Asian Games ! Kebanggaan nasional

De mensleeft nietvan brood allen. Een volk leeft niet vanbroodallen. Een natie leeft niet van brood allen. Saja tidak mau membentuk bangsa yang dipikir itu cuma makanan, pangan, pangan saja. Saya akan bekerja mati-matian untuk memberi cukup pangan kepada bangsa Indonesia, bersama-sama dengan semua pimpinan-pimpinan dan pembantu-pembantu saya. Saya kerja mati-matian untuk memberi kepada bangsa Indonesia sandang yang secukupnya. Tetapi di samping itu juga satu bangsa yang leeft niet van brood allen, yang mempunyai harga diri, yang mempunyai isi mental yang tinggi, yang mempunyai national pride yang tinggi.

Pesan itu diucapkan Bung Karno ketika melantik Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta ditengah kritik kritik bahwa Presiden Sukarno gemar membangun proyek mercu suar. Ada suara suara saat itu daripada membangun Tugu Monas, lebih baik uangnya dipergunakan untuk keperluan irigrasi dan pertanian. Bung Karno sekaligus menjelaskan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar harus memiliki physical face. Suatu bangsa tidak cukup hanya dengan roti, tapi perlu simbol yang menjadi kebanggaan nasional.

Kisah ini menjadi relevan ketika Presiden Joko Widodo memutuskan mengambil alih hajatan Asian Games 2018 yang semestinya diselenggarakan di Vietnam. Saat itu banyak kritik untuk apa urgensinya menyelenggarakan hajatan berbiaya 6,5 Trilyun yang kemudian di revisi menjadi 4,5 Trilyun. Ini masih diluar biaya pembangunan infrastruktur seperti LRT, Wisma atlet, sarana lainnya sejak tahun 2015. Biaya yang dikeluarkan Kementrian terkait serta Pemprov DKI dan Sumsel yang bisa mencapai 34,5 Trilyun.

Bahkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengkritik pemerintah karena dinilainya terlalu jor-joran mengeluarkan anggaran untuk perbaikan infrastruktur untuk Asian Games 2018. Padahal, lanjut dia, masih banyak yang harus dikerjakan seperti mengutamakan kepentingan rakyat.

Kepala Bapenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, tahap persiapan dan pelaksanaan Asian Games 2018 memberikan dampak perekonomian Indonesia di antaranya meningkatkan sektor pariwisata, meningkatkan aktivitas ekonomi lokal, rnenciptakan lapangan kerja, dan mendorong pengembangan kota melalui pembangunan infrastruktur fasilitas olahraga.

Joko Widodo telah meneruskan mimpi Bung Karno untuk melanjutkan estafet menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar yang memilki kebanggaan nasional. Kita melihat demam Asian Games diseluruh negeri. Pencapaian prestasi di urutan 4 dan jumlah medali emas terbanyak yang dicapai Indonesia sepanjang sejarah keikutsertaan di Asian Games. Walau banyak disumbangkan oleh cabang cabang non olimpiade, namun kita tetap mensyukuri kerja keras para atlet.

Dari sisi penyelenggaraan, tanggung jawab Indonesia menjadi tuan rumah dari 16.000 ribu atlet dan official dari 45 negara menjadi sorotan dunia. Dan terbukti kita mampu menyiapkan arena berstandar Internasional di kompleks Gelora Bung Karno, Velodrome dan pacuan kuda di Pulo Mas, Kompleks olahraga Jakabaring Palembang dan beberapa arena di wilayah sekitarnya.

Sebagaimana di kutip dari Kompas, Ahmad Chair (27), salah satu pengunjung, datang bersama istri dan anaknya. “ Banyak yang khawatir kalau Indonesia bakal norak saat menjadi tuan rumah Asian Games. Ternyata apa yang ada di sekeliling GBK ini membuktikan kalau anggapan itu keliru,” kata dia.

Dia memuji dekorasi tiga zona di GBK yang menurutnya modern dan membuat pengunjung betah. Selain itu, dia berpendapat gelaran multicabang terbesar di Asia ini turut mempersatukan masyarakat Indonesia. “ Ketika ada atlet Indonesia yang dapat medali, semua orang bertepuk tangan. Tak ada yang menanyakan apa agama dan suku dari atlet tersebut,” kata dia.

Tok Mo (60), pendukung tim Malaysia sempat khawatir ketika tiba di Jakarta. Di Malaysia, dia sering mendengar gosip bahwa orang Jakarta suka gaduh. Setelah tiga hari di Jakarta dan mengitari berbagai arena pertandingan, anggapannya berubah. Dia dan 11 rombongannya merasa orang Jakarta tak seperti yang dibayangkan. “Orang Jakarta sungguh bagus,” kata Tok.

Problem klasik bangsa ini adalah tidak bisa merawat. Banyak kasus fasilitas olahraga bagus yang dibangun Pemerintah propinsi untuk hajatan PON akhirnya mangkrak menjadi sarang setan. Kita bisa membangun stadion Aquatik atau velodrome yang terbaik di dunia saat ini. Namun bagaimana pengelolaan GBK paska Asian Games terus menjadi mimpi buruk. Banyak pihak skeptik dengan kemampuan birokrat (GBK masih dibawah pengelolaan Sekretariat Negara ) untuk merawat atau bahkan mendayagunakan secara komersial, sehingga lebih baik kelak GBK dikelola oleh orang orang yang waras dan profesional.

Kita bisa berkaca dengan Korea Selatan dimana mereka mengelola lokasi bekas Olimpiade Seoul 1988 menjadi tempat olahraga, hiburan, taman dan museum kejayaan mereka. Sampai sekian generasi, bangsa Korea masih menyimpan warisan kenangan bahwa mereka pernah menyelenggarakan Olimpiade. Inilah yang disebut Bung Karno dengan National Pride.

Keberhasilan prestasi dan penyelenggaraan Asian Games harus diikuti dengan cetak biru keseriusan Pemerintah membangun kejayaan olahraga nasional dengan tujuan akhir adalah Olimpiade. Sebagaimana negara negara maju lainnya, olah raga dianggap menjadi simbol kedigdayaan sebuah negara dalam kancah pergaulan Internasional. Minimal alokasi APBN untuk pembinaan olahraga adalah 2 %. Saat ini belum mencapai 1 %. Jika kita melihat China yang mengalokasikan 5 % daeri APBNnya. Malaysia mengalokasikan 4,9 %. Vietnam dan Singapore sebesar 3 %.

Sudah semestinya kita focus pada cabang cabang olahraga tertentu saja. Tidak usah melihat ke Jamaica fokus dengan atlet atlet pelari, tapi kita bisa belajar dari Taiwan. Beberapa tahun lalu mana ada atlet Bulutangkis atau panahan dari negeri ini. Tapi Pemerintah sana fokus membina cabang olahraga tertentu untuk dijadikan lumbung perolehan medali.
Untuk jangka pendek target prestasi mengarah ke Olimpiade Toyo 2020. Selain Bulutangkis, Angkat Besi yang menjadi cabang olahraga andalan peraih medali. Kini ada Panjat tebing, atletik, Tae Kwon Do dan Karate yang menunjukan potensi.

Antuasias warga pada Asian Games benar benar melupakan pertikaian politik yang beberapa waktu lama mendominasi percakapan di media sosial. Untuk sementara dalam ruang waktu, kita tak perduli korupsi atau skandal politik. Emosi kebangsaan selalu paling mudah digerakkan dengan semangat perjuangan olahragawan. Tiba tiba momen pelukan atlet pencak Silat – Hanifan, yang berbungkus bendera merah putih bersama Prabowo dan Jokowi menjadi oase atas rasa dahaga kebersamaan. Prabowo tidak lagi menyindir masalah penyelenggaraan hajatan Asian Games. “ Kita satu keluarga “ katanya gembira.

Dalam sekejap hajatan Asian Games menyingkirkan sentimen SARA, issue issue cebong kampret atau pilpres. Tak ada yang merasa terancam dengan Kristenisasi ketika Jojo membuat tanda salib. Tak ada yang terusik kedaerahannya dengan Liliyana yang asal Sulut tapi dipanggil Butet. Siapa perduli dengan Lindswell yang China Medan.

Zohri yang lebih mementingkan shalat dulu daripada wawancara juga menjadi hal biasa. Ketika Anthony Ginting tergolek cidera, semua menangis. Para perempuan perempuan yang mengenakan hijab, berteriak histeris memanggil ‘ Ginting Ginting ‘ ketika ia memasuki ruang upacara pengalungan medali.

Yah semua merasa hidup hanya untuk Kejayaan Negeri ini. Tua, muda, PNS, pegawai swasta, buruh, tantara, milenial, ayah, ibu, teteh semua menikmati kegembiraan di arena GBK. Berfoto ria, jalan jalan kuliner sampai menonton dengan antusias semua pertandingan yang ada. Seorang teman pencinta Manchester United yang tak tahu apa itu permainana Baseball, akhirnya menjadi paham dan bisa menikmati permainan yang tidak terlalu akrab bagi masyarakat Indonesia.

Saya memberikan karcis Final bulutangkis yang saya beli dari tukang catut kepada seorang Nenek yang tidak saya kenal di depan Istora Senayan. Ia terus mengenang terhadap Istora saat kerap menonton Rudi Hartono pada masa kejayaan tahun 70an. Si Nenek mengatakan ingin melihat pertandingan bulutangkis, tapi tak mempunyai uang untuk membeli di tukang catut. Beruntung saya dipinjami ID Card petinggi sebuah cabang olah raga, sehingga bisa masuk gratis kemana mana duduk di bangku VIP.

Kita tak tahu kapan Asian Games bisa diselenggarakan lagi di Indonesia. Ada yang bilang kita harus mengejar mimpi menjadi tuan rumah Olimpiade. Kenapa tidak ? Wapres Jusuf Kalla pernah mengatakan kita akan ikutan pitching untuk Olimpiade 2032. Sebagai catatan sejarah, Bung Karno pernah menyelenggarakan Ganefo – Games of The New Emerging Forces, tahun 1963 sebagai event tandingan Olimpiade.

Ini adalah mewujudkan mimpi sebagai bangsa yang besar. Tentu akan menjadi perdebatan rauwis uwis lagi soal biaya yang pasti mahal sekali. Sebagai perbandingan, biaya Olimpiade Rio 2016 sebesar 11 Milyar dollar. Apakah persoalan biaya, ekonomi bisa dikesampingkan jika menyangkut harga diri bangsa ? Sekali lagi Bung Karno mengatakan, bangsa Indonesia yang sekian lama terjajah membutuhkan sebuah momen kebanggaan nasional yang akan terus dikenang sampai seribu tahun kedepan.

“ Saya ini juga sebagai manusia, sebagai pemimpin mempunyai juga permohonan kepada Allah SWT, kalau saya nanti mati, moga-mogalah bangsa Indonesia ini mempunyai sesuatu hal, salah satu, yang bisa memenuhi national pride. Saya tidak ingin nanti jikalau saya mati lantas rakyat Indonesia itu mempunyai kenang-kenangan, ingatan, wah waktu Bung Karno kami cukup makan. Waktu Bung Karno itu dulu kami cukup makan. Apa manusia itu cuma makan saja! Saya ingin jikalau aku mati nanti meninggalkan tanah air Indonesia ini ada juga hal yang oleh bangsa Indonesia itu bisa dibanggakan. Ya, kita ini bangsa yang besar; ya, kita ini mempunjai kebanggaan ini, kebanggaan itu “

You Might Also Like

1 Comment

Leave a Reply

*