Browsing Category

Jakarta

Tentang Banjir

Tiba tiba saja negeri ini seperti dikutuk karena bencana banjir dimana mana. Manado, lalu sepanjang pantai utara Jawa mulai dari Karawang sampai ujung perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tentu saja, Jakarta yang menjadi langganan setiap tahun. Tambahan letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara seakan menggenapi lirik tanah bencana.
Khusus Jakarta. Siapapun Gubernurnya jadi tergagap gagap menghadap banjir yang datang.. Mengapa tidak ? Jika berita di media online sudah mengatakan, “ Ketinggian air di Katulampa, Bogor sudah mencapai siaga 1. Banjir kiriman segera datang “. Sesuai hukum alam, air akan mengalir ke dataran rendah. Artinya Jakarta hanya bisa pasrah, dalam hitungan sekian jam akan menerima limpahan air yang menerjang. Mengamuk kemana mana.

Sebenarnya dari jaman dulu banjir selalu memusingkan penguasa Batavia. Banjir besar terjadi pada tahun 1872, sehingga Sluisburg (Pintu Air) di dekat Harmoni ini jebol. Kita tidak tahu seberapa besar banjir waktu itu. Yang pasti ketika itu Ciliwung meluap dan merendam pusat perdagangan di tengah kota seperti pasar baru dan sepanjang jalan yang sekarang menjadi Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Banjir besar lainnya terjadi 1918. Hujan yang turun terus menerus sepanjang bulan Januari dan Februari membuat Batavia kembali kebanjiran. Kali ini hampir seluruh kota terendam seperti daerah yang sekarang menjadi Gambir. Pejambon dan Cikini. Ini membuat Pemerintah Hindia Belanda membangun proyek banjir kanal, dan beberapa kali sodetan.

Continue Reading

Sekali Lagi. Ini Jakarta

Jakarta kembali berbenah. Memilih Gubernur hari ini. Sungguh menyesal saya tidak bisa ikut menjalani hak warga untuk ikut pilkada, karena saat ini saya masih ‘ istirahat ‘ di Singapore. Tapi saya masih bisa menulis tentang harapan Ibu kota yang sebagaimana dikatakan Bung Karno kepada Ali Sadikin. Aku tanamkan kepadamu, cita citaku tentang Jakarta sebagai bandar perdagangan yang berdiri sejajar dengan kota kota besar di dunia.
Jakarta adalah kota kesayangan Bung Karno. Menjelang kematiannya, ketika Gubernur Ali Sadikin menengoknya. Ia hanya bisa berkata lirih. “ Ali,. Jakarta, Ali, Jakarta “. Sampai matipun ia tak pernah kehilangan harapan tentang Ibu Kota kebanggaannya.

Ali Sadikin terus menjaga amanat Bung Karno. Ia bekerja keras membangun Jakarta. Namun para penggantinya hampir tak ada yang bisa meneruskan untuk mewujudkan tata kota yang ideal.
Jakarta memang berubah, namun gagal menjadikan sebagai kota kebanggaan warganya. Kota yang kehilangan jiwanya. Sumpah serapah mereka yang terjebak macet dan banjir masih cerita yang tak habis habis. Manusia manusia apatis yang kehilangan ruang publiknya. Selain dirampas tembok mall, juga diserobot motor motor yang menggila melintas taman median dan trotoar.

Kini para Jakarta memiliki kandidat Gubernur terbanyak yang pernah ada. Semua menawarkan mengelola kota ini, walau beberapa sebenarnya kelihatan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan kelak.
Saya seperti menyesali pemilihan langsung yang digagas sebagai manifesto roh reformasi. Perhelatan pilkada sungguh membutuhkan dana yang luar biasa besar. Bagaimana para Gubernur akan bekerja dengan tulus dan jujur, jika belum belum sudah meghabiskan biaya puluhan milyar. Betapa tidak, Tiba tiba saya takut bahwa kandidat kandidat yang mumpuni tapi tidak memiliki ‘ amunisi ‘ uang yang banyak, bisa saja tersingkir. Sebagian wargapun tersandera dengan uang politik dan sangat pragmatis. Berani bayar berapa ?

Continue Reading

Hak Ruang Publik Warga

Bang Ali mungkin salah satu gubernur yang memiliki keberpihakan terhadap penggunaan ruang publik. Jaman dulu taman rumput diantara jalur median Jl MH Thamrin sering dipakai sebagai tempat piknik kalau malam minggu. Jadilah orang orang duduk duduk sambil menggelar tikar dan makan penganan bawaan dari rumah.
Dalam rencana induk Jakarta 1965 – 1985, sistem ruang terbuka adalah 40 meter persegi per penduduk ( tidak termasuk halaman rumah ), sehingga pada akhor tahun 1985 diharapkan luas ruang terbuka meliputi 40.000 ha atau 60 % dari luas wilayah Jakarta. Sampai sekarang tidak pernah tercapai, bahkan terus menyusut ketiga gubernur gubernur lainnya mengelola Jakarta.

Hak mendapatkan ruang publik kadang menjadi dilematis karena kerap berbenturan dengan kepentingan modal dan penguasa. Bukan rahasia jika taman taman, lapangan lebih baik dijadikan lahan produktif dengan dijual hak pemakaiannya kepada pemodal untuk gedung misalnya.
Ini bertambah sempit ketika warga hanya mendapatkan sisa di trotoar, pinggiran jalan dan berebutan dengan pedagang kaki lima. Jalanan menjadi macet dan semrawut.

Continue Reading

Tentang Jakarta

Ali Sadikin adalah orang Sunda kelahiran Sumedang. Namun selama ia menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta, sama sekali tak penah memperlihatkan atribut keSundaannya. Ia bangga dengan sebutan Bang Ali. Panggilan akrab orang Betawi. Ia juga menjadi gubernur pertama yang berbaris memimpin kontingen Jakarta dalam defile pembukaan PON 1973 di Surabaya, Ini ada ceritanya, karena sebelumnya para atlet atlet Jakarta –yang bukan asli Betawi – tidak pernah menunjukan kebanggaannya terhadap kontingen DKi Jakarta. Mereka selalu berkumpul di asrama atau mess kontingen daerah lain yang memiliki kesamaan suku.
Ali Sadikin marah. Ia memerintahkan seluruh atlet Jakarta dikonsinyir – diasingkan – di dalam kompleks KKO / Marinir di Surabaya selama berlangsungnya PON. Ia meninggalkan Jakarta dan mengawasi langsung kontingennya. Setiap hari ia memotivasi dan memberi pemahaman tentang kebanggaan sebagai kontingen Jakarta. Hasilnya saat itu DKI Jakarta merebut medali emas terbanyak.

Continue Reading