Monthly Archives:

May 2015

Bagaimana bisa Bung Karno menyetujui Peraturan rasis ?

Aksi demo ( sebagian ) mahasiswa terhadap Pemerintahan Jokowi, menarik perhatian karena ada organisasi KAMMI yang mengusung sentimen keberpihakan kepada pribumi. Ini dianggap sebuah kampanye rasis, sehingga ada yang mention saya di TL untuk memperbandingkan dengan kebijakan jaman Presiden Sukarno.
Tepatnya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 / 1959 dan ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.

Peraturan yang diberlakukan mulai 1 Januari 1960, serta merta mematikan para pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha ditingkat desa. Lebih jauh lagi, menggoncangkan sendi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia, karena saat itu UU Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga membuat kebingungan mana yang waga asli dan warga asing.

Orang Tionghoa tidak hanya tidak diperbolehkan berdagang, namun dilarang tinggal di tempat tersebut. Penguasa milter dengan sewenang wenang mengusir warga Tionghoa. Mereka yang diusir, bukan orang Tionghoa asing, tetapi juga orang orang Tionghoa yang berdasarkan UU Kewarganegaraan Tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia.

Dampak dari kebijakan ini, ada 136 ribu lebih warga Tionghoa menuju daratan Tiongkok, setelah Pemerintah RRT mengirim kapal dan mengundang mereka kembali ke tanah leluhur. Banyak kisah penderitaan mereka yang pindah akhirnya tidak betah, karena kendala bahasa serta budaya. Merasa tidak betah, mereka berusaha keluar dari daratan Tiongkok dan bermukim di Hongkong. Kisah kisah ini bergulir di Indonesia sehingga menurunkan minat mereka yang ingin pindah, sampai akhirnya surut sama sekali di akhir tahun 1960an.

Continue Reading

Tiga Srikandi

“ Bang Pandi sangat keras dalam melatih kami. Ia sangat disiplin dan tak pernah mengenal belas kasihan. Jangankan melawan. Mendengar suara mobil VW kombinya dari kejauhan, sudah membuat kami mengkeret ketakutan “

Demikian Yana, bersama Kusuma dan Lilies menceritakan pengalamannya dilatih salah satu pemanah putra terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, Donald Pandiangan. Mereka – Nurfitriyana, Kusuma Wardhani dan Lilies Handayani – adalah trio pemanah puteri Indonesia yang merebut perak beregu di Olimpiade Seoul 1988, sekaligus atlit pertama negeri ini yang meraih medali di Olimpiade.

Saat itu ketiga remaja putri tersebut tak membayangkan, masa masa mudanya yang tercabut karena harus menjalani pusat pelatihan nasional di Sukabumi. Jangan dibayangkan sebuah pusat pelatihan yang mewah dan penuh dengan fasilitas kebugaran. Hanya sebuah rumah tua dengan rumput rumputnya yang setinggi dada di halaman. Mereka para atlet perempuan harus ikut memotong rumput rumput itu agar halaman bisa menjadi tempat latihan.

Selama setahun mereka iri melihat remaja putri lainnya bisa bercanda tawa, jalan jalan menonton film ‘ Catatan si Boy ‘, sementara mereka menjalani hari hari yang membosankan. Bangun pagi, latihan, latihan dan latihan. Skripsi Yana yang tertunda. Lilis yang terpisah dengan kekasihnya di Surabaya, atau Kusuma yang tak bisa membantu orang tuanya mencari nafkah tambahan.

Continue Reading