Monthly Archives:

October 2018

Membangun percakapan digital

Kehadiran internet khususnya media sosial telah mengubah banyak hal, misalnya pola komunikasi orang-orang masa kini di media sosial. Percakapan, dialog, diskusi mendapat tempat di ruang-ruang media sosial tersebut. Itu pulalah yang menjadi model percakapan di antara para konsumen sekarang ini. Sebab itu, di era percakapan ala media sosial ini, pemasar kudu bisa memahami dan mengerti pola komunikasi para konsumen sendiri.

Sebab itu, era yang sering digaungkan sebagai era New Wave Marketing di mana telah terjadi horisontalisasi segala bidang.

“ Promosi yang sifatnya satu arah sudah kurang signifikan lagi. Pemasar kudu bisa menciptakan percakapan bagi konsumennya. Tidak sekadar menciptakan, tapi juga terlibat dalam percakapan sejajar dengan konsumennya. Sebab itu, di era ini, promotion adalah conversation “

Sekarang, semakin banyak merek yang terjun ke media-media sosial. Ada yang sukses membangun percakapan dan melakukan customer engagement di media-media ini. Namun, tak sedikit, yang masih kelihatan kikuk—entah karena tidak tahu atau memang menganggap hal itu sekadar tempelan semata. Tak jarang, kita temui di linimasa Twitter, Instagram, akun merek yang berkomunikasi searah. Sekadar berpromosi dan minus dialog. Mereka masih terjebak pola konservatif pemasaran. Promosi discount harga, jualan store atau outlet, sampai terus berkata ‘ kecap no 1 ‘ diantara merek lain.

Lebih dari itu, ada merek yang ingin membangun percakapan, tapi selalu kebentur dengan kesulitan mendapatkan ide percakapan.

Menciptakan percakapan yang seru memang tidak gampang. Pemasar butuh ide-ide. Lois Kelly—co-founder serta mitra Beeline Labas—seperti dikutip dalam buku “Connect! Surfing New Wave Marketing” (2010) memaparkan ada sembilan ide untuk membangun percakapan.

Continue Reading

Apakah Bung Karno mengetahui rencana G 30 S PKI ?

Ada beberapa analisa bersumber dari buku maupun kesaksian perwira militer seperti Brigjend Soegandhi atau Kolonel ( KKO ) Bambang Wijanarko yang mengatakan Gerakan G 30 S PKI sepengetahuannya Bung Karno. Dengan kata lain dirinya adalah dalang dari peristiwa penculikan Jenderal Jenderal. Secara logika hal itu tidak masuk akal jika Bung Karno yang menggerakan pemberontakan ini. Buat apa ? Saat itu kedudukan Bung Karno sangat kuat, dimana secara politis dia memegang kekuatan militer dan partai.

Sebagian besar AD ditambah AL, AU, Kepolisian praktis sangat loyal. Jika ada perwira seperti Soeharto yang dianggap kurang loyal, hanya memegang kesatuan Kostrad yang saat itu belum nerupakan pasukan pemukul seperti sekarang. Masih merupakan kesatuan cadangan Angkatan darat. Mayoritas seperti Brawijaya, Siliwangi, Diponegoro bahkan merupakan Soekarnois. Jadi buat apa dia melakukan kudeta untuk dirinya sendiri. Siapa yang diuntungkan? Lagian apa untungnya menghabisi Jenderal Yani, yang justru pagi itu sudah ditunggu di Istana untuk diberi tahu tentang proses alih jabatan.

Peran seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan berbanding lurus dengan keuntungan yang diperolehnya. Dalam peristiwa 1965 itu Sukarno adalah pihak yang dirugikan karena selanjutnya ia kehilangan jabatannya, sedangkan Soeharto sangat diuntungkan. Ia yang selama ini kurang diperhitungkan berpeluang meraih puncak kekuasaan karena para seniornya telah terbunuh dalam satu malam. Bagi Bung Karno, jangankan membunuh para jenderal. Membunuh nyamuk atau mengurung burung saja dia tidak tega.

Continue Reading