Suatu hari di minggu minggu lalu saya mendapat panggilan di telpon genggam dari seorang staff ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, yang disusul dengan permintaan bahwa Menteri Sofyan Djalil ingin bertemu dengan perwakilan pekerja film iklan, tentu saja dengan kapasitas saya sebagai Ketua Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia. Dalam pertemuan yang sangat menyiksa terutama dalam kostum, karena saya harus mengganti busana jeans dan kaos t shirt sehari hari, jelas dipaparkan kebijakan Pemerintah dalam mengatur industri film iklan di Indonesia melalui mekanisme penyiaran di lembaga penyiaran. Beberapa hari kemudian kembali telpon genggam saya disibukan dengan panggilan dari teman biro iklan atau rumah produksi. Ada yang memaki maki, ada juga yang bersyukur, ada juga yang ketakukan sampai ada juga yang putus asa, Semuanya berhulu pada kebijakan Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika, No 25 /5/2007 mengenai β Penggunaan Sumber Daya Dalam Negeri Untuk Produk Iklan yang disiarkan melalui lembaga Penyiaran. Kesibukan industri film iklan menjadi senyap sesaat untuk saling mencari tahu apa dan bagaimana bentuk produk kebijakan Pemerintah tersebut. Bahkan, ada teman saya seorang sutradara asing yang tinggal dan hidup di Indonesia bertahun tahun, harus membatalkan meetingnya karena ia harus menemui saya dan mencari penjelasan lebih lanjut mengenai periuk nasinya di kemudian hari. Sementara bagi pekerja film iklan Indonesia, kebijakan ini bisa menyenangkan tetapi disisi lain sekaligus menakutkan sekaligus membunuh kalau memang kita tidak siap mengisinya.
Tiba tiba saja, saya merasa tidak begitu popular dengan adanya kebijakan ini, betapa tidak kini semua mata memandang seolah olah APFII bertanggung jawab atas keluarnya peraturan pemerintah itu. Mungkin ini memang masuk akal, karena sejak terbentuknya asosiasi pekerja fim iklan ini, issue issue mengenai tenaga kerja film asing memang menjadi remah remah tidak penting, namun disisi lain menjadi pelatuk kecemburuan sosial dalam memperebutkan kue produksi film iklan di Indonesia. Ini tidak main main, menurut data, bahwa kapitalisasi uang yang berputar tahun ini sekitar 40 trilyun, dengan asumsi 10 persen untuk biaya pembuatan film iklan, maka ada sebesar 4 trilyun setahun yang diperebutkan seluruh pelaku industri film iklan mulai dari rumah produksi, tenaga kerja baik crew maupun pemain , post production sampai audio house. Kalau mau jujur peraturan ini menjadi β blessing in disguise β karena semangat yang ada dalam kebijakan Pemerintah ini, bisa pararel dan sejalan dengan bagaimana memajukan sumber daya manusia Indonesia di bidang film nasional, dan film iklan pada khususnya.
Semangat menjadikan Indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dalam industri film iklan,patut di acungi jempol, terlepas betapa mungkin kontroversialnya kebijakan ini. Bahwa kebijakan ini akan bersinggungan dengan sikap pandang biro iklan dan klien yang umumnya menolak itu adalah hal lain. Namun ada yang lebih menyesakan justru banyak orang di industri periklanan yang meremehkan kemampuan sumber daya manusia dalam negeri. Apa yang menjadi tolak ukurnya ? Ada yang bilang sutradara Indonesia tidak bisa berbahasa Inggris, lalu bagaimana dengan sutradara cina atau Thailand yang membawa penerjemah untuk menjelaskan treatmentnya. Ada juga yang bilang teknik presentasi sutradara Indonesia sangat primitif, tentu saja tidak sebanding dengan sutradara luar yang lengkap dengan references dan data. Tetapi bagaimana juga fair kalau sutradara local hanya diberi budget 200 juta dengan permintaan referensi ala film film Holywood. Ini memang menjadi tantangan kita semua untuk lebih bekerja keras membuktikan bahwa kita BISA. Ada filsuf mengatakan membangun Roma tidak dilakukan semalam, sehingga mungkin terasa klise kalau kita mengatakan bagaimana bisa kalau kesempatan itu tidak pernah ada. Lihat saja iklan iklan promo yang semestinya menjadi jatah sutradara local tapi justru diberikan kepada sutradara illegal dari manca negara. Tentu kita teringat pada jaman krisis moneter, tiba tiba kita dipaksa mengisi kekosongan pekerja film asing yang pulang ke negaranya. Lalu bermuncul munculan sutradara , DOP, art director, produser dalam negeri yang ternyata mampu menjawab tantangan semua itu. Sebagaimana yang dikatakan Menteri Sofyan Djalil dalam pertemuan dengan APFII minggu lalu, bahwa pada akhirnya Pemerintah harus memaksa pelaku industri periklanan untuk berperan serta menumbuhkan sumber daya dalam negeri.
APFII yang tadinya dianggap sebagai organisasi anak bawang tiba tiba menjadi popular karena bisa dianggap menjadi salah satu elemen penentu sebuah iklan bisa tayang atau tidak. Lihat saja dalam lampiran Keputusan Menteri tersebut ada Surat pernyataan yang wajib dibuat oleh pihak atau biro iklan yang akan memasang iklannya di TV, dan APFII akan memberikan persetujuan dengan melihat komponen sumber daya manusia yang terlibat dalam pembuatan film iklan itu, sebelum bisa memberikan approval guna penayangan. Lebih jauh dari itu sesuai pasal 6 Bab VIII , seluruh pekerja film asing wajib mendaftar dan didata dalam Asosiasi ini untuk mendapatkan clearance bisa bekerja atau tidak di wilayah hukum Indonesia. Tentu saja ada Grace Period dimana nantinya seluruh sumber daya pembuatan film iklan di Indonesia bisa seluruhnya dikerjakan dalam negeri. Saya melihat persoalan asing atau dalam negeri ini memang menjadi mental sebagian manusia Indonesia. Mental merendahkan bangsa sendiri serta memuja muja bangsa asing. Apakah nasionalisme memang sudah tidak relevan lagi dengan semangat globalisasi , kapitalisme dan perdagangan bebas ? Padahal juga banyak yang belum tahu bahwa perdagangan bebas AFTA belum menyentuh industri jasa, termasuk jasa pembuatan film. Saya rasa ini semua berujung pada ketakutan pelaku industri periklanan bahwa pemilik produk akan meninggalkan negeri ini. Percayalah dengan jumlah penduduk nomor 4 di dunia, pemilik produk manapun akan dianggap bodoh dengan melupakan pemasaran produknya di negeri ini. Atau jangan jangan sinyalemen seorang sutradara Indonesia paling popular di sini benar,..ah,mereka mengutuk keputusan itu karena jatah perdiems jalan jalan keluar negeri akan berkurang..β Mudah mudahan saja ini tidak benar.. Ketika saya menulis artikel ini, saya teringat dengan Mahatma Gandhi dengan program Ahimsa atau nasionalisme Mahathir Mohammad. Setidaknya saat ini Pemerintah sudah memberikan keberpihakannya dengan bangsa Indonesia, untuk memenuhi komitmennya mensejahterakan rakyatnya, khususnya pekerja film iklan dalam negeri. Semoga saja.
40 Comments
wkurniawan
May 6, 2007 at 7:52 pmYup, Bang Iman, inilah postingan yang saya tunggu2 sejak baca berita tentang Permen ini di koran tempo hari. Oh, gitu ceritanya… Saya kira Bang Iman ditelpon untuk jadi bagian reshuffle he:)
Yah, semoga banyak sisi positifnya dari Permen ini, bisa lebih memacu anak bangsa untuk lebih kreatif dan produktif.
Btw, apakah yang dimaksud Sumber Daya Dalam Negeri adalah termasuk model iklannya? Lalu gimana dengan iklan produk internasional? Contoh produk sepatu bola yang memasang Zidane dan Beckham, apakah masih boleh tayang?
Nico Wijaya
May 6, 2007 at 8:59 pmwah saya baru tau loh mas, kalo sampeyan ketua APFII…he..he ga nyangka. saya kira cuma sutradara biasa yang ga ada embel-embel ketua suatu organisasi. eh, rupanya ada. saya ikut bangga mas… π
menurut saya sih sebagai warga biasa, kesempatan ini sebaiknya dimanfaatkan sebaik mungkin. mumpung pemerintah masih berpihak kepada pekerja film iklan dalam negeri.
mumpung…
Iman Brotoseno
May 7, 2007 at 5:46 amwkurniawan,
benar yang dimaksud sumber daya dalam negeri termasuk model, latar belakang iklan termasuk lokasi,musik, kesenian, bahasa, alam dsb serta tenaga kerja pembuatnya.
Ada pengecualian dimana iklan brand global yang membawa brand image dengan tokoh pemeran tertentu yang ditayangkan seluruh dunia. Jadi seperti kasus Zidane, Tiger Woods itu masih bisa.
trian h.a
May 7, 2007 at 8:26 amsaya sangat mendukung dengan peraturan tersebut tentang penggunaan sumber daya dalam negeri. memang mental sebagian bangsa kita, menganggap rendah bangsa sendiri dan terlalu meninggikan bangsa lain.
semoga menjadi tantangan bagi para sineas iklan untuk berkreasi dan pembuktian diri. selamat berkarya mas.
maya
May 7, 2007 at 2:37 pmsemoga peraturan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik dan tidak membuat insan periklanan Indonesia terlena karena berkurangnya kompetitor dari negara asing π
triadi
May 7, 2007 at 3:07 pmada ato ga ada peraturan kayanya kalo mas iman tetep terus berkarya ya…:)
tapi dipikir2 pertanyaan dasarnya, kenapa kita harus cinta pada tanah air ya? (sekedar geografis kah? ato modal?)
hmmm..
bebek
May 7, 2007 at 3:29 pmwahh itu kesempatan kang… punya wewenang gitu kan bisa jadi ladang emas… huehehehe…
tapi moga aja digunakan dengan bener wewenang yang ada itu ya kang..
namanya juga amanah… π
ibunyaima
May 7, 2007 at 3:39 pmBlessing in disguise, ya Mas. Semoga SDM asli Indonesia makin berkibar. Saya pikir ini keputusan yang bagus untuk memberi kesempatan pada rekan2 kita.
Entah kalau di industri Mas Iman, kalau di industri kami (marketing research), seringkali local company kalah dalam bidding karena kami tidak punya “bule” (baca: afiliasi dgn kantor asing). Ataupun kalau menang, harga ditekan dengan alasan “kan bukan multinational”. Padahal, dalam soal kualitas belum tentu yang MNC lebih baik; malah kadang2 orang asing kurang bisa menyelami keragaman konsumen lokal.
Sekarang tinggal bagaimana pelaku industri film iklan memanfaatkan kesempatan ini untuk unjuk gigi. Jangan mentang2 sudah diberi semacam monopoli, lantas kinerjanya menurun.
TaTa
May 8, 2007 at 7:02 ammudah2an aja peraturan itu bisa membuat manusia indonesia lebih maju. gk tau yah klo di dunia periklanan, tapi di tempat gw kerja..tuh bule2 kerjanya gk ada ….tapi gajinya bisa 10 kali lipat dari orang indonesia…gimana gk seneng kerja di indo.. gaji dolar pengeluaran rupiah
venus
May 8, 2007 at 8:25 amhidup pekerja film indonesia!! lhah kok film?? film apa iklan sih? yaaah, pokonyΒaβ’ gitu deh, mas π
NiLA Obsidian
May 8, 2007 at 8:47 ambaru juga ngobrol soal ini kmrn sore….
yg pasti pertama kesempatan utk introspeksi kekurangan…berani belajar cepat utk mengejar kebolongan2 yg selama ini seolah dpt di tutupi oleh pekerja asing ituw…dulu kita selalu bilang ga pernah dikasih kesempatan….
nah sekarang saat nya membuktikan…
masalah kreatifitas kita jago kho….cuman suka ga PD aja….
apa lagi kalo udah pake bahasa enggresss…..
(psssttt…. om iman kirain di tlp mau gantiin sofyan djalil….kekekekekeke)
elly.s
May 8, 2007 at 2:15 pmSetuju ah…bagus kok.
Kapan lagi kita “berkuasa dinegara sendiri” Kalo dibiarkan mereka juga akan bawa model sendiri. habis deh!
Produk2 iklan dan video2 klip Indonesia dijadikan tolok ukur kok di malaysia…
bahasa Linggis? Kursus lah…ini penting kok.
ajitekom a.k.a kodokijo
May 8, 2007 at 5:48 pmperaturan ini jelas berpihak kepada anak bangsa dan semoga saja benar2x kita sebagai anak bangsa bisa membuktikan kemampuan kita dengan baik π , btw semoga monopoli peraturan seperti ini tidak diterapkan negara2x asing dalam bidang IT, kalau diterapkan, waduh, bisa miskin programmer indonesia yg sering cari sidejob dari luar negeri :((
diditjogja
May 8, 2007 at 6:33 pmAda filsuf mengatakan membangun Roma tidak dilakukan semalam, sehingga mungkin terasa klise kalau kita mengatakan bagaimana bisa kalau kesempatan itu tidak pernah ada
heh? segitu rumitnyakah?
Septian
May 9, 2007 at 1:26 amHidup iklan dan film Indonesia !
Apakah ini berkaitan dengan budaya Indonesia ? Apakah budaya juga mempengaruhi perkembangan kedua bidang ini ?
Innuendo
May 9, 2007 at 2:14 ammas, kemaren aku komen panjang lebar, kok ilang ?
Kampret Nyasar
May 9, 2007 at 3:58 pmPemberdayaan sumberdaya, ini dia ‘buzz-word’ yang semestinya sejak dulu dikedepankan.. semoga pihak regulator kali ini dan seterusnya kedepan bener-bener selalu berpihak pada para pekerja film dan industrinya agar bisa jadi mercusuar regional.
Penting buat kita menyadari bhw setiap individu punya shared-responsibility utk memajukan dan memberdayakan kapasitas bangsanya and bravo to you in makingthis coming out from the water!
Rest assured, saya dukung dari jauh, sekiranya ada sumbangsih yang kita bisa berikan-feel free to ask.
Hugs from West Africa, indeed! π
kenny
May 9, 2007 at 4:54 pmsmoga bisa menambah daya kreativitas, perasaan udah kasih komentar jg tp kog gak nyanthol
ekowanz
May 9, 2007 at 6:03 pmsetuju lah…dengan gitu kan memaksa orang2 yg bikin iklan di Indonesia biar bisa lebih kreatif ga kalah ama iklan2 dr luar…
asal ga malah jadi patah semangat dengan bujet terbatas trus malah bikin iklan yg asal2an π
iklan kan karya seni juga π iya to mas iman??
de
May 10, 2007 at 6:32 amkapan aku jadi bin(a)tang iklan? (halah)
Si Jagoan Makan
May 10, 2007 at 4:29 pmMas, Pak Sofyan khan diganti. Semoga ganti menteri nggak ganti kebijakan ya mas.
pyuriko
May 10, 2007 at 8:01 pmdi tunggu iklannya dari mas Iman π
peyek
May 11, 2007 at 8:18 amsaya yang bukan insan periklanan, melihat segala perjuangan menuju perbaikan terhadap masa depan anak negeri wajib didukung, untuk sekarang saya melihat dari sudut pandang yang sama dengan anda, karena baru tahu soal ini dari anda,
tak layak juga mengabaikan yang kontra dengan anda bukan?
mudah-mudahan tidak hanya menjadi jargon sesaat
Syiddat
May 11, 2007 at 1:37 pmcintailah produk-produk indonesia….(sambil menirukan sebuah iklan…!) hehehe
erander
May 11, 2007 at 4:44 pmThanks sudah jalan2 ke blog saya. Juga komentarnya. Ternyata orang periklanan ya? kalau saya, apapun ketentuan yang ada. Tergantung kita sendiri kok. Bukankah, semakin sempit ruang gerak, maka kita semakin kreatif? .. ga percaya?
Hannie
May 11, 2007 at 8:41 pmoh, gitu yah?
tapi menurutku iklan2 sekarang udah pada kreatif kok, mudah2an emang karya anak bangsa yah, bang.
sutrisno mahardika
May 13, 2007 at 7:37 amyang penting iklan nya mendidik! percuma kalo menarik perhatian tapi gak mendidik,media iklan punya pengaruh besar dalam mempengaruhi sikap.
Maryulis Max
May 13, 2007 at 7:06 pmOh ya mas, jangan luput untuk mengingatkan insan periklanan soal pelanggaran UU Konsumen melalui iklan2 produk yang kadang tidak masuk akal dan mengaburkan produk yang diiklankan.
Semisal, iklan makan permen yang bikin anak2 bisa terbang setelah mengonsumsinya, etc
mei
May 14, 2007 at 1:21 pmiklan lebih mendidik daripada sinetron..huh!!!
meitymutiara
May 14, 2007 at 4:01 pmeeeh … ada fotonya mba’ Dian & Sasi di blognya pak Iman …
endangwithnadina
May 15, 2007 at 8:02 ammemang mental org kita yg suka silau sama org bule itu bisa menyesatkan…ini peraturan bagus, mudah2an bisa berjalan dgn baik…
ari
May 15, 2007 at 9:55 amkedengeran tu mas beritanya sampe sini
floating angel
May 15, 2007 at 11:24 amsiang mas Iman,
kayanya comment saya panjang niy.
Memang sedih dengan adanya orang2 yg merendahkan kualitas bangsa Indonesia. Kenyataannya ada temen saya yg looknya indo, dia lebih suka menggunakan bahasa inggris di tempat2 tertentu (clubs, airport, kantor klien), krn dia lebih dianggap daripada menggunakan bahasa indonesia. Tapi, di tempat2 tertentu pula di lebih suka pakai bahasa Indonesia (di luar negeri) krn di tempat itu dia bisa membanggakan indonesia.
Tapi, gak smua orang begitu, masih ada yg ingin bangsa ini maju.
Masalah permen produksi iklan, asal sdm indonesia sudah siap bersaing, dan bisa meningkatkan kualitas setaraf pihak asing. Let’s go do it, then! Pastinya membuat kita lebih maju.
Tapi kalo kualitas masih stengah2, malah jadi manja, krn merasa dilindungi permen tsbt. “Ah, gw gak usah susah payah, pasti gw dipake juga kok, gak mungkin mereka pake sdm asing!”
Smoga mental kaya gini, gak muncul stelah permen.
Persaingan dengan adanya pihak asing, masih perlu, krn itu bisa memacu kualitas sdm kita utk lbh baik. Dan bisa belajar dari mereka.
Tinggal gimana caranya membuat pihak asing datang tidak terlalu bebas.
Tingkat pihak asing yg makan kue pekerja iklan indonesia bisa diatur dengan perijinan yg ketat. Misalnya, director asing bisa shooting di indonesia, asal ada ijin kerja, sperti expat lainnya dgn kitas/kims, jadi bukan asal punya visa turis, tinggal 3 hari disini, dapet uang. Dan, mereka diwajibkan utk kasih training, misalnya, utk pekerja lokal.
Harusnya bikin peraturan yg juga mendorong dan memberi bekal.
Kalo punya anak kedapetan browsing website porno, apa cukup dengan blocking website2 tersebut? bukankan lebih baik juga si anak di beri bekal moral, jadi kalopun block website itu bocor, dia sudah mampu menghadapinya dengan cara pandang lebih baik?
terima kasih π
Anonymous
May 15, 2007 at 11:28 amSaya melihatnya malah ironis dan mengerikan. Anda sepertinya begitu bangga ketika melihat kita akan beranjak bergerak ke tragedi masa silam, di mana kebebasan terberangus lagi?
Saya seorang nasionalis sejati, yang seharusnya tidak perlu gentar dan proteksi berlebihan untuk berkompetisi dengan tenaga asing. Saya seorang nasionalis sejati yang akan tetap tegak mendongakkan kepala saya untuk “berkelahi” dengan SDM asing. Tanpa patron. Tanpa prisai yang represif!
Namun bagaimanapun, selamat untuk Anda. Yang tiba-tiba saja menjadi bagian dari pengambil kebijakan untuk menentukan boleh hidup atau tidaknya sebuah hasil karya.
rievees
May 17, 2007 at 9:31 pmSetuju kalo orang Indonesia harus jadi tuan rumah di negerinya sendiri..
moga2 aja kreativitasnya makin bkembang dan ga makin melempem krn kurang psaingan dari ‘luar’
toufan tambunan
May 20, 2007 at 7:47 pmbener banget mas….saya suka sama kata-kata yang ini :
“Percayalah dengan jumlah penduduk nomor 4 di dunia, pemilik produk manapun akan dianggap bodoh dengan melupakan pemasaran produknya di negeri ini.”
kita kok terlalu sering dibodohi dengan opini-opini globalisasi, padahal kenyataanya sekarang banyak budaya kita yang terlupakan,
so, siapa bilang produk nasional kampungan? (pasti itu opini orang luar…)
π
ewink
June 12, 2007 at 8:16 amKalau merujuk teori sosial Dependensi, maka kita memang harus merubah modus produksi secara radikal untuk melepas ketergantungan pada centre. Dalam hal ini adalah pekerja asing. Tapi tugas belum selesai. Sekarang pekerja film iklan nasional, harus memenuhi kebutuhan film-film iklan berkualitas itu secara profesional. Kalau gagal, maka modus produksi yang lama itu akan kembali berulang tanpa kita sadari.
Maruria
June 19, 2007 at 5:30 pmYa kayaknya emang bagus begitu sih mas. Orang Indonesah juga masih banyak yang mumpuni ko, jadi gunakan SDM lokal ajah..
Hidup mas Iman..!!!! Hidup APFII..!!!!
Hallah..
fuad
November 2, 2008 at 10:21 ammas, saya kebetulan lagi bikin thesis yg berkaitan dengan periklanan. dan saya butuh data kongkrit untuk budgeting iklan. apa saya bisa dibantu berapa budget rasional untuk iklan sebuah produk. mulai iklan tv sampai kalo hanya untuk iklan di billboard saja. tolong dikirimkan ke email saya ya mas?fuad_hw@yahoo.co.id thq b4..
Partisimon.Com
October 18, 2009 at 12:25 amSaya lihat iklan-iklan di televisi dan majalah, atau di jalan raya sangat bagus dan kreatif. Cuma saya kurang tahu, yang buat apakah SDM asing atau SDM lokal?
Sebenarnya, menurut saya, situasi kondusif untuk berkompetisi yang telebih dahulu harus di bangun. Kalau terlalu mengarah ke proteksi dan monopoli, bisa saja pemain kita yang berkiprah di negara lain di perlakukan sama.
Proteksi pada jangka panjang, akan berdampak kurang baik untuk kemampuan survival. Contohnya mobnas Proton, punya nya malaysia. karena selama ini di proteksi, dia melenggang sendirian karena monopoli. pas beberapa waktu lalu proteksi itu di cabut, dia bingung menghadapi persaingan otomotif dunia, ujung-ujungnya mau jual saham…
Karena, proteksi biasanya menghasilkan mental memble, maunya di suapin melulu.
Proteksi penting, namun pada fase tertentu, setelah itu lebih baik ikuti hukum pasar