Browsing Category

CINTA DAN PERKAWINAN

SHINTA

Lelaki memang sering dibutakan oleh duniawi. Saat nafsu mengalahkan segala galanya dan sorak sorai manusia didepan kayu tumpukan kayu bakar yang menyala. Rama harus menjadikan istrinya Shinta menjadi bahan pertaruhan dengan ego. Laksamana sang adik tak bisa mencegah niat kakaknya, untuk melakukan uji coba yang akan dilakukan terhadap kakak iparnya. Hari itu Shinta akan dimasukan ke dalam nyala api untuk membuktikan ia masih ‘ bersih ‘ setelah sekian lama berada dalam sekapan Rahwana. Jika ia terbakar berarti ia telah ternoda dan sudah selayaknya mati menjadi abu bara api. Namun para Dewa tidak berdiam diri dan membuatnya selamat dari nyala api. Shinta selamat dan Ramapun bersuka cita menyambutnya. Pengorbanan dan sifat penyerahan diri Shinta telah menolongnya. Namun diam diam Shinta justru menangis, karena justru para Dewa lebih mempercayainya daripada lelaki yang menjadi suaminya. Hampa, direndahkan dan tak berdaya. “ ..menyedihkan cinta dan kepercayaannya hanya sebesar nyala api, sementara apa yang kumiliki melebihi dari magma gunung Mahameru..” demikian ia menangis di depan Wibasana.

Continue Reading

CINTA LOKASI

Selalu saja banyak orang yang bertanya tanya tentang isi dunia film, dan yang paling sering ditanyakan adalah hal remah remah sepele, misalnya mengenai cinta lokasi. Saya katakan hal sepele karena memang tidak begitu penting, dibanding pencapaian pekerja film dalam menghasilkan karya. Sementara mereka yang diluar tadi, melihat hal sepele itu sebagai magma informasi yang tak habis habisnya mengenai kisah cinta orang orang film. Keluarga bahkan dulu mertuapun sering bisik bisik separuh bertanya separuh menyindir dengan pergaulan orang film ini. Apakah saya juga terlibat dengan cinta lokasi? Seperti biasa saya hanya bisa senyum senyum tidak memberikan konklusi. Silahkan tebak sendiri.. Lalu kenapa cinta lokasi atau cinlok hanya identik dengan dunia film ?

Continue Reading

SEBUAH PERTEMUAN

Dalam lalu lalang manusia manusia sibuk di Plaza Indonesia di malam ini, tiba tiba seorang wanita menegur saya dengan ramah. Sosok yang begitu dekat sekitar duapuluh tahun yang lalu. yang pernah mengisi indahnya rentang waktu di kampus rawamangun dan depok. Seorang yang pernah saya cintai dalam kehidupan remaja saya. Dia yang namanya masih tertulis dalam kata sambutan skripsi saya, yang setia menemani saya mengetik tugas akhir kuliah di malam malam minggunya. Masih wanita sama yang waktu itu begitu mengagumi saya, yang tertunduk malu ketika ayahnya menangkap basah kami sedang berciuman di teras belakang rumahnya. Wanita itulah yang saat ini berdiri tepat dihadapan saya. Tersenyum dan bola matanya melompat lompat mencari jawaban.

“ Kamu baik baik saja ? “ pertanyaannya singkat dan bermakna luas. Membuat keramaian di sekitar kami menjadi senyap. Sunyi dan menjadi sendu. Dia tidak bertanya, ‘bagaimana anakmu’, dan juga dia tidak menanyakan ‘ bagaimana kehidupan perkawinanmu’. Saya rasa dia tak ingin memasuki ruang pribadi yang sudah terkubur dalam masa silamnya. Seperti saya yang tak perlu menanyakan mengapa ia belum menikah sampai sekarang. Bagaimanapun juga ia terlihat bahagia dengan jalan hidup yang dipilihnya.
“ I’ve heard you have a big name in your industry “
“ No, I just feel nobody until I have my own feature film “. Basa basi sebentar yang mencairkan kekakuan suasana. Tak lama kami sudah tertawa tawa, menemukan remah remah topik yang bisa menjembatani pertemuan singkat ini.
Ini bukan sekadar kisah tonil di panggung sandiwara Romeo dan Juliet yang harus diratapi dengan airmata. Juga bukan hikayat babad Majapahit, ketika Gayatri harus memilih Raden Wijaya daripada seorang ksatria balatentara yang mencintainya. Sebuah pilihan yang harus diambil, karena menurut ramalan para empu dan brahmana, dari rahimnya kelak Raden Wijaya akan menurunkan raja raja yang membawa kebesaran dinasti kerajaan. Pertemuan selama 5 menit ini membawa jauh ke sebuah pemikiran tentang takdir dan garis hidup. Bahwa hidup harus terus berjalan, apapun konsekuensinya itu. Siapa yang bisa memecahkan rahasia kehidupan ?, hingga sebuah percintaanpun tidak harus diakhiri dengan perkawinan, kadang ada tujuan yang lebih mulia dari itu.


Ketika kami berpisah kembali, saya sama sekali tidak mencoba menolehnya kembali, demikian pula dia. Di perjalanan pulang dalam kelap kelip lampu jalanan dan kemacetan yang merayap, saya teringat baris puisi yang saya tulis,

Beranikah kau menganggap
bahwa hidup ini seperti buah dadu
yang diambil dari kotaknya
Tanpa pernah tahu nilai yang diperoleh
Kecuali keyakinan untuk nilai kemenangan

Jika kau merasa bahwa takdir
diucapkan oleh Tuhan hanya sekali
Pernahkah kau merasa dengan
melihat bola matanya,
walau hanya sekilas
kau tahu bahwa dia adalah
pasangan jiwamu ?

Selamat hari Kasih Sayang !

TENTANG POLIGAMI

Ceuceu, seorang ibu tetangga yang tadinya gemar mengirim brosur dan kaset kaset ceramah AA Gym pada saya tiba tiba jadi sewot tidak keruan. Setelah saya tanya dengan suaminya, ternyata ia kesal karena da’i junjungannya tiba tiba menikah lagi. Rupa rupanya ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa pada akhirnya ulama kondang itu harus mengambil istri baru.
Padahal saya ingat sejak dahulu ia kerap mengajak saya ke ceramah ceramah dan pengajiannya si Aa ( mungkin ia khawatir dengan predikat orang film yang katanya sekuler sehingga butuh pencerahan dari segi agama ). Yang jelas saya tidak akan membahas masalah poligami dari segi agama, karena memang pengetahuan saya tidak kompeten tentang hal itu.
Setahu saya dahulu Nabi mengawini janda miskin yang suaminya meninggal karena perang, sementara fenomena di Indonesia, para golongan priyayi ( celeb, ulama, politikus, pejabat dsb ) justru mengawini gadis gadis mulus binti perawan. Waduh !!

Film “ Berbagi Suaminya “ Nia Dinata benar benar melukiskan potret manusia Indonesia mengenai urusan syahwat ini. Saya memakai istilah ini, karena banyak dalil dalil agama yang dipakai untuk pembenaran mengambil istri muda, yang sebenarnya ujung ujungnya ke urusan syahwat. Masih ingat beberapa tahun silam, seorang ulama NU yang memiliki pondok pesantren besar di kawasan Kebon Jeruk, mengawini janda almarhum Amir Biki ( tokoh peristiwa Tanjung Priuk ) hanya semalam di sebuah hotel lalu paginya diceraikan lagi.

Sebenarnya ini tidak ada urusannya dengan masalah agama ( baca : Islam ), kalau dilihat sejarah bangsa ini, memang kerap lelaki Indonesia yang dekat dengan kekuasaan dan ketenaran doyan perempuan. Lihat saja sejarah raja raja Jawa, selirmya bisa sampai puluhan orang. Kolam Taman Sari di Yogjakarta, dahulu juga dibangun Sultan Jogja untuk leyeh leyeh sambil memandangi selir selirnya yang sedang berendam. Bahkan dalam catatan Thomas Bent, seorang utusan kerajaan Inggris tahun 1602 yang datang mengunjungi Kerajaan Aceh. Si penguasa Sultan Iskandar Muda mengajukan permintaan ‘ nyeleneh ‘, yakni meminta dikirim 2 ( dua ) wanita kulit putih asli dari Inggris yang nanti akan dikawini. Untung saja pengiriman tenaga kerja wanita Inggris ini tidak jadi, bisa dibayangkan pejuang pejuang GAM nantinya Indo Indo.

Belum lagi kalau kekerasan dipakai untuk memaksa wanita yang ingin dikawini. Puteri Prabu Siliwangi , dibunuh beserta rombongannya di gresik ketika ia menolak dijadikan selir oleh Brawijaya penguasa Majapahit. Lalu Sunan Amangkurat dari dinasti Mataram bisa membunuh si bawahannya, hanya untuk mengambil istri si bawahan untuk dijadikan selir.

Saya tidak bisa membayangkan jalan pikiran si istri tua. Kenapa dia tidak memilih bercerai dan memelihara anaknya, daripada mengorbankan perasaannya, tetapi mungkin juga ada pertimbangan lain yang jauh lebih penting. Disatu sisi ada ketidakberdayaan dari wanita Indonesia untuk dipaksa menerima hal ini, seperti RA Kartini menerima lamaran Bupati Joyo Adhiningrat, sehingga Pramudya Ananta Toer harus menggambarkan kegeramannya dalam Roman “ Gadis Pantai “ …” Mengerikan bapak,..mengerikan kehidupan priyayi ini..Ah tidak, aku tidak suka pada priyayi. Gedung gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka tanpa perasaan..”demikian si mas nganten melihat si tuan mas Bendoro yang gemar kawin.

Sementara di sisi lain, ada keterpesonaan wanita pada sosok sosok tertentu seorang laki laki sehingga rela jika dimadu. Sebagaimana keterpesonaan Utari, Inggit, Fatmawati, Hartini, Haryati, Ratna Sari Dewi, Yurike Sanger pada Bung Karno. Lalu penyair WS Rendra yang pernah serumah rukun dengan 2 istrinya ( waktu itu ) Sunarti dan Sitoresmi. Angel Lelga dengan Haji Rhoma Irama, si pengusaha restaurant Wong Solo , bahkan sampai istri istrinya si supir produksi film dalam ceritanya Nia Dinata.

Kesimpulannya apakah keterpesonaan, dan kepasrahan diri ini suatu kebodohan ? Yang jelas si ceuceu tetangga saya menjadi bertambah bingung karena puteri sulungnya yang baru lulus SMA memaksa untuk masuk ke sekolah film di IKJ ( “..mau jadi kayak om Iman, katanya …” ). Padahal bayangan si ceuceu, orang film doyan kawin cerai, sementara ulama panutannya baru saja mengambil istri muda. Saya hanya berharap mudah mudahan ceuceu masih mau mengirimkan saya kaset kaset ceramah agama lagi. Isinya memang menyejukkan, sungguh !.