Browsing Category

PEMILU

Quo vadis. Pilkada Indonesia

“ Salah satu masalah terbesar negeri ini adalah memudarnya trust atau kepercayaan pada institusi negara dan pengelola negara. Kepercayaan ini sedikit demi sedikit dibangun lewat demokrasi dan pelibatan masyarakat, salah satu pilarnya adalah Pilkada langsung “ – Anies Baswedan

Pada pukul 14 siang. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, PPPKI kembali mengadakan sidang di Gedung Tyuuo Sangi-In Pejambon untuk membicarakan rancangan naskah UUD. Namun sebelum pasal pasal dibicarakan. Soekarno meminta agar memasuki pemilihan Kepala Negara dan Wakilnya.
“ Maafkan, ini demi kepentingan pers. Kata Soekarno, Kita harus menentukan kepala negara dan wakilnya “

Formulir pemilihan langsung dibagikan. Ini sesuai dengan pasal III peralihan, untuk pertama kali Presiden dan Wakilnya dipilih PPPKI.
Tiba tiba Otto Iskandar Dinata berdiri.
“ Berhubung dengan keadaan waktu, saya harap supaya pemilihan Presiden diselenggarakan dengan aklamasi dan saya memajukan calon, Bung Karno sendiri “

Para anggota PPPKI saling pandang. Kenapa tidak, gumam mereka. Lalu tepuk tangan membahana. Tanpa basa basi Soekarno mengucapkan terima kasih. Semua bertepuk tangan, menyanyikan lagu Indonesia Raya, disusul teriakan ‘ Hidup Bung Karno ‘ sebanyak kali.
Lalu Otto Iskandar Dinata juga mengusulkan cara yang sama untuk Hatta memegang jabatan Wakil Presiden. Semua juga bertepuk tangan, berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya lagi. Disusul juga teriakan ‘ Hidup Bung Hatta ‘ sebanyak kali.

Namun ada suasana kebatinan diantara anggota PPPKI sehingga mereka tidak banyak protes dan secara aklamasi memilih Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wapres. Mungkin karena ada perasaan senasib dan sepenanggungan membuat mereka harus bergerak cepat . Sejarah tak bisa menunggu.

Ketok palu mengenai UU Pilkada kemarin menuai protes kecaman seantero negeri. Dalam voting rapat paripurna 226 anggota memilih kepala daerah ditentukan oleh DPRD, mengalahkan 135 anggota yang memilih Pilkada langsung. Bahkan keputusan DPR mengembalikan proses pemilihan kepala daerah keoada DPRD mendapat sorotan media asing. Majalah Time menyoroti hastag #ShameOnYouSBY yang menjadi trending topics dalam belantara twitter dunia.

Tiba tiba negeri ini seperti kembali ke era orde baru. Harapan rakyat yang besar terhadap sistem demokrasi yang melibatkan dirinya pudar begitu saja. Analogi para pengusung RUU ini, bahwa Pilkada langsung lebih banyak mudarat daripada manfaat, terasa dibuat buat. Bukankah patgulipat di parlemen sudah menjadi rahasia umum. Bagaimana kita akan mempercayai amanah kita kepada anggota dewan yang diawal masa jabatannya sudah ramai ramai menggadaikan SK Pengangkatan.

Continue Reading

Selamat datang Presiden Joko Widodo

Hi there, I’m Jokowi and I aint gonna write this bio in third person like every other well-known persons in Facebook. I’m 48 years old and I have 3 kids. Being a politician is maybe fastest way to make enemies ( seriously dude ). This is my only facebook account. Send me a message or give me a call and I’ll be glad to start up a conversation.
Bio itu ditulis beberapa tahun lalu ketika Jokowi mulai menyapa netizen. Sama ketika banyak orang meragukan apakah akun @jokowi_do2 benar benar milik dia, sang walikota Solo waktu itu. Dengan tegas ia menanggapi “ Inggih niki asli, saya sendiri Jokowi. Bener asli Jokowi. Saya kan kaskuser, gan “.

Dari update postingan diatas – yang diakui tulisannya sendiri – terlihat bagaimana Jokowi memangkas jarak dengan netizen. Sebagai pejabat publik, ia menjadi orang yang tak ada bedanya dengan kebanyakan warga lainnya. Secara emosional menciptakan kedekatan. Memakai kata kaskuser dan Gan berarti dia memahami anak muda. Ini logis karena sekitar 75 % pengguna social media adalah anak muda. Dalam kata sambutannya setelah penghitungan Quick Count tanggal 9 Juli kemarin. Jokowi menyebut relawan dan anak muda sebagai stake holder kemenangannya.

Mungkin Jokowi paham bahwa ada 32 juta anak muda sebagai pemilh pertama yang tak terikat dengan dogma dogma. Disinilah letak sifat anak muda. Dengan idealismenya, ia tak terikat sampai akhirnya menentukan kata hatinya. Onghokham pernah menulis, Idealisme pemuda adalah faktor mengapa mereka mudah bergerak, tetapi emosi emosi yang besar ini justru menjadikan mereka sebagai umpan peluru yang paling cocok dalam suatu revolusi. Partai dan isme apapun bisa memancing mereka atau menggunakan mereka. Khususnya apabila idealism dan emosi ini tidak didukung oleh pengetahuan dan sejarah. Pemuda seperti itu akan menjadi ‘ true believer ‘, seorang yang percaya tanpa argumentasi fakta dan pada dasarnya adalah psyche totaliter dan fasis.

Sebagian besar dari mereka adalah swing votters yang belum menentukan pilihannya, sampai pada akhirnya setelah sebulan perang informasi di social media , yang menuntun mereka pada pilihannya.
Lembaga survei Politicawave melakukan riset pada H-1 pencoblosan untuk melihat arah pergerakan undecided voters atau pemilih yang belum menentukan pilihan. Hasilnya, para pemilih itu berlabuh ke pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla Kesimpulan riset itu merupakan hasil pemantauan pada 5 Juli 2014 terjadi 172.961 percakapan tentang Jokowi-JK dan 109.510 percakapan tentang Prabowo-Hatta. Pada 6 Juli 2014, walaupun terjadi sedikit penurunan, jumlah percakapan tentang kedua pasangan capres masih tetap lebih tinggi dari biasanya, terjadi 168.897 percakapan tentang Jokowi-JK dan 98.135 percakapan tentang Prabowo-Hatta.

Continue Reading

Berebut legitimasi Sukarno

Memakai nama dan simbol Sukarno dalam pemilu sudah dilakukan sejak pemilu 1971, untuk mendapatkan dukungan luas masyarakat.
Dalam kampanye yang dilakukan PNI, mereka membawa Guntur dan Rachmawati. Sambutan yang luar biasa terhadap putera puteri Sukarno menunjukan, disatu pihak betapa luar biasanya kedudukan Sukarno dimata pendukungnya, sekaligus ketergantungan PNI terhadap Sukarno.

Sekarang Sukarno tidak saja menjadi sumber legitimasi ide ide politik PDIP, partai yang secara historis menjadi rumah baru PNI. Tapi juga diusung partai partai lain. Mereka berusaha menunjukan sebagai penerus cita cita Sukarno, walau sejujurnya dalam sejarah partainya, hampir sedikit – kalau dibilang tidak ada – pergulatan pemikiran Sukarno yang diadopsi.

Prabowo Subianto, kandidat Calon Presiden dari Gerindra berani mengindentifikasikan dirinya dengan penampilan yang mirip mirip proklamator itu. Baju putih putih berkantung empat dan peci hitam. Prabowo juga mengambil cara berpikir Sukarno dalam kerangka mitologi Jawa, yaitu konsep kepercayaan sebagai tercermin dalam cerita cerita wayang, mitos Ratu adil yang intinya adalah harapan, penantian kehadiran juru selamat.

Gaya orasi Prabowo yang mirip dengan Sukarno, untuk menunjukan negeri yang besar, sumber daya alam, demografi yang luar biasa, tapi penduduknya yang miskin. Keadilan sosial yang tidak merata.
Puluhan tahun lalu, Sukarno sudah berpidato berulang kali tentang luas Indonesia yang lebih besar dari daratan Eropa, dengan zona waktu yang berbeda. Kini Prabowo juga melakukan hal yang sama pada setiap pidatonya.

Sebagaimana Sukarno, Prabowo juga menunjukan kemandirian serta keberpihakan pada bangsa sendiri daripada bangsa asing. Sukarno juga sangat mencintai wayang, bahkan Presiden pertama Indonesia sangat kagum dengan sosok Bima. Tulisan tulisan Sukarno sebelum kemerdekaan, banyak memakai nama samara Bima.
Bukan kebetulan, dalam acara pemantapan tim pemenangan pasangan Prabowo – Hatta di Solo, dalang Ki Manteb Sudarsono memberikan wayang Bima yang dianggap sebagai personifikasi Prabowo.

Continue Reading

Keberpihakan media TV dalam Kampanye

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia hasil munas 1993, Megawati Soekarnoputri pernah mengeluh kalau dirinya tak kalah cantik dengan bintang bintang sinetron di TV. Tapi kenapa tayangan wajahnya hampir tak tampak di televisi, baik TVRI atau TV swasta, tanyanya lebih lanjut. Uneg unegnya muncul pada HUT PDI di Denpasar tanggal 16 Mei 1993. Megawati secara terbuka menuntut TVRI agar lebih adil memberitakan berita seputar parpol dan Golkar. Seperti biasa protes itu dianggap angina lalu. “ Biarkan Parpol memprotes, TVRI tetap berlalu “.

Tentu jaman itu, siapa bisa melawan penguasa ? Hasil penelitian Harian Media Indonesia selama 3 bulan, April sampai Juni 1995, bisa sebagai dijadikan sample. Disebutkan TVRI menyiarkan kegiatan Golkar sebanyak 98 kali. PPP 10 kali dan PDI 2 kali. Sementara liputan ketua umum juga tidak seimbang. Harmoko menapat 38 kali. Ismail Hassan 10 kali dan Megawati 1 kali.

Menjelang pemilu 1997, Aliansi Jurnalis Independen mencatat total tayangan TVRI pada bulan Oktober – Desember 1998 adalah : Golkar 34 menit 18 detik. PPP 1 menit 20 detik, dan PDI 3 menit 9 detik. Itu diluar materi berita seperti temu kader Golkar, apel siaga dan sebagainya. Bahkan untuk HUT Golkar pada bulan Oktober 1996 , mendapat tayangan khusus berdurasi 3 jam non stop. PDI malah tidak mendapat ijin, dan massa PPP dikritik karena pawainya menyalahi aturan.

TV TV swasta yang notabene dimiliki patron patron penguasa, sama saja. RCTI , ANTeve. Selama pengamatan AJI 3 bulan itu, PPP hanya sekali masuk RCTI. Itupun berita negative, yakni calegnya yang ditolak Lembaga Pemilihan Umum. Itupun yang diwawancarai bukan orang PPP, tapi direktur BIA. Mayjen Farid Zainuddin.
Secara total RCTI meliput Golkar sebanyak 7 kali selama 8 menit, dan 7 kali di ANTeve selama 7 menit 11 detik. PPP hanya sekali di RCTI selama 55 detik, dan PDI hanya sekali di ANTeve selama 3 menit.

Continue Reading