Kunci Ke Surga

Embun sisa semalam masih menetes di tepian kaca jendela apartemen kamar Hanifah, membentuk tetes tetes air liar yang jatuh merayap tak beraturan. Matahari yang belum sepenuhnya menampakkan diri, tidak menghalangi sosok lelaki yang terbangun di sebelahnya. Dengan tergesa gesa ia meraih pakaian dan celana di lantai, lalu mengenakannya dan beranjak dari tempat tidurnya, sambil mengeluh memegang kepalanya yang masih pusing, karena kurang tidur akibat pesta tadi malam. Hanifah memicingkan matanya mengikuti gerakan si lelaki.
“ Aku pergi dulu, nanti kutelpon “ sambil mencium keningnya.
Hanifah menyeringai pahit, tersenyum sekilas dan lalu membalikkan kepalanya menatap tetes tetes embun di jendela.
“ Tutup saja pintunya, dan kamu kunci dulu dari dalam …”.
Ia tahu bahwa lelaki itu tak akan menelponnya, setidaknya dalam beberapa hari ini.

Matanya melirik sepucuk surat yang belum dibuka, tergeletak di atas sisi meja tempat tidurnya. Ia tahu itu surat dari Faisal yang kesekian kalinya, dan ia membiarkan matanya tertutup kembali meneruskan sisa tidurnya yang tertunda.

Sejak kecil Hanifah tumbuh dan besar di Bandung, di dalam keluarga yang sebenarnya dapat dibilang kaya. Hanya saja kehidupan yang salah telah membentuk dunia ilusi tersendiri bersama kawan kawan sebayanya. Rokok, pergaulan bebas sampai narkoba adalah sesuatu yang pernah dicobanya. Faisal, disatu sisi adalah temannya yang sangat memperhatikan dirinya. Ia berasal dari keluarga yang kurang mampu, dan harus membantu ibunya, seorang janda yang memiliki kios majalah dan koran di pojok kota. Kadang Hanifah merasa bahwa Faisal dari dulu sudah menyukainya, hanya saja ia terlalu malu untuk mengungkapkannnya mengingat perbedaan status sosial yang dimilikinya. Hanifah merasa bahwa Faisal terlalu baik untuk membantu mengerjakan tugas tugas sekolahnya, sehingga tak ada alasan baginya untuk menjauhinya, bahkan ia merasa persahabatan yang diberikan Faisal begitu tulus.

Dering handphone sekali lagi membangunkan Hanifah dari tidurnya, matahari telah bertengger tepat di puncak langit siang itu.
”Shit,..brengsek..” gumamnya sambil meraba raba handphone di sisi meja.
Dewi, koleganya di tempat ia bekerja, berceloteh diseberang sana mengenai rencana party , launching sebuah produk malam ini di entertainment club tempat mereka bekerja.
“..Ya boleh aja…hmm ntar gue datang agak pagian,..gue mandi dulu,..see you “ .
Hanifah agak sempoyongan bangkit dan duduk di tempat tidurnya, ia merasa tak begitu jelas apa yang Dewi omongkan, karena kesadarannya belum begitu pulih. Ia meletakkan kembali handphonenya, dan matanya tertumbuk kembali pada surat dari Faisal. Agak ragu sebentar, ia lalu berdiri meraih surat itu, kakinya yang masih sempoyongan menginjak botol Southern Comfort kosong di lantai ruang tidurnya yang kelihatan sangat berantakan. Matanya mencari cari sesuatu yang bisa menyegarkan pikirannya. Tangannya menggapai bungkus rokok di meja riasnya, membukanya dan membantingnya ke tempat sampah karena isinya telah habis. Ia meraih tasnya, tangan mungilnya meraup mencari cari sebatang rokok yang tak perrnah ditemuinya diantara lipstik, bedak, uang receh, kondom, kartu nama, anting dan benda benda lainnya. Ia lalu pergi ke kamar mandinya, mencari di lemari toilet, sampai akhirnya menemukan sisa rokok yang masih tiga perempat batang di sebuah asbak di sisi kloset. Ia duduk di kloset sambil mengisap dalam dalam rokoknya, dan membaca surat tadi. Wajahnya tak bereaksi membaca surat dari Faisal yang mengucapkan terima kasih karena telah membantu menyumbang biaya pembangunan sebuah mushola ditempat Faisal mengajar. Reaksi wajahnya sedikit berubah, sambil tersenyum, ketika Faisal menceritakan perkembangan Indah, putri tunggal Hanifah yang tinggal bersama orang tuanya. Asap rokok terus berputar mengepul di ruang sempit kamar mandi , menjembatani masa silam hidupnya.

Saat itu Faisal duduk terpekur berjam jam di udara malam yang dingin, menunggu di seberang jalan hotel murah di tepi kota, ia mengantar Hanifah yang datang diminta menemui kepala sekolahnya, Pak Bahrun. Ya, guru cabul itu yang telah mengetahui reputasi Hanifah telah menidurinya, dengan imbalan selembar kertas ijasah SMA. Ia tak punya pilihan lain mengingat, nilai nilainya tak mencukupi untuk bisa lulus dari sekolah.
“ Kau tidak apa apa ? “ sergah Faisal melihat Hanifah keluar dari mulut pintu hotel.
“ Nggak apa,…aku hanya capai mengerjakan ujian susulan tadi “ katanya berbohong pada Faisal.
“ Yuk, kita makan dulu Sal, aku lapar..”.
Di warung nasi goreng itu, mereka lebih banyak diam. Faisal tak berani bertanya mengenai kecurigaannya mengapa temannya melakukan ujian susulan di sebuah hotel, sementara Hanifah sibuk memainkan sendok diatas tumpukan acar di piring nasi gorengnya. Hatinya gundah, sudah 3 bulan ini haidnya terlambat. Rudy, lelaki terakhir yang dekat dengannya hanya menyeringai ketika ia meminta pertanggungjawabnya.
”..Yakin aku bapaknya,…”
“ Bajingan kau, dengan siapa lagi aku tidur beberapa bulan terakhir..”
“ Huh.. mengapa tidak kau tanyakan pada Zaky atau Toto, si Mahasiswa yang indekos di rumah bapakmu..”
Ingin rasanya ia menembak si Rudy, karena walaupun ia sempat dekat dengan nama nama yang disebutkan tadi, ia yakin bahwa Rudylah bapak dari jabang bayi yang dikandungnya ini.

Nafas Hanifah semakin sesak dalam kamar mandi yang sempit ini, tangannya mematikan puntung yang nyaris membakar filter rokok di asbak. Pikirannya menerawang kembali ketika setelah lulusan sekolah, ia menceritakan kehamilannya yang semakin besar pada Faisal. Hatinya menangis tak rela melihat lelaki muda itu, yang tak tahu apa apa bersedia mengawini , sekedar formalitas sampai bayinya lahir. Sampai Indah terlahir, lelaki itu tak pernah benar benar tinggal serumah dengan Hanifah, ia meneruskan kuliahnya di Institut Agama Islam Negeri yang mengharuskannya tinggal di asrama kampus. Sesekali ia menengok Hanifah, dan kadang ia tak muncul muncul berbulan bulan. Sampai akhirnya ketika Indah sudah beranjak 3 tahun, ia memutuskan pindah ke ibu kota, dengan menitipkan anaknya pada orang tuanya. Dengan kecantikannya, tak terlalu sulit bagi Hanifah untuk hidup di kota besar, dengan relasi yang dibinanya menjadikan dirinya magnet daya tarik bagi laki laki petualang berkantung tebal. Posisi pekerjaannya sebagai PR manajer sebuah club malam ternama di Jakarta, hanya sebagai tempatnya membina hubungan dengan para businessman, pengacara, anggota DPR, jenderal, bankir, artis dan orang orang berduit yang menghabiskan malam malam panjangnya di tempatnya.

Kebebasan yang direguknya saat ini tak berbeda jauh dengan apa yang dirasakan sewaktu sekolah, satu satunya perbedaan adalah ia bisa mendapatkan uang dan kenikmatan sekaligus. Kalau dulu, Rudy atau Toto bisa merasakan tubuhnya hanya dengan selinting ganja atau beberapa gelas wiskey, kini lelaki lelaki petualang tersebut bisa bertekuk lutut memberikan apa saja , demi memperebutkan sang primadona.

Semuanya menjadi uang, mobil bagus, perawatan tubuh, apartemen dan perhiasan. Ya, ia sang primadona yang pandai meramu pesta, dengan cumbu rayu kecantikannya, Hanifah tahu, mana yang harus dipilih dari mata mata lapar para lelaki malam itu. Ia tak butuh cinta mereka, ia hanya butuh uangnya, sehingga ia bisa menolak si pengacara kondang di negeri ini yang memintanya menjadi istri simpanan, atau dengan mudahnya mendepak si anak Menteri anu, setelah memberinya sebuah BMW seri 3.Kenikmatan duniawi yang diperolehnya dengan mudah, seolah menjadi cambukan pecut api neraka yang menggelisahkan setiap hari setelah ia bertemu kembali dengan Faisal di pemakaman ayahnya. Faisal kini telah jauh lebih dewasa, tampan dan bersih sinar wajahnya. Faisal yang hanya dilihat dari cerita di surat suratnya yang dikirim. Kata katanya tetap lembut dan teduh seperti dulu. Kini ia bekerja sebagai pengajar di kampusnya setelah lulus dari perguruan tinggi Islam.
“ Kau baik baik aja fah..”
“ Ya,…hm..aku agak cape saja,..hm, terima kasih sudah memperhatikan ibu dan Indah “
Ia tak berani menatap lama lama laki laki itu, karena membayangkan dirinya yang kotor dengan sosok yang suci. Ia merasa lelaki itu tahu sesungguhnya apa yang dilakukan di Jakarta.
“ Pulanglah Ifah…kamu bisa berbuat lebih baik di sini bersama anakmu dan aku..”
Sambil tersenyum ia berkata pelan,..” Setidaknya aku masih suamimu….., kau sendiri yang tak mau kuceraikan..”
“ Iya,..kau tahu, aku juga bingung,..aku kasihan Indah, ia sudah menganggap engkau ayahnya “
Ia memang tak pernah bercerai secara resmi dengannya sejak perkawinan formalitasnya terdahulu. Hanifah sendiri tak pernah ambil peduli dengan statusnya yang menggantung itu, atau memang hati kecilnya ia tak ingin berpisah dengan Faisal. Ia tahu setiap akhir pekan Faisal kerap datang dan tinggal di rumah ibu Hanifah untuk menengok Indah. Sejak hari penguburan itu, Hanifah memutuskan untuk tinggal sampai empat puluh harinya kematian ayahnya. Ia telah menelpon meminta ijin pada Mas John atasannya, dan ia tak peduli apakah atasannya akan mengabulkan atau tidak permintaannya.

Biasanya ia hanya sehari semalam menengok anaknya, dan ia juga tak tahu apakah sosok Faisal yang menahannya untuk tinggal lebih lama di kota kelahirannya. Yang jelas ia menjadi lebih dekat dengan Faisal, melihat anaknya belajar mengaji bersama Faisal, semuanya yang mengingatkan pada masa masa silamnya.
Suatu malam ia agak canggung ketika anaknya bertanya,..” kok bapak dan ibu Ifah nggak pernah bobo sama sama..”
Akhirnya mereka tidur bertiga di kamar, benar tidur yang sesungguhnya dengan Indah tertidur pulas bahagia di antara mereka. Tengah malam Hanifah terbangun, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia melihat dengan jelas wajah Faisal dari dekat. Lelaki yang tak pernah menyentuhnya selama bertahun tahun menjadi suaminya. Ah, dia masih mencintaiku, gumamnya. Ingin rasanya ia memeluk Faisal dan membelai rambutnya, toh bagaimanapun juga ia adalah isterinya yang sah. Air matanya bergulir pelan, ketika ia melihat Indah membalikkan tubuhnya memeluk Faisal. Ia bangkit perlahan, takut membangunkan mereka berdua, lalu mencium pipi Faisal dan pergi ke kamar mandi. Ia membuka keran air, dan mengambil air wudhu. Malam itu, setelah sholat tahajud, ia menangis karena Tuhan telah membukakan hatinya. Beberapa hari kemudian, Hanifah memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya, untuk membesarkan Indah mengingat ibunya telah tua, dan melupakan semua masa kelamnya di Jakarta.

“..Aku dan Indah akan menjemputmu di Jakarta, membawamu ke sini ke rumah ini lagi…”
Faisal meneruskan, “ Tetapi jika kau tak mau kembali,..aku harus melepaskanmu secara resmi fah…cara hidup perkawinan ini tidak sehat..”
“ Kau kau akan menceraikanku ? “ Bisik Hanifah sambil tercekat tanpa berani menatap wajah Faisal.
Faisal menggangguk dengan tertahan.

Begitu melihat Hanifah datang siang itu, Dewi langsung menariknya ke pojok ruangan.
“ Fah…Mas Irfan itu mencari cari kamu terus,.kenapa sih kau tak mau menemuinya atau mengangkat telponnya..”
Dewi, seorang blasteran Indo yang juga cantik memang belum lama bekerja di tempat ini, dan ia telah belajar banyak dari Hanifah bagaimana bisa hidup mewah dengan gaji pas pasan sebagai salah satu staff Public Relations di club ini.
“ Ah malas,..laki laki maunya udah ketahuan, dasar gombal..”, hindar Hanifah sambil meminta segelas teh manis pada pelayan.
“ Ada apa denganmu, kau berubah setelah pulang dari kotamu..”
“ Hm…,nggak apa, aku hanya jenuh saja dengan apa yang kulakukan “
“ Iya, tapi aneh, kau sekarang minumnya hanya air mineral, dan tak mau menemui tamu tamu lagi “
“ Sudahlah “
“ Aku dengar dari orang administrasi di lantai 8, katanya kau meminta shift kerjamu di ubah dari siang ke malam,…kau tak mau kerja sampai pagi lagi “
Hanifah hanya tersenyum menatap ke Dewi, sahabatnya itu pasti heran karena shift kerja dari sore ke pagi, justru waktu waktu yang diinginkan oleh para wanita wanita di club itu untuk memburu mangsanya.


Degum musik karaoke semakin keras pada jam happy hour sore hari itu, di antara gelak tawa sekumpulan orang orang yang bernyanyi atau berteriak itu, menyentak nyentak pikiran Hanifah. Antara keraguan untuk kembali ke kotanya dan kenikmatan yang sangat meluap luap yang pertama kali dirasakan. Bagaimanapun ia bisa merasa kedekatan dengan Tuhan, anaknya dan Faisal, lelaki sederhana yang setia sampai sekarang. Hari itu Faisal dan Indah sudah menunggu sejak siang di apartemennya., untuk menjemputnya membawa kembali pulang ke kota kelahirannya.

Sejak sore tadi muncul keraguan akan pilihan hidupnya, apakah ia harus pulang, tinggal di kota itu bersama Faisal dan ia berharap segelas Vodka Martini akan memperjelas jalan yang dipilihnya. Saat itu juga ia mengeluarkan photo Faisal dan melihat lekat lekat dalam cahaya lampu yang temaram.
“ Ah aku tak tahu, jika aku bisa mencintaimu…aku tak punya cinta yang bisa kuberikan padamu ..” bisiknya perlahan sambil melipat photo tersebut dan memasukkan ke dalam tasnya.
Dinginnya udara AC bercampur asap rokok, membuat Hanifah keluar mencari udara segar. Sambil terhuyung huyung ia berjalan melepaskan diri dari orang orang yang semakin ramai berdatangan untuk membunuh penat seusai pulang kerja. Sementara itu Faisal semakin gelisah melihat waktu yang semakin sore tetapi Hanifah tidak juga muncul. Ia mencoba ke nomor handphonenya, tetapi hanya jawaban Mail box yang diterimanya. Ia telah bicara dengan resepsionis di tempat Hanifah bekerja, hanya dikatakan bahwa ia tak bisa diganggu karena sedang menemani rombongan tamu karaokenya. Waktu menunjukkan pukul 6 sore, akhirnya Faisal memutuskan untuk menjemput Hanifah di tempat kerjanya sambil membawa Indah yang sudah mulai menanyakan kemana ibunya.

Club itu tempat Hanifah bekerja terletak di sebuah gedung berlantai delapan di daerah pecinan, dari setiap lantai mulai dari diskotik, music lounge, massage and escort centre, amusement centre, sampai ruang karaoke yang berada di lantai tujuh. Hanifah akhirnya bisa keluar menuju sebuah area tangga darurat di tepi puncak gedung. Nafasnya lega, menghirup udara sore menjelang malam yang tak sepenat udara di dalam ruangan. Suasana di luar sangat lenggang, hanya sayup terdengar deru kemacetan mobil mobil di jalan seberang sana. Sambil menghembuskan asap rokoknya ia melihat ke langit, pada bulan dan bintang yang mulai menampakkan diri di langit yang semakin gelap. Air matanya jatuh mengalir di pipinya yang halus, kemudian menetes ke dalam gelas minuman yang dipegangnya.

Takala mendengar adzan magrib di kejauhan pojok kota tersebut. Jiwanya dipenuhi dengan kegembiraan dan keharuan yang menyesakkan hati,
” Bukankah Nabinya pernah berjanji, bahwa apabila ada seorang hamba yang kemudian bertobat, walaupun selembar bulu matanya saja yang terbasahi air matanya, namun sudah diharamkan dirinya dari ancaman api neraka .“ gumamnya dalam hati.


Lalu ia bergegas hendak berbalik, tanpa sengaja ia menginjak sandaran besi yang sudah rapuh dimakan karat. Tubuhnya jatuh terhempas ke bawah, menabrak neon sign dan membuat percikan api dimana mana. Jerit suara Hanifah lenyap ditelan hiruk pikuk musik keras, dan teriakan nyanyian orang orang di dalam gedung. Sekilas ia melihat Faisal, dengan baju pengantin sedang mengucapkan ijab Kabul di depan penghulu. Hutan pinus di pinggir kotanya. Kenangan masa sekolahnya dengan Faisal. Tampak juga dalam kelebat malam, wajah Indah putrinya sedang berulang tahun yang ke tujuh. Ia juga melihat dirinya dalam kerudung merah jambu sedang belajar mengaji. Surat surat Faisal yang melayang layang di udara bebas. Hanifah masih saja tersenyum karena tarikan gravitasi bumi. Angin bertiup semilir , jalanan bertambah macet karena semakin banyak orang yang berdatangan bercampur aduk dengan tukang rokok asongan yang menawarkan dagangannya. Sementara Faisal dengan Indah baru saja tiba di depan jalan kecil yang mengarah menuju gedung berlantai 8 itu, mereka menyeruak diantara orang orang yang berlarian, polisi yang berjaga jaga dan sirene ambulans yang meraung raung.
Faisal memegang erat erat tangan Indah. Ia tahu kalau gadis kecil itu merasa asing dengan suasana hiruk pikuk di sekitarnya.
“ Ada apa…, ada apa “ tanyanya pada seorang tukang parkir.
“..Itu ada orang bunuh diri, terjun dari atap..”

4 Comments

  • Adhie Sherano The Sun Da' Tea
    September 27, 2007 at 8:20 pm

    cerita yang bagus mas iman…hidup tanpa sebuah kesalahan adalah hidup tanpa sebuah nilai, tetapi tidak semua nilai itu diperoleh dari sebuah kesalahan. Kesalahan adalah jalan menuju ” rumah ” kebenaran bagi orang – orang yang berfikir….mudah2an saya dapat melihat cerita ini dalam bentuk film….salam..adhie sherano

  • suhadinet
    June 11, 2009 at 10:31 am

    hmmm………..

  • heri
    August 11, 2009 at 12:25 am

    weleh ternyata

  • encups
    March 5, 2010 at 4:12 pm

    ceritanya bikin merinding…..
    bagus banget mass, tapi kok endingnya bikin orang2 terdekat sang actress negative thinking sama dia, sehingga dia belum sempat engucapkan sepatah kata pun.
    tapi emang karna itu ya yang bikin ceritanya seru?????

Leave a Reply

*