ke surga ( Three Steps to Heaven )….” I always say that advertising is a bit like trying to get laid in singles’s bar. You wake up one evening after your little nap for the day, and you need to gou out. First you’ve got to be noticed. Secondly, you’ve got to get their interest. And thirdly, you might get laid. So get noticed, get their interest, Get laid. Now you can’t get to number two without getting past number one, and you certainly can’t get to number three without getting past number two…”
Saya melihat getting noticed adalah elemen utama, begitu anda melalui langkah ini, dengan mudahnya anda akan mendapatkan getting interested, bahkan getting laid. Neill French lebih lanjut mengkhawatirkan bahwa mencoba membuat getting noticed akan berakibat banyaknya kepentingan yang harus diakomodasi,..” ..as they usuallya are, with far too many bits and pieces thet they want to put in.

Getting noticed adalah prioritas utama dalam membuat iklan Televisi Telkomsel Corporate dengan durasi 60 seconds. Ini yang mau diambil oleh teman teman creative muda dari Biro Iklan yang menghire saya. Namun memang tidak semudah itu dalam perjalanannya, Art director menjadi tidak begitu percaya diri, dengan begitu banyaknya references yang terus bertambah dari hari ke hari mulai dari looks, cutting, colors, typography, effects sampai technique yang mau di capai. Sementara copy writer yang mungkin merasa cukup mempunyai wawasan tentang dunia film karena sering menonton bioskop, banyak berbicara tentang soul of the filming, characters serta menginginkan jalan cerita yang story telling tetapi tidak ingin adanya ‘ cut ‘ antara transisi scene. Padahal antara ‘ storty telling ad ‘ dengan ‘ no cut ala gaya motion control approach ‘adalah suatu yang berbeda. Story telling membutuhkan cutaways untuk menambal emosi cerita atau karakter, sementara dalam gaya transisi tanpa cut lebih masuk ke ranah teknik sinematografi yang tentu saja intensitas karakter dan emosi menjadi tidak dalam. But you cant have it all !.

Semua persis yang dirasakan Neill French dalam pengalamannya,..” They also sent me example of everyone else’ s ads in the market, as well as their own reel, and that was very drepressing. All their ads, with which they’re extremely pleased, look absolutely identical to everyone else’s. And the reason they’re so pleased with them is because they’ve got everything in them that they think ought to be in them. They’ve completely forgotten that the consumers is going to ignore them, or be confused…”. Pada tahun 1996, sewaktu masih menjadi produser di Katena Films, saya pernah bekerja membuat iklan permen Coffe Club, dengan salah satu pimpinan biro iklan ini yang sekarang tidak mengurusi kreatif lagi. Tentu saja pengalaman yang berbeda, karena belum jamannya internet, DVD dan masih sedikit sumber referensi , membuat pekerja kreative menitikberatkan konsep cerita, dan tentu saja bisa menjadi lebih focus karena tidak bias dengan hal hal lain. Ini tentu tidak bisa disalahkan karena dengan perkembangan jaman sekarang, para manusia creative agency bisa mengakses dengan mudahnya referensi iklan, film, fashion, gaya hidup, yang disatu pihak bisa memberikan pencerahan tetapi disisi lain membuat bingung sendiri, yang ujung ujungnya menjadi nggak PeDe, pendekatan mana yang mau diambil dalam sebuah iklan. Pengaruh ini pula membuat ekspetasi iklan yang akan digarapnya menjadi meluas melewati batas budgeting yang di alokasikan klien. Cilakanya, produser agency juga tidak mempunyai gambaran mengenai proses produksi film serta pemahaman budgeting produksi yang ideal.

Tidak saja itu, koordinasi yang berantakan dalam pemilihan lokasi, membuat saat eksekusi terutama di airport membuat mimpi buruk bagi saya. Bahkan ( mungkin karena masalah budgeting juga ) scene di gunung semula direncanakan hanya menggunakan format 16 mm, sementara scene lainnya tetap memakai format 35mm, komposisi against blue screen dengan background pegunungan dari stock footage. Terus terang pikiran saja menjadi blur nggak keruan memikirkan bagaimana menyatukan semua itu. Akhirnya dengan perdebatan dan perjuangan keras, saya bisa memaksakan untuk mengembalikan ke format 35 mm dan syuting di lokasi asli di puncak gunung Tangkuban Perahu. Walau dengan konsekuensi saya menanggung bahan baku film dari kocek sendiri. Ditambah sewaktu syuting di gunung, tidak seorangpun wakil dari production house entah producer atau unit manager yang datang menemani.

Sementara si produser pelaksana, mempunyai problem dalam mengawasi jalannya produksi, kadang kadang ia terlihat menyendiri dan berbicara berbisik bisik di telpon. Sepertinya ia mempunyai masalah personal yang cukup berat sehingga tidak bisa berkonsentrasi penuh. Secara tidak sengaja saya melihat foto bayi di screen saver handphone, dan sambil tertawa ia menjelaskan bahwa ini bayinya. Saya tidak mau berpikir aneh aneh walau saya tahu dia tidak bersuami, toh jaman ini dengan alasan kepraktisan, sudah banyak wanita karier yang memilih menjadi single parent. Namun pada akhirnya, film iklan ini juga selesai juga, dan saya merasa puas dengan hasilnya. Saya sendiri tidak berani menduga duga apakah agency ini merasa iklan ini cukup terdelivery dengan baik atau malahan buruk. Tapi justru sejak itu saya banyak mendapat telpon dari teman creative dari biro iklan lain yang mengatakan bahwa iklan tersebut sangat baik eksekusi maupun konsepnya. Cocok menggambarkan jiwa pioneer dan pencapaian teknologi tinggi perusahaan sekaliber Telkomsel. Yang jelas, saya banyak mendapat order pembuatan iklan lagi.

Suatu hari ketika saya sedang memilah milah story board yang akan saya kerjakan, tiba tiba mata tertumbu pada sebuah berita infotainment di TV. Ternyata si produser pelaksana saya sedang menggelar konperensi pers, mengatakan bahwa ia sudah mempunyai anak dan menuntut pengakuan penuh dari bapaknya, seorang sutradara film layar lebar ternama yang banyak mendapat penghargaan di festival festival film.
Oalah Gusti !!!

PINASTHIKA AWARD = TETAP SEMANGAT

Menjadi ketua APFII memang direpotkan dengan undangan undangan sana sini yang benar benar menyita waktu saya. Bagaimana tidak, berarti saya harus mulai membiasakan diri dengan mengatur waktu disela sela jadwal produksi dan kehidupan sosial lainnya. Tetapi ada hal hal yang ternyata bisa memberikan pencerahan kalau kita melihat cerita saya dibawah ini. Pertama, suatu kali saya diminta datang oleh suatu Yayasan Mitra Netra, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak untuk kemajuan komunitas masyarakat tuna netra. Mereka meminta saya memberikan sebuah ‘ workshop ‘ setengah hari mengenai proses produksi pembuatan sebuah film. Ternyata mereka ingin membuat sebuah video profile yang diproduksi secara swadaya sendiri mengenai Yayasan Mitra Netra, guna kepentingan para donatur donatur mereka. Yang membuat saya takjub,karena saya berbicara didepan pengurus Yayasan yang hampir semuanya penyandang tuna netra. Tetapi ada yang lebih dari itu, bahwa mereka secara bergotong royong akan membuat scenario dan salah seorang dari mereka akan menyutradarai sendiri ! Mungkin hanya kameramen dan editor yang akan dilakukan oleh manusia sehat.

Cerita berikutnya adalah ketika saya diminta menjadi pembicara dan memberikan saran saran terhadap para sutradara muda dalam ajang Pinasthika Award di Jogja. Bayangan saya mengenai sutradara Jakarta yang penuh dengan gaya serta pernak pernik gadget mulai Mac Powerbook, Ipod dan berbagai ‘ tool of presentation ‘ mendadak sirna. Saya melihat sosok sederhana, pemalu, dan agak sedikit tidak pede ketika harus mempresentasikan hasil karyanya. Namun saya menemukan wajah wajah yang jujur, berdedikasi terhadap pekerjaannya serta daya kreatif yang luar biasa. Tanpa harus memperbandingkan kualitas serta medium format yang dipakainya, saya melihat karya mereka yang sangat kuat dan simple.

Dari dua cerita diatas ada yang bisa diambil sebagai pencerahan bagi kehidupan produksi film iklan saat ini, yakni bagaimana memelihara semangat menghasilkan sebuah karya yang baik, baik secara kreatif dan secara komunikasi pemasaran produk atau pesan yang ingin dijual. Kedua kasus diatas bisa menggambarkan bahwa passion dan komitmen dari seluruh elemen pekerja filmnya akan menghasilkan karya yang apik. Ada yang bilang film iklan itu elitis, karenanya selalu didukung oleh infrastruktur dana dan peralatan yang up to date. Sehingga kadang kita terjebak oleh paradigma bahwa sebuah film iklan berarti harus mahal ( termasuk harus melibatkan padat karya tenaga kerja ). Begitu ruang gerak kita dibatasi oleh budgeting yang pas pasan, otak dan daya nalar kita mendadak menjadi buntu. Seorang sutradara bisa kehilangan moodnya ketika diminta mengerjakan sebuah board yang disyuting dengan video., atau seorang kameramen bisa ngambek tidak karuan begitu tahu jumlah lightingman dikurangi. Padahal anak anak Jogja ini,bisa menghasilkan sebuah shoot yang dramatis hanya berbekal sebuah lampu sorot yang biasa digunakan di taman taman, lalu sutradara tuna netra ini bisa membayangkan sebuah adegan dengan rinci hanya dengan menceritakan point point tujuan shootnya.

Lebih dari itu semangat ‘ team work ‘ jelas tergambar dari dua cerita diatas. Ketika diminta menceritakan proses produksinya, si anak anak Jogja ini bisa merangkap setiap lini departemen yang dibutuhkan, tentu saja ini karena budgeting yang terbatas, atau mensiasati sebuah shoot yang sederhana dan simple karena keterbatasan shooting equipment. Memang pada akhirnya kita bisa berkata, bahwa semua itu tergantung dari bagaimana agency board itu tergambar . Kalau klien akan memahami konsekuensi biaya sebuah story board, Client will pay at cost anyway dengan kata lain. Sehingga ujung ujung nya membuat kita malas dalam mencapai puncak kreativitas, lalu semangat dan passion akan selalu dihargai dengan nilai uang.

Sudah saatnya kita membuang jauh jauh stigma yang selalu kita ucapkan ke klien, you pay nuts you get monkey. Saya hanya berharap kelak suatu saat ketika anak anak Jogja itu hijrah ke Jakarta, mereka masih membawa semangat itu. Mudah mudahan

KEBANGGAAN PROFESI

Hani Saputra, teman saya yang sudah lama sekali tak pernah bertemu karena kini sibuk dengan layar lebarnya, seperti ‘ Virgin ‘ dan ‘ Heart ‘, konon dianggap sebagai sutradara kejam di kalangan pekerja film. Saya juga tidak begitu paham mengapa ia mendapat stigma kejam, mungkin karena ia begitu perfeksionis dalam melihat shoot shootnya. Lalu apa hubungannya dengan isi tulisan ini ? Begini ceritanya, beberapa tahun yang lalu saya mendapat tawaran mengerjakan sebuah sinetron FTV yang tentu saja sangat menarik, karena isi ceritanya juga bisa mengurangi kejenuhan mengerjakan iklan iklan melulu. Kemudian saya meminta kepada produser agar setidaknya dapat membawa beberapa crew inti saya yang biasa bekerja sama di iklan, seperti DOP dan art director, sisanya saya tidak berkeberatan dengan kombinasi crew yang biasa di sinetron.

Permasalahannya tidak berhenti disini saja, lama kelamaan dalam proses shooting saya melihat ketimpangan yang sangat jauh dari crew iklan dan crew sinetron. Dari segi kecepatan pergerakan / speed, sampai dari pemahaman estetika gambar, dan yang paling menyebalkan adalah disiplin waktu. Kadang seorang VTR recorder bisa datang jam 10 pagi sementara call time tetap jam 6 pagi, atau seorang 1st assistant director bisa baru datang setelah makan siang, dengan alasan terlalu capai. Rupa rupanya mereka tidak terbiasa dengan cara kerja saya yang sangat cepat, detail dan disiplin dengan breakdown shoot. Mereka merasa sangat tertekan dan mengalami pressure yang sangat tinggi, misalnya untuk pindah dari lokasi satu ke lokasi lain. Walhasil semakin lama mereka semakin kedodoran dan ketinggalan speed. Tak lama kemudian, saya mendengar gossip di kalangan pekerja sinetron,..” Ada seorang sutradara baru sinetron, dia lebih kejam dari Hani Saputra ! “

Dari cerita diatas, tentu saja saya memiliki pembelaan, karena apa yang saya lakukan merupakan refleksi yang biasa dikerjakan dalam sebuah produksi film iklan. Kita terbiasa dengan dead line waktu, pressure yang tinggi, serta kesempurnaan visual sebuah produk jualan dari klien. Crew iklan sudah jamak dengan wrap tengah malam dan sudah berada di lokasi pada jam 6 pagi esok harinya. Tentu saja seorang sutaradara iklan tidak akan menerima begitu saja barang barang props milik pemilik rumah seperti perabotan meja kursi tanpa memperhatikan dengan estetika gambar. Tak heran sinetron sinetron yang ada dari satu seri ke seri lainnya, selalu menampilkan kesan rumah yang sama, dengan perabotan yang sama pula, walaupun itu scene mengenai perkantoran tetapi suasana ambience yang ditangkap tetap saja sebuah rumah.

Lalu apakah itu salah ? tentu saja tidak, kita harus memiliki kebanggaan atas profesi pekerja film iklan yang mana mempunyai standard tinggi dalam pelaksanaan sebuah produksi. Manajemen produksi iklan disatu sisi telah melahirkan kualitas pekerja yang tangguh dan mumpuni. Tak heran jika dahulu sewaktu masih di bekerja di iklan, produser Mira Lesmana juga mengajak teman teman sekolahnya di IKJ seperti Garin Nugroho, Riri Riza, Enison Sinaro dan lain lain untuk belajar mengenai Manajemen produksi dan pemahaman teknologi film di Katena Films. Tak heran , walau jenis pekerjaan film iklan tidak terlalu prestige dibanding film layar lebar atau music clip sekalipun, namun pekerja iklan diakui memiliki standar kualitas yang tinggi. Ini tercermin dari upah kerja yang relatif lebih tinggi diantara pekerja film lainnya. Namun masih banyak dari kita semua yang tidak menghargai kebanggaan profesi yang kita miliki ini, dan merusaknya dengan budaya aji mumpung, tidak disiplin dan korupsi. Saya merasa trenyuh melihat crew yang baru selesai syuting jam 4 pagi, tetapi masih saja mengambil pekerjaan lain yang call timenya jam 6 pagi. Bagaimana ia bisa bekerja dengan segar dan maksimal jika ia sendiri tidak beristirahat tidur yang cukup ? art director yang jarang datang menghadiri pre production, hanya mengirim assistant atau prop masternya mengantar disain gambarnya. Lalu crew datang ke lokasi syuting dengan mengenakan sandal jepit , padahal potensi kecelakaan karena peralatan berat bisa saja terjadi. Juga sutradara atau DOP yang makan minum sambil merokok disekitar area kamera. Bisa dibayangkan jika abu rokok masuk ke dalam gate magazine, tentu akan merugikan sebuah proses produksi secara keseluruhan.

Industri film iklan modern di Indonesi sudah berjalan selama lebih dari 15 tahun, dan muka muka baru mulai bermunculan. Janganlah proses regenerasi ini dirusak dengan memberi contoh racun kepada mereka mereka yang ingin bereksistensi di dunia film iklan. Kebanggaan profesi wajib kita jaga dengan sebaik baiknya dan yang lebih penting adalah bahwa ketrampilan teknis yang tinggi jika tidak dibarengi dengan akhlak dan karakter kepribadian dalam bekerja sama saja akan menjadi bumerang di kemudian hari.

TETAP SEMANGAT + IPANG WAHID

Saya mengenal sahabat yang satu ini pada tahun 1993 ketika saya masuk bekerja di Katena Films. Salah seorang crew Katena berbisik kepada saya,.” Dia keponakannya Gus Dur “. Hanya saja bayangan wajah pesantren sangat jauh dari penampilannya, celana kargo selutut dan sepatu ala Doc Martin. Hal yang tak mungkin lagi dilakukan sekarang, dahulu kadang dia juga ikut ‘ dancing ‘ di lantai disko untuk acara ‘wrap party ‘ seusai shooting yang pada jaman itu kerap dilakukan. Ya, Ipang adalah asisten sutradara kesayangan Gary Hayes , Phil Warhurst dan Bob Chappel, para dewa dewa sutradara iklan dari Katena films. Jaman itu saja saya sudah terkagum kagum melihat bagaimana rincinya ia membuat breakdown shooting yang sangat details. Tidak hanya membagi breakdown shooting sesuai frame, tetapi juga hal hal yang perlu disiapkan demi kelancaran produksi, seperti apa yang harus team art lakukan sebelum memasuki lokasi, barang barang props yang harus dibawa, pergerakan mobil produksi dsb. Membaca booklet breakdown shooting yang disiapkan dari laptop Acer miliknya terasa bermanfaat karena sudah merupakan lintas pemikiran sutradara, produser, art director dan location manager sekaligus. Sejak dulu ia sudah mengemukakan keinginannya menjadi sutradara, dan saya yang waktu itu menjadi produser pernah sekali mencoba menjualnya untuk iklan minuman energi, Lippovitan kalau tidak salah. Hanya saja gagal menembusnya, karena memang pada masa sebelum krisis moneter, sangat kecil kemungkinannya menjual sutradara local untuk iklan iklan thematic.

Setelah itu ia menghilang, dan menjadi freelancer di beberapa tempat sampai akhirnya saya dengar ia bergabung dengan Square Box, sebuah PH lain di bilangan daerah kota. Sampai suatu saat di akhir periode 1996 , ia datang mampir ke kantor kami dan menunjukan iklannya yang pertama, Metro department store. Saya melihat wajahnya yang berbinar binar, penuh semangat bahwa ia bisa mengerjakan iklan televisi pada akhirnya. Dan saya tak perlu menceritakan padanya, bahwa saya dan kolega produser saya lainnya, Salmiah Sani, hampir melabrak pada seorang art director ‘ bule ‘ yang dengan sinis dan sangat personal mencerca iklan itu. Saya sempat berkata pada Gary Hayes, “ Well, G ..the time for indonesian director its about to begin “. Beruntung Ipang memiliki produser seperti Stella dan Joe Seouw yang penuh dedikasi dan tak kenal lelah menjualnya kepada klien kliennya. Bahkan sejak iklannya Bank Danamon, Ipang telah menunjukan talentanya yang luar biasa sebagai sutradara iklan story telling yang mumpuni di Indonesia.

Cerita sepuluh tahun yang lalu itu, seolah tergambar sama dengan situasi saat ini, dimana pasar iklan yang marak di Indonesia, dipenuhi oleh sutradara sutradara asing baik yang resmi atau gelap bercampur dengan sutradara sutradara muda anak negeri yang menunggu kesempatan bereksistensi. Melihat mereka, serasa melihat calon Ipang Ipang baru yang akan meramaikan dunia film iklan kita. Hanya saja kesempatan itu terlihat sangat berat untuk bisa dicapainya. Sungguh ironis, para produser produser kita sangat kurang gigih memperjuangkan, memberi kesempatan anak anak muda yang penuh harapan ini. Kalau dilihat pertumbuhan jumlah sutradara local Indonesia dari tahun 1998 sampai sekarang, mungkin hanya sekitar 15 orang, padahal jumlah PH yang tercatat di data base kami sebanyak 108 perusahaan. Hanya ada segelintir PH yang mempunyai dedikasi untuk menciptakan sumber daya manusia baru, sementara PH PH lainnya hanya menunggu untuk mencaplok hasil ciptaan PH tersebut. Para produser kurang berani merekrut muka muka baru dari video klip atau yang baru lulus sekolah film untuk ditempa menjadi sutradara iklan. Fenomena ini tidak bisa disalahkan, karena banyak produser produser pemilik PH disini lebih sebagai ‘ tool of businessman ‘ bukan produser film seutuhnya. Banyak yang tidak memiliki background produksi, tapi hanya melihat peluang bisnis yang menjanjikan di industri iklan. Mereka hanya melihat dari kaca mata untung rugi, sehingga berinvestasi pada sumber daya manusia adalah pilihan terakhir. Bagi mereka lebih aman menjual sutradara yang sudah ‘ established ‘ atau sutradara asing sekaligus. Seandainya saja saya menjadi pelaku kebijakan yang memberikan ijin perusahaan film, saya akan membuat peraturan ‘ nyeleneh ‘, setiap perusahaan diwajibkan menciptakan setidaknya satu orang sutradara, sehingga dari 108 perusahaan yang terdaftar tadi kita mempunyai setidaknya 108 sutradara !

Namun semua itu masih mungkin terjadi dan saya tetap bersemangat untuk mewujudkan niat mulia ini. Ketika saya menulis editorial ini, Ipang masih mengirim pesan sms mengenai kelanjutan ide kami kami tentang saresehan klub sutradara, sebagai tempat ‘ sharing ‘ dan saling membantu terutama bagi sutradara sutradara pemula. Saya rasa baginya, membagi ilmu adalah ibadah, dan sebagai hamba Allah yang sholeh, ia tetap berkewajiban menjadikan sebagai salah satu bentuk kecintaanya kepada dunia film iklan. Dengan semangat semangat baru yang bermunculan dari teman teman produser untuk menumbuhkan bibit bibit sutradara, disamping juga kelompok kerja lainnya seperti DOP, art director, assistan sutradara dan sebagainya. akan memacu sikap profesionalisme para pekerja iklan, yang saat ini agak’ terlena ‘ karena sedikitnya pilihan yang ada. Karena bagi yang malas, tidak kompeten dan tidak ‘ performed ‘ akan tergilas dengan sendirinya dari industri film iklan. Terus terang, saya masih percaya dengan semangat ini.

APAKAH FINES FESTIVAL BENAR BENAR AJANGNYA PEKERJA FILM IKLAN ?

Jakarta, 10 Juli 2006
Akhirnya ajang festival film iklan Indonesia yang pertama selesai diselenggarakan pada tanggal 7 juni lalu bertempat di Gedung Usmar Ismail ( d/h PPHUI ). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan AIOEU itu memang didukung oleh APFII sebagai salah satu agenda tahunan yang patut diwujudkan. Sudah sejak lama, timbul kegelisahan diantara para pekerja film iklan, bahwa mereka kurang mendapat apresiasi atau penghargaan atas kerja kerasnya selama ini. Ajang festival iklan yang ada selama ini lebih mengedepankan teman teman advertising disamping lebih menonjolkan kategori kategori identitas produk. Karena sebagus bagusnya konsep itu berasal, hanya akan menjadi sebuah iklan yang biasa saja dan hambar, tanpa komitmen dan kerja keras kami para pekerja film. Untuk itu sangat wajar jika ada sedikit perhatian dan penghargaan terhadap orang orang belakang layar ini. Sehingga dalam festival ini, seyogyanya kita akan melihat suatu bentuk penilaian sinematografi yang seutuh utuhnya , sebagaimana yang kita lihat dalam festival film pada umumnya,

Hanya saja dalam malam pelaksanaan, terasa kurang ‘gregetnya’ sebuah festival yang kerap kali disebut sebagai pestanya pekerja film. Tidak semua pekerja film hadir disana,bahkan ada kesan ajang ini hanya dihadiri oleh para petinggi petinggi perusahaan film, pemilik PH atau produser , DOP dan director saja. Itupun tidak mewakili seluruh komunitas film yang ada, bandingkan dengan kongres APFII bulan Maret lalu yang dihadiri ratusan pekerja film secara antusias. Ada apa gerangan ?
Memang APFII hanya memberikan dukungan dan tidak terlibat secara pengorganisasian dalam penyelenggaraan festival fines ini. Hanya saja potensi networking di kalangan APFII tidak dimanfaatkan secara langsung oleh panitia penyelenggara, ini dapat dilihat dari tidak adanya pekerja film iklan,atau pengurus APFII dalam proses penyelenggaraan ajang festival ini. Sehingga timbul jurang komunikasi dalam proses sosialisasi ke komunitas pekerja film, disamping banyak hal hal yang akhirnya justru menghambat kehadiran para pekerja film, seperti tiket hanya dapat diperoleh di secretariat panitia, baru hanya beberapa hari terakhir dilakukan penyebaran tiket di sejumlah tempat. Itupun tak banyak menolong, lalu harga yang cukup mahal bagi para pekerja film yang umumnya pekerja freelance. Sehingga umumnya yang bisa membeli adalah produser atau pegawai in house suatu PH, karena ditanggung oleh perusahaan mereka sendiri.

Kemudian struktur dewan juri yang justru tidak ada representasi sama sekali dari pekerja film iklan sendiri. Dalam hal ini bukannya tidak menghargai integritas dan kemampuan anggota dewan juri lainnya seperti tokoh perfilman nasional, kritikus, praktisi iklan lainnya. Tetapi alangkah eloknya serta bermanfaat jika kami kami yang sangat memahami seluk beluk industri film iklan ini dapat dilibatkan dalam proses penjurian. Cira Adi Pariwara saja tetap dinilai oleh sebagian para pekerja creative biro advertising tanpa harus ada intervensi atau conflict of interest, atas penilaian sebuah karya.
Ini dapat dilihat dari hasil penjurian yang ada. Bagaimana tidak ? ada beberapa karya yang mungkin baik dalam kategori special efek, namun tidak bisa dinilai dalam kategori tersebut, karena hanya didaftarkan dalam kategori wardrobe atau musik misalnya. Ini terjadi karena proses pendaftaran tiap kategori sudah dibatasi dan hanya diisi oleh perusahaan atau pihak yang mendaftarkan. Mestinya perlu dipikirkan suatu mekanisme dimana suatu karya film didaftarkan secara utuh, dan pihak juri yang akan menilai dari seluruh aspek kategori yang ada dan menetapkan di kategori mana karya itu bisa mendapatkan nilai tinggi.
Dan yang lebih mengherankan, bahwa dalam pengumuman tiap kategori dipanggung, misalnya kategori best editing, tidak disebutkan siapa editornya, best sinematografer tapi tidak disebutkan Director of Photographynya, demikian pula tidak disebutkan siapa sutradaranya dalam best commercial. Memang dalam penjelasan oleh ketua Panitia Penyelenggara, sdr Nurmanjaya, disebutkan bahwa nama nama yang bersangkutan ditulis dalam piagam kemenangan yang diterima. Namun esensi sebuah festival film adalah sebuah penghargaan dengan mengumumkan orang orang terbaik dibidangnya didepan audiens yang hadir. Lalu apa bedanya dengan festival film iklan lainnya, yang hanya mengedepankan perusahaan yang mendaftarkan. Sehingga jika ajang ini diklaim sebagai pestanya para pekerja film, patut dipertanyakan lagi kebenarannya.

Memang tak ada gading tak tak retak, demikian pula penyelenggaraan Fines festival ini, karena bagaimanapun , kita wajib memberikan penghargaan setinggi tingginya kepada rekan Nurmanjaya dan panitia yang bisa mewujudkan ajang ini. Adanya kesemerawutan dalam teknis pelaksanaan adalah hal biasa dalam sebuah proses, tentu saja tidak fair memperbandingkan dengan Citra Adi Pariwara yang sudah lama ada. Namun yang lebih penting apakah Fines festival benar benar menjadi sebuah pestanya pekerja film iklan ?